Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas by Katrin Bandel

Minggu, April 06, 2014


Pertanyaan yang paling mendasar adalah apakah itu kolonialitas dan apa itu pascakolonialitas. Hal penting yang patut diingat adalah bahwa ketika Indonesia merdeka dari penjajah, bukan berarti negara Indonesia mulai dari nol seperti bayi yang baru lahir, melainkan sebagian besar masih melanjutkan tradisi, budaya serta warisan pemerintah penjajah sebelumnya. Hal penting dalam kajian kolonialitas adalah bagaimana bangsa penjajah (dalam hal ini bangsa berkulit putih) melihat bangsa jajahannya? Peristilahan Timur dan Barat, Dunia pertama dan Dunia Ketiga, merupakan pengklasifikasian/pembedaan bangsa dari sudut pandang orang kulit putih.

Lalu apa yang salah dengan hal itu? cara pandang orang Barat terhadap Timur adalah memandang bahwa Orang Timur adalah orang yang tertinggal, eksotis, patut diberi pencerahan, dan lain sebagainya. Persoalan mendasarnya adalah menganggap manusia Barat dan Timur tidak setara. Tidak hanya di dunia politik, tetapi juga di dunia ekonomi, militer, dan juga sastra-yang menjadi objek kajian Katrin Bandel, Doktor Sastra Indonesia dari Universitas Hamburg, Jerman. Situasi Orang Barat memandang dengan kacamata ketidaksetaraan terhadap Dunia Timur, menjadi kegelisahan tersendiri bagi Katrin. Dalam banyak situasi, orang Barat diuntungkan, tetapi Katrin mengambil sikap dengan tidak berdiri di posisi menguntungkan tersebut. Ia mengistilahkannya situasi tersebut dengan ambivalensi, yang diuraikan oleh Ahda Imran dalam Peluncuran buku ini di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, dengan :"simpati pada mereka yang tersisihkan oleh sistem yang mendominasi sambil menikmati posisinya yang sejuk nyaman yang disediakan oleh sistem itu."  



Sastra Nasionalisme Pascakolonialitas
Penulis: Dr. Katrin Bandel
Editor: Saut Situmorang
Proofreader: Irwan Bajang
Ilustrasi cover: Composition II in Red, Blue, and Yellow, 1930, karya Piet Mondrian
Penerbit: Pustaka Hariara, Yogyakarta, 2013
Tebal: 270 hlm
ISBN: 978-602-1599-24-2

Membaca kumpulan tulisan Katrin ini bagi saya sungguh mengasyikkan. Saya berkesempatan hadir dalam acara peluncuran bukunya-namun sayang tidak memperoleh tanda tangannya karena harus kembali ke kantor-. Bahasa Indonesianya cukup fasih dan terjalin rapi. Ia justru mengakui bahwa ketika ia kuliah dulu, ia tidak mendalami apa itu teori sastra terlebih teori-teori pascskolonial. Barulah ketika tinggal di Indonesia, ia mempalajari teori-teori tersebut yang notabene teori tersebut berasal dari "dunia"nya (Barat). Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Migran, ia menceritakan bahwa ia dan ratusan juta penduduk bumi lainnya merupakan bagian dari migran dunia. Ia lebih beruntung karena fasilitas dan kemudahan yang ia terima kebanyakan karena ia sebagai kulit putih, yang cerdas, yang berpendidikan, lebih keren. Namun ketika membandingkan dirinya dengan jutaan TKW Indonesia yang dikirim ke Timur Tengah, dimana mayoritas TKW tersebut tidak dapat baca tulis, ia mempertanyakan apa pengalaman yang menyatukan dirinya dengan ratusan juta jiwa migran seluruh dunia?  Jawabannya adalah bertemunya ia dengan kebudayaan baru, orang-orang baru. Lebih dari itu, dengan menjadi migran Katrin menyadari bahwa migrasi bukanlah sebuah masalah, tetapi yang menjadi masalah adalah ketidakadilan yang menyertainya. Ia mencontohkan tenaga kerja wanita Indonesia yang diperlakukan semena-mena di luar negeri berbeda dengan Katrin yang berasal dari Barat, kerap mendapat keistimewaan dalam perlakuan.

