Saat-saat Kebenaran

Rabu, Oktober 17, 2012



Buku ini adalah kumpulan enam buah cerita pendek yang sudah diterbitkan sebelumnya. Cerita pertama berjudul Wahyu oleh Flannery O' Connor, cerita kedua berjudul Pengadilan S. Thomas More oleh Robert Bolt. Cerita ketiga berjudul Tuhan membenarkan dengan menguji ketabahan hati oleh Leo Tolstoy. Cerita keempat berjudul Prakiraan oleh Morris L. West. Cerita kelima berjudul Sonei Kenichi oleh seorang suster OSU, dan cerita keenam berjudul Selalu di hati oleh T.C. Lengyel.

Saat-saat Kebenaran
Kumpulan cerita pendek
Penerjemah: Tim Cipta Loka Caraka
Pengantar: Adolf Heuken, SJ
Penerbit: Cipta Loka Caraka
Cetakan kedua: 2001

Empat cerita pertama ini diperoleh dari buku kumpulan cerpen yang sudah terbit di Amerika dalam buku saku Moment of Truth oleh Dan Herr dan Joel Welless, New York 1968. Sedangkan Sonei Kenichi adalah sebuah kesaksian dari seorang suster terhadap pimpinan pasukan Jepang yang dulu bertugas di kampung Cideng, Jakarta. Cerita yang terakhir diterjemahkan dari allgemeine sonntagszeitung (sebuah harian di Jerman) tanggal 29 Oktober 1976.


Pada pengantar buku ini, Adolf Heuken menuliskan bahwa di dalam hidup seseorang, ada saat-saat tertentu yang memainkan peranan penting:
* sebagai titik balik jalan kehidupan,
* sebagai pembuka mata mengenai keadaan sebenarnya dari jiwa serta hati;
* sebagai persimpangan jalan saat harus memilih dengan mempertaruhkan seluruh kepribadian;
* sebagai titik yang menyelesaikan apa yang telah dipersiapkan selama puluhan tahun lamanya.
Dalam hal itulah, terlihat nilai-nilai setiap orang sebenarnya, dimana kerutinan sehari-hari, tingkah laku lazim, topeng sopan santun, kedangkalan urusan biasa sekonyong-konyong tercabik, sehingga yang tertinggal hanyalah nilai dan harkat seseorang, terlepas dari pangkat, umur, kekayaan, kepandaian, atau kedudukan dalam masyarakat.

Tokoh-tokoh pada keenam cerita pendek ini mengalami konflik atas prinsip-prinsip yang telah diyakininya sejak lama. Namun, pada dasarnya ada sesuatu yang sifatnya abadi memimpin mereka kepada penemuan jalan yang mengubah cara pandang dan hidup mereka.

Wahyu, dalam pertemuan singkat dalam sebuah ruang tunggu praktek dokter, Nyonya Turpin menunggu bersama berbagai-bagai orang, dan ketika ia memerhatikan para pasien yang ikut menunggu, ia teringat bahwa kadang tiap malam ia membuat peringkat orang-orang. Kelas paling bawah adalah kulit hitam, sederajat dengan kelas tersebut adalah kaum sampah kulit putih. Di atasnya adalah orang yang punya rumah, di atasnya lagi adalah para pemilik rumah serta tanah (ia masuk golongan ini). Dan di atasnya lagi adalah orang-orang yang punya banyak uang, rumah-rumah, serta tanah-tanah yang luas. Namun, sebuah perilaku aneh dari seorang gadis yang sedang membaca buku "Human Development". Gadis itu menyerang Nyonya Turpin dengan melemparkan bukunya serta mencekiknya. Sepulang dari praktek dokter itu, ia tidak tenang dan gelisah. Bukan karena bekas serangan gadis tersebut pada kepala dan lehernya, melainkan jauh lebih dalam tentang bagaimana ia memandang diri dan sesamanya.

Pengadilan Sir Thomas More, setting cerita berada dalam ruang persidangan. Sidang yang dipimpin Hakim Ketua menghadirkan Sir Thomas More sebagai terdakwa yang dituduh "berkhianat terhadap negara". Thomas More adalah sahabat Raja Inggris namun dituduh melawan Raja yang bergelar "Kepala Gereja Teritnggi" di Inggris. Dialog-dialog yang terjadi selama persidangan sangat menarik. Dengan berlandas alur berpikir yang runtut dan penuh argumentasi, Thomas More mengkritisi suatu keadaan yang pada dasarnya melawan hati nurani alih-alih melawan hukum. Namun, dimanakah itu persidangan hati nurani?

Tuhan membenarkan dengan menguji ketabahan hati, Ivan Dimitri Aksionov seorang pedagang muda berjalan ke kota lain untuk berdagang. Firasat buruk telah disampaikan istrinya. Meski istrinya mengungkapkan keberatan agar Aksionov urung pergi, Aksionov tetap mengucapkan selamat tinggal dan berangkat. Sebuah kejadian naas menimpanya dimana ia dituduh membunuh pedagang yang bersama-sama menginap dengannya. Sekelompok pasukan menangkapnya, serta memenjarakannya. Bukti berupa pisau berlumuran darah ditemukan dalam tas Aksionov. Aksionov bersumpah tak melakukannya, namun tak ada hasilnya. Selama duuapuluh enam tahun tak ada pembuktian yang meringankannya, sampai ketika diujung hidupnya, sebuah fakta terungkap.

Prakiraan, Monsinur Meredith, yang selama hidupnya memimpin misa di gereja, melakukan perlawatan kepada orang-orang sakit, berkhotbah, berdoa. Pekerjaan tersebut ia lakukan bertahun-tahun, sampai suatu saat hasil foto menunjukkan bahwa ada tumor di tubuhnya, dan diperkirakan dalam waktu  kurang dari setahun ia akan mati. Ketakutan akan masa depan yang 'pasti' itu membuatnya semakin gelisah. Ia selama ini hidup sendiri, melakukan tugas-tugas rutin sebagai pelayan gereja, pulang ke apartemennya. Bayang-bayang kematian terasa semakin menghimpit. Ia membayangkan bagaimana ketika nanti akan meninggal. Riwayat hidupnya dibacakan, upacara pemakaman dilakukan, lalu kemudian namanya akan dikenang sebagai kumpulan orang-orang beriman yang telah meninggal.

Sonei Kenichi, cerita adalah kisah nyata. Sonei Kenichi adalah seorang kapten angkatan perang yang berusia 36 tahun. Ia dikenang sebagai perwira yang kejam terhadap para tawanannya ketika menjabat sebagai Komandan Kamp Interniran Wanita Belanda di Tjideng. Ketika pasukan Jepang dilucuti tentara Sekutu, semua pasukan Jepang ikut ditahan dan diadili. Pengadilan akhirnya memutuskan bahwa ia dihukum mati. Sebelum eksekusi dilakukan, Sonei ditanyakan apa permintaan terakhirnya. Sonei meminta agar ia dipertemukan dengan suster yang dulu hendak disiksanya. Suster tersebut berani melawan Sonei dengan tatapan mata dan ucapannya, meski Sonei menggores leher suster itu dengan pedang yang tajam. Bayang-bayang kematian serta ketakutan menghantuinya, ia ingin mengetahui dari si suster, mengapa saat itu ia tidak takut mati.


Catatan
 Berita tentang hukuman Sonei ini dipublikasikan di koran Australia, The Argus tanggal 7 Agustus 1946:
The trial of Captain Sonei   Kenichi, former POW camp  
commandant, began before a Dutch War Crimes Court on Monday.
Kenichi is accused of causing the death of POW's and internees, in- cluding Australians, as the result of ill-treatment.
Three of the 16 charges against Kenichi concern Australians. They are: In October, 1943, despite the intervention of an Australian officer who refused to move them from their transport, he lined up a draft of Australians for Siam who were suf- fering from dysentery, and kicked and struck them individually; in March, 1943, he punched an Australian fly- ing-officer into semi-consciousness and ordered him to stand at attention for eight hours; on February 5, 1944, he deliberately and brutally struck and kicked two Australians.



Dan tanggal 7 September 1946

A Dutch War Crimes Court has sentenced to death Captain Sonei Kenichi, Japanese camp commandant, who was found guilty of ill-treating and caus- ing the death of a number of people, including Australian POW's.

He was notoriously known in Java as "Sone."

Flight-Lieut Hector McDonald and Captain Allister MacKenzie, two of the three Australian war crimes officers murdered in Java earlier this year, were responsible for the arrest of "Sone" in a Japanese camp in West Java, where he had disguised himself as a private soldier. "    One of the crimes against the Aus- tralians with which "Sone" was charged concerned an incident in October, 1943, when he lined up a draft of sick Australians being sent to work on the Thailand railway, and kicked and beat them individually.


Selalu di hati, jatuh cinta pasien pada seorang perawat. Namun ada nasib yang menghalangi cinta mereka. Sang perawat itu sendiri yang jatuh sakit hingga menjelang ajal. Penutup cerita yang manis dengan dikeluarkannya ungkapan cinta:
"Sejak malam ini, aku akan tinggal dalam hatimu..."


Membaca seluruh cerpen ini membuat kita merenungkan kembali, titik-titik manakah yang membuat hidup kita seperti sekarang? semua keputusan mengandung konsekwensi, bahkan dengan peristiwa-peristiwa kecil namun memberi makna besar. Ada saat-saat dimana kita perlu merenungkan kembali dengan apa yang sudah kita jalani dan sejauh apa kita memberi dampak pada orang lain, agar hidup yang terbelenggu tubuh fana ini menjadikan dunia lebih baik.

Jkt, 17 Oktober 2012

You Might Also Like

4 komentar

  1. Seperti serial fiksi lotus ya? Sama kah? Hanya beda penerbit mungkin? :)

    BalasHapus
  2. @enggar: mirip mbak..tapi mungkin ini lebih ke tema tertentu, kalau fiksi lotus terlalu acak tema-tema antar cerpennya

    BalasHapus
  3. Semua keputusan mengandung konsekwensi..bener banget :)

    BalasHapus
  4. Buku bagus, dua kali pernah punya buku ini, dan dua kali pula raib entah kemana... :)

    Sekarang sudah jarang menjumpai buku CLC, thx bisa melihatnya lagi di sini... :D

    BalasHapus