Dewi Kawi

Kamis, November 24, 2011

Judul: Dewi Kawi
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2008
Tebal: 136 hlm; 20 cm
ISBN-10: 9792240640

Kisah ini bercerita tentang seorang pengusaha sukses yang bernama Eling. Ia biasanya dipanggil juragan Eling oleh anak buahnya. Juragan Eling dikenal baik, ulet, dan pekerja keras oleh anak buahnya. Dalam menjalankan usahanya, juragan Eling dibantu oleh adiknya yang setia yaitu Waspodo yang biasa dipanggil Podo. Juragan Eling membangun usahanya dari bawah. Awalnya ia bekerja sebagai pemeras air daun kol yang membusuk di pasar. Kemudian, ia beralih mengolah air kelapa. Air kelapa sangat laku karena dapat membuat daging ayam menjadi empuk dan gurih.

Dari olahan air kelapa, ia meningkatkan jenis produknya yaitu membuat sari buah seperti sari buah jeruk, kedondong, bengkoang, dan rambutan. Pada salah satu merknya terdapat tulisan Kawi. Eling sendiri mengaku bahwa ia belum pernah ke Gunung Kawi di Jawa Timur. Seluruh usahanya tersebut ia rintis bersama sang adik, Podo. Podo mendampingi Eling dari masa susah hingga sukses. Namun, di balik kesuksesannya, juragan Eling merasa bahwa ia perlu berterimakasih pada seseorang yang ia anggap sebagai dewi keberuntungan dan kesuksesannya. Ia menugaskan adiknya untuk mencari seorang perempuan yang berjasa padanya. Perempuan itu bernama Kawi.

Kawi adalah perempuan yang dulu tinggal di lokalisasi pelacuran. Dengan Kawi, Eling muda mendapat kebahagiaan dan kepuasan sebagai seorang laki-laki. Ketika Kawi mengajak Eling untuk kawin, Eling menolak dengan alasan ia belum mapan. Sebagai adik yang berbakti, Podo berusaha menyenangkan kakaknya dengan mencari perempuan bernama Kawi. Sekian banyak foto dibawa oleh Podo dari hasil pencariannya, namun tidak ada sosok yang sesuai menurut Eling. Sampai Podo akhirnya meninggal, Eling masih penasaran untuk mencari Kawi yang semakin membuat hatinya semakin rindu.


Keinginan Eling untuk bertemu dengan Kawi menjadi suatu pemaknaan filosofis bagi Eling. Apa yang dialami dengan Kawi dulu maupun ketika mencari sisa-sisa daun kol untuk diperas dipandang oleh Eling sebagai suatu realitas.

Realitas itu ternyata tidak satu. Realitas selalu berubah. Bukan hanya maknanya, melainkan realitas itu sendiri. Realitas terbangun dalam peristiwa, dan sesuai dengan perjalanan waktu, peristiwa itu diubah. Menjadi lebih cantik, atau menjadi lebih seram. Penyempurnaan terjadi terus, ketika seseorang itu meninggal (h.44).

Dengan kata lain, kunci dari semuanya ini adalah ingatan. Eling, seperti namaku. Segala sesuatu berdasarkan ingatan. Sesuatu menjadi bernilai, menjadi bermakna karena kita mengingat kembali. Dalam mengingat kembali, proses penciptaan kembali berlangsung. Baik secara sadar atau tidak-lebih banyak secara sadar. Dengan berlangsungnya waktu, jadilah rekonstruksi ingatan pada peristiwa sebagai peristiwa baru-sebagaimana yang kita kehendaki (h.49).

Ketika pulang dari acara kebaktian bersama mendoakan Podo, Eling juga memandang bahwa sesuatu peristiwa dapat dipandang berbeda dari sisi kreatif seperti humor, bukan melulu sesuatu yang rutin, patuh, dan sama seperti doa.

Humor dalam bentuk lain kita kenal sebagai bentuk-bentuk kesenian. Seorang pelukis yang melukis wajah, sebenarnya menciptakan wajah lain, wajah baru. Demikian juga puisi, demikian juga tarian, demikian juga tari-tarian, atau juga patung-patung. Selalu ada upaya keras untuk mewujudkan kembali, merekonstruksi dari fakta yang ada. (h.54)

Sebab imajinasi, dusta, mimpi, juga humor, adalah bentuk-bentuk perlawanan akan keterkungkungan, atas nasib yang tak bisa diubah (h.61)

Sepertinya lewat penokohan Eling ini, Arswendo membagikan suatu cara berpikir yang bebas, yang tidak terikat pada suatu kenyataan atau keadaan yang paling berat sekalipun, yaitu berimajinasi. Dengan mengingat kembali masa-masa indah atau romantis dulu, ia membangun sebuah imajinasi di benaknya yang memungkinkan ia tetap menciptakan sendiri dunianya tanpa menafikan bahwa keadaan di sekitar dapat berubah.

Dalam hidup, kita selalu berusaha berkompromi. Dengan istri, dengan suami, dengan orangtua, dengan mertua, sesama besan. Satu-satunya yang utuh dan terus kita bentuk adalah kebebasan kita dalam melamun, dalam berimajinasi, dalam bermimpi (h.76).

Dan bagaimana memandang cinta dalam suatu realitas? Eling memaknainya seperti ini:

"Cinta adalah dramatisasi, rekonstruksi ulang segala kejadian yang dialami-atau tak dialami secara langsung. Ketika kita larut di dalamnya, dan tak mampu membedakan mana peristiwa sesungguhnya dan mana yang olahan, sempurnalah sudah libatan emosi itu."

tambahnya:

"Ukuran cinta memang bukan kesetiaan. Orang yang mencintai, dan tetap mencintai, bisa saja tidak setia. Ukuran cinta juga bukan sekedar memperhatikan, membantu, melainkan "hubungan seks yang bisa dikonstruksikan menjadi emosional, menjadi sakral, tanpa mempergunakan akal."

Mungkin inilah esensi kehidupan itu sendiri, dimana menghadirkan kembali ingatan masa lalu ke kehidupan sekarang, menambahkannya dengan berbagai imajinasi seraya merekonstruksi kehidupan itu menjadi kepingan-kepingan baru. Karena kehidupan sekarang berasal dari kehidupan masa lalu, iredan seperti permainan solitaire. Terus menerus bisa mengocok, mencocokkan, mengatur, membuyarkan di tengah jalan, mengocok lagi, bermain lagi. Setiap kocokan adalah peristiwa (h.129).

Dan menjadi pentingkah sebuah pertemuan? apakah pertemuan menjadi jawaban atas kerinduan?

Cinta Pertama
Setiap orang muda pasti teringat cinta pertamanya dan mencuba menangkap kembali hari-hari asing itu, yang kenangannya mengubah perasaan direlung hatinya dan membuatnya begitu bahagia di sebalik, kepahitan yang penuh misteri. (Khalil Gibran)

@hws24112011

You Might Also Like

4 komentar

  1. Saya suka petikan ini "Sesuatu menjadi bernilai, menjadi bermakna karena kita mengingat kembali" masih di buku yang sama, Dewi Kawi.

    BalasHapus
  2. air perasan daun kol buat apa Hel ?

    BalasHapus
  3. @nat: wah nggak tahu juga nat. udah nyari di google juga nggak ada.

    BalasHapus