Salah satu buku yang diperbincangkan oleh Katrin berkaitan dengan postkolonial adalah Sastra Indonesia Modern: Kritik Postkolonial Edisi Revisi Clearing a Space (Yayasan Obor Indonesia-KITLV). Pada kata pengantar buku tersebut, Manneke Budiman menyatakan perlu diungkapkan bahwa penulis dari buku tersebut terdiri 12 orang peneliti sastra  yang berasal dari pelbagai negara termasuk 2 orang dari Indonesia. Bukan bermaksud mempermasalahkan sedikitnya jumlah kritikus Indonesia, namun mengangkat asumsi dasar-disadari atau tidak-kajian postkolonial atas kesusastraan suatu bangsa dapat dilakukan secara objektif tanpa adanya intervensi subjektivitas para peneliti terkait dengan latar belakang ras, kebangsaan, dan budaya masing-masing.  Oleh karena itu, tidak menjadi soal adanya perbedaan persentase yang besar antara kritikus Indonesia maupun kritikus non-Indonesia, dengan mengasumsikan kritikus-kritikus tersebut mengambil jarak aman dari subjek kajiannya (hlm ix-x). Pernyataan Manneke ini paradoks dengan judul asli bukunya yaitu:  Clearing a Space. Hal ini dipertanyakan oleh Katrin, bagaimana caranya tetap mengambil jarak dengan objek kajiannya? bagaimana para peneliti-peneliti tersebut mengerti dampak-dampak kolonialisme tersebut jika tidak pernah tinggal dan turut merasakan sendiri?. Katrin berpendapat,  meski Jerman tidak menjajah Indonesia, namun dari catatan-catatan ataupun karya orang Jerman yang pernah bertugas di Nusantara pada masa kolonial, menunjukkan bahwa orang Eropa pada umumnya memandang orang pribumi Nusantara sebagai orang yang kurang berbudaya dan kurang bermoral (hlm 207). Katrin mencontohkan pandangan misionaris Jerman tentang budaya Batak (cat. sila baca review buku Utusan Damai di Kemelut Perang karya Uli Kozok).

Foto Diskusi Peluncuran Buku di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung (sumber: koleksi pribadi)
Apakah disadari atau tidak, pada kita sebagai rakyat Indonesia, terbentuk mindset inferior terhadap Dunia Barat, Dunia Pertama, Orang Kulit Putih, dan sebagainya?. Akhirnya, apakah "jarak" tersebut terbuat sendiri atau memang dibuat? Terkait dengan hal ini, Katrin pernah dilabeli "bule yang menganggap rendah orang berkulit coklat". Hal itu terjadi ketika Katrin menempatkan dirinya pada wacana dunia global yang tidak membedakan dunia pertama dan dunia ketiga, yaitu saat Katrin mengkritik novel Saman, karya Ayu yaitu mempersoalkan apakah tepat Novel Saman menyuarakan feminisme di Indonesia. Salah satu pembaca (Indonesia)  mempertanyakan identitas Katrin sebagai orang bule yang rasis terhadap karya Ayu Utami.

Dua issue yang menarik dari keseluruhan tulisan Katrin ini yaitu politik sastra dan kritik sastra. Kedua issue ini juga saling berkaitan dimana penilaian setiap karya sastra, tidak lepas dari persoalan politik sastra. Inilah yang menjadi dinamika perkembangan dunia sastra, bahwa karya sastra seharusnya selalu dikritisi untuk karya-karya yang lebih bermutu. Politik tentu saja berkaitan dengan kepentingan. Demikian juga dalam politik sastra, bahwa ada kepentingan di balik munculnya karya-karya sastra. Terkait dengan hal ini Katrin mengulas tentang politik sastra di Indonesia yang didominasi Komunitas Utan Kayu. Terkait dengan kritik sastra, menurut Katrin, ada syarat minimal yang harus dpenuhi sebagai kritik sastra:

1.mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya sampai pada penilaian tertentu
2. memiliki dasar pengetahuan tentang sejarah sastra (Indonesia) dan teori sastra. (hlm 186)

Hal menarik selanjutnya adalah dimana sebuah karya seperti kritik sastra, atau kajian sastra ditempatkan? Katrin membandingkan dirinya dengan Indonesianis yang menulis tentang Indonesia. