Keadaan Jakarta Tempo Doeloe

Rabu, Juli 06, 2011

Judul: Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959
Penulis: Tio Tek Hong
Editor: David Kwa
Tebal: 129 halaman
Penerbit: Masup Jakarta Desember 2007 (pertama kali 2006)
ISBN: 9792572910

Sebuah kisah dapat mengalir oleh karena ingatan yang tajam. Saya masih ingat ketika ibu saya menceritakan masa kecilnya. Ibu saya juga menceritakan bagaimana ketika beliau berteman dengan seorang laki-laki yang sekarang menjadi ayah saya. Bagi saya yang mendengarkan cerita, hanya bisa membayangkan suasana peristiwa itu terjadi seraya (mungkin) menyusuri kembali tempat-tempat dimana terjadi peristiwa tersebut.

Tio Tek Hong, seorang pria Tionghoa yang pernah hidup di Jakarta pada akhir abad 19 dan awal abad 20 menceritakan masa kecil hingga dewasanya pada pembaca. Kisah perjalanan hidupnya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Ia adalah saksi keindahan kota Jakarta tempo dulu serta surutnya kekuasaan penjajah kolonial.

Tio Tek Hong dibesarkan dalam keluarga Tionghoa. Ia dilahirkan pada 7 Januari 1877, di Pasar Baru. Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Agustus 1883 sebagai pembuka bab buku ini. Hujan abu serta banyaknya batu apung banyak sekali di sekitar tempat tinggal mereka. Satu hal menarik, ia mencatat bahwa akibat bencana yang menelan banyak korban jiwa itu diciptakan nyanyian Gambang Kromong Kramat Karem.


Profesinya sendiri adalah berdagang. Namun satu hobinya yang membuat ia bangga adalah berburu. Ia membentuk perkumpulan berburu serta menulis buku tentang berburu "Penuntun, Pengetahuan dan Nasehat Fatsal Memburu Binatang dan Burung." Hobi tersebut ternyata bermanfaat bagi kesehatannya, ia mengatakan bahwa berburu menggerakkan seluruh anggota badan serta menyegarkan paru-paru dan pikiran. Selain itu berburu, membuat para pemburu tetap merasa gagah dan muda.

Bagaimana dengan kondisi kota Jakarta dan masyarakatnya? Tio Tek Hong mengatakan bahwa Pasar Baru adalah pusat dagangnya Jakarta. Jalan-jalan di kota diisi dengan kereta kuda maupun jalur trem kereta yang menghubungkan Kota-Harmonie-Gambir-Pasar Baru-Kramat-Jatinegara.

Gedung Kesenian Jakarta (Depan Pasar Baru)

Trem Kereta di Harmoni

Jalan Hayam Wuruk (sepertinya bangunan tusuk sate itu adalah Gedung Harmonie)

Keadaan masyarakat yang cukup detil diceritakan adalah kebudayaan masyarakat Tionghoa. Ia menceritakan bagaimana suasana perayaan seperti Sin Chia, Cap Gou Meh, dan Cngge. Pada perayaan Sin Chia (Tahun Baru), mereka berpakaian baru dan memberi salam pada saudara-saudara serta mengunjungi anggota keluarga yang lain. Setiap ucapan selamat, diganjar dengan amplop merah berisikan Angpaw (uang).

Satu hal lagi yang menarik adalah perayaan ulangtahun Ratu Wilhemina yang dilakukan di Pasar Gambir. Setiap tanggal 31 Agustus adalah puncak acara Pasar Gambir tersebut. Berbagai stand ikut meramaikan acara tersebut. Ada tontonan sulap, komidi putar, American Carnaval Show, Panjat pinang, dan sebagainya.

Pintu Masuk Pasar Gambir
Pasar Gambir pada waktu malam (1928)

Film di Pasar Gambir

Menutup buku ini, Tio Tek Hong membagi rahasia panjang umurnya. Ketika buku tentang kisah hidupnya ini dibuat, ia sudah berusia 70-an tahun. Salah satu tipsnya adalah jangan begadang, minum alkohol, bangun tidur buat gerakan sedikit serta minum air banyak. Pepatah yang jadi gaya hidupnya:

Jika bangun pagi hari,
Rejeki selalu menghampiri,
Segala penyakit akan lari,
Bikin sehat kau punya diri!

Buku kecil ini cukup membuat kita berimajinasi pada kota Jakarta zaman dulu. Satu sudut pandang dari seorang pemilik toko dan pemburu masih sangat kurang bagi kita yang ingin mengenal Jakarta masa lalu. Namun paling tidak, warisan cerita ini adalah sesuatu yang berharga untuk menyusun memori tentang gambaran sejarah masa lalu kota yang makin hari makin dikepung macet, banjir, dan gedung-gedung tinggi.

@hws06072011

You Might Also Like

13 komentar

  1. wah pengen baca buku ini, sptnya jenis buku yg sy suka.. msh gampang dicari kan?
    senang berkunjung ke sini, reviewnya bagus2 dan bernas!

    BalasHapus
  2. @mei: kemarin di Pasar Buku Jakarta (di stand komunitas bambu) , aku masih lihat buku ini, harganya Rp10.000.\

    terimakasih sudah berkunjung mbak :a

    BalasHapus
  3. jadi inget cerita nenekku tentang jakarta tempo doeloe..naik becak dari pasar baru hingga jatinegara..pasti seruuu,jalanan engga serame sekarang..ga penuh ama motor ;p

    BalasHapus
  4. @azia: waaah seru tuh, mungkin dulu becaknya suka ngebut nggak yah? hehehe

    BalasHapus
  5. wah Jakarta ga maceet, kali nya bersih, ga ada polusi..

    BalasHapus
  6. @nanny: iya ceu...nggak kebayang seabad kemudian macetnya luar biasa :c

    BalasHapus
  7. Miris rasanya ya, sekarang jakarta udah jadi kota yang "ruwet". Kalo liat foto2 tempo dulu jadi sedikit sedih.

    BalasHapus
  8. @annisa: bener mbak, walau saya baru sepuluh tahun disini, saya bisa merasakan keindahannya. Sayangnya sekarang sudah tidak ada lagi. kita hanya ditinggalkan berupa cerita dan gambar-gambar :b

    BalasHapus
  9. melihat foto foto di atas, jakarta seolah negeri - negeri manca yang bersih dan rapi. saya jadi begitu kaget dengan perubahan yang cepat dari kota - kota di Indonesia. ketika saya kecil, Jogja adalah kota dengan jalanan yang didominasi oleh sepeda Onthel, sekarang? jarang orang yang berani naik sepeda onthel. jalanan tidak begitu aman bagi onthel.
    coba kita bayangkan amsterdam yang penuh onthel. jadi ngiri dengan penjajah yang telah mengangkangi kita selama 3,5 abad itu.

    BalasHapus
  10. @mas Eko: kira-kira apa ya itu penyebabnya? sayang sekali memang akhirnya lingkungan kita harus menerima dampak buruk dari hadirnya kendaraan bermesin.
    eits...persepsi dijajah 3,5 abad harus diubah loh mas, itu keliru, hehehe...makasih sudah berkunjung ke sini.

    BalasHapus
  11. eits...persepsi dijajah 3,5 abad harus diubah loh mas, itu keliru,
    mohon penjelasan bang helvry

    BalasHapus
  12. @Mas Eko; hitungan 3,5 abad dijajah Belanda, dimulai dari tahun 1596 hingga tahun 1945.
    Perlu dicermati, bahwa ketika Belanda datang tahun 1596, Belanda masih melakukan kegiatan dagang berdampingan dengan negara-negara Eropa lain seperti Inggris, Portugis, Spanyol. Belanda baru serius di mendirikan kantor dagang pada tahun 1618, dibawah pimpinan JP Coen.

    Selama kurun waktu 1618 sampai awal abad 20, belum ada konsep negara kesatuan. Yang ada masih berupa kerajaan-kerajaan yang terpisah satu sama lain. Dan pada awal abad 17 pun, kerajaan Aceh tidak tunduk pada Belanda.

    Yang ada adalah, selama 3,5 abad Belanda berusaha merebut wilayah yang kita namakan sekarang Indonesia. Sebut saja perang Diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), Perang Batak, Perang Puputan, Perang Paderi, dan perang lainnya. Apakah hal itu disebut penjajahan Indonesia selama 3,5 abad? tidak. Perang/perlawanan tersebut menunjukkan bahwa masing-masing pemimpin daerah berusaha mempertahankan daerahnya, konsep negara kesatuan baru digagas pada Tahun 1928.

    Demikian yang saya tahu mas, barangkali nanti ketemu sumber yang lebih jelas memberikan jawaban, mohon dibagikan juga. trimakasih.

    BalasHapus
  13. @Lilis: trimakasih tautannya...:q

    BalasHapus