Gandamayu

Rabu, September 19, 2012


Gandamayu adalah sebuah novel yang ditulis oleh wartawan Kompas, Putu Fajar Arcana. Dari cover novel ini ada tiga objek yang menjadi bagian novel ini. Pertama siluet ayah dan anak dan sebuah sepeda. Hal ini merefleksikan Putu Fajar Arcana sebagai anak yang dibawa berkeliling oleh ayahnya dengan sepeda ke desa-desa di Bali. Selain sebagai petani, ayah Arcana adalah penembang yang seringkali dipanggil ke desa-desa tetangga untuk menembang pada acara ruwatan. Kedua, adalah pohon waru. Pohon Waru ini adalah pohon dimana Sahadewa diikat oleh Kalika ketika ia ditawan di hutan setra Gandamayu. Ketiga adalah mata? saya sendiri tidak tahu apa maknanya.

Bagi yang sudah mengetahui kisah Mahabharata, maka tidak sulit memahami cerita pada novel ini. Pertarungan antara Pandawa dan Kurawa di medan Kurusetra, memperoleh porsi terbesar dalam cerita ini. Namun, yang menjadi sorotan utamanya bukanlah semata-mata kisah heroik pertarungan tersebut. Namun peranan wanita di dalamnya. Suatu rekonstruksi cerita yang menarik bila cerita klasik Mahabharata tersebut ditinjau dari kacamata kekinian. Pertanyaan mendasarnya ialah: Apakah sebuah kebijakan itu menjadi bijak jika yang mengambil adalah pihak mayoritas/superior?

Mengapa kegelisahan tersebut muncul? barangkali penyebab utamanya dalam prakteknya seringkali sebuah kebijakan tanpa tujuan yang jelas dan kebijakan tersebut adalah sesuatu hal yang diambil dari satu sudut pandang saja, tanpa menimbang dari sisi lain. Akibatnya, 'kebijakan' tersebut menjadi tak hidup dan cenderung merugikan satu pihak.

Menurut Arcana di dalam kata pengantarnya, novel ini awalnya dimaksudkan untuk memenuhi permintaan dari Pusat Bahasa (sekarang menjadi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) untuk menerbitkan kembali kisah-kisah klasik yang hidup di banyak daerah dengan memberinya sentuhan baru. Buku ini pernah diterbitkan oleh Pusat Bahasa pada tahun 2009 dengan judul Gandamayu, Cinta Perempuan Terkutuk. Namun perkembangan selanjutnya, melalui kisah masa kecil, ia ingin menghubungkan antara cerita mitos zaman dulu dengan kehidupan saat ini. Peristiwa ruwatan Dewi Durga oleh Sahadewa menjadi asal-usul tradisi ruwatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dan Bali.

Gandamayu
Penulis: Putu Fajar Arcana
Desain sampul: Salomo Tobing
Ilustrasi isi: Rahardjo SN
Tebal: xviii+190 hlm
Penerbit: PT Kompas Media Nusantara
ISBN: 978-979-709-622-9

Cerita awalnya dimulai di Khayangan dimana dewa dan dewi berkumpul. Dewa Siwa yang sakit meminta Dewi Uma agar turun ke bumi untuk menemukan obat sakitnya. Obat itu ialah susu dari sapi putih milik seorang gembala di bumi. Dewi Uma dengan baktinya pada suaminya menuruti permintaan tersebut. Ia tinggalkan khayangan dan mulai mencari gembala tersebut. Penemuan yang tidak mudah. Ia berkeliling ke jalan-jalan dan pasar, namun tak jua menemukan gembala itu. Ketika Dewi Uma hampir menyerah, ia melihat gembala dan sapinya sedang berjalan pulang. Dewi Uma memperkenalkan diri sebagai penghuni khayangan lalu meminta sapi itu. Gembala itu menolak, ia mengatakan pada Dewi Uma bahwa ia bersedia jika diberikan uang. Uang darimana? di khayangan tidak dikenal uang! Selanjutnya Dewi Uma menawarkan perhiasan di tangannya untuk ditukar dengan sapi itu, gembala itu menolak. Ia bersedia memberikan sapinya asalkan Dewi Uma tidur dengannya.

Dari situlah awal mula petaka. Dewa Siwa marah karena Dewi Uma berlaku tidak pantas. Karena itu, Dewa Siwa mengutuk Dewi Uma ke bumi, mendiami hutan Gandamayu, bersama dengan penghuni khayangan yang dikutuk lainnya. Di Gandamayu, hutan yang penuh bangkai mayat manusia itu, Dewi Uma menjadi Durga bersama dengan Kalika, Kalantaka, dan Kalanjana. Masa hukuman tersebut selama 12 tahun, dan satu-satunya cara agar Durga bisa kembali menjadi penghuni khayangan adalah dengan diruwat oleh Sahadewa, putra bungsu dari keluarga Pandawa. Proses meruwat itulah yang menarik. Dalam cerita ini ada tiga perempuan yang terlibat: Durga, Kalika, dan Kunti. Mereka punya peran sendiri-sendiri yang penuh strategi dan intrik.

Cerita yang berkesan biasanya menitipkan pesan atau pertanyaan. Beberapa hal yang menjadi pertanyaan adalah pertama, jika dahulu adalah merupakan suatu yang umum dimana seorang istri akan menuruti apa saja permintaan suaminya, apakah sekarang sebuah tindakan yang salah bila istri mempertanyakan apa maksud dan tujuan permintaan dari sang suami? Kedua, dengan alasan tidak setia pada suami Dewa Siwa menghukum Dewi Uma, apakah Dewa Siwa sudah melakukan kesetiaan dengan mengampuni/memaafkan Dewi Uma? Ketiga, sebenarnya siapa yang harusnya diruwat? bukankah patutnya Dewa Siwa juga patut diruwat? Dewa Siwa tidak menyadari dampak-dampak 'kebijakan'nya telah membuat orang lain menderita juga dan menghindari agar 'kebijakan' Dewa Siwa tidak menimpa orang lain?

Bagaimana proses meruwat Durga tersebut, bisa dibaca selanjutnya. Arcana meneruskan Cerita ini hingga peperangan Baratayudha antara Pandawa dan Kurawa. Novel ini juga sudah dipentaskan dalam bentuk repertoar bersama Teater Garasi di Gedung Kesenian Jakarta, 4-5 September 2012 lalu. Liputan mengenai acara tersebut dapat dilihat pada postingan saya di sini.

Ki-Ka: Kalika, Kunti, Sahadewa, Semar, Kalantaka, Durga, Kalanjana (Dok.pribadi)



Pemain teater (lengkap) Latar belakang Gandamayu yang berbunga-bunga (Dok.pribadi)

Dari perjumpaan dengan novel ini saya mengalami dua kali pengalaman pertama. pengalaman pertama yang pertama adalah membaca cerita Mahabharata versi Indonesia dan pengalaman pertama yang kedua saya menonton teater yang bersumber dari novel. Saya diperkaya dengan membaca dan menonton cerita ini. Menurut saya cerita-cerita kuno namun dengan disisipkan budaya lokal seperti wayang, baik dibaca generasi sekarang agar cerita lokal mendapat tempat yang besar di khasanah sastra Indonesia.

Jkt, 19 September 2012



You Might Also Like

4 komentar

  1. @tensile strenght: dan bacanya jg cepet :)
    makasih sudah berkunjung.

    BalasHapus
  2. Berarti buku ini asik bgt ya karena tampaknya mas helvry menikmati proses membacanya.

    BalasHapus
  3. @Oky: kalau menurutku sih iya ky. Coba dari dulu zaman waktu sekolah dulu udah dengar cerita wayang kayak gini...:a :a :q

    BalasHapus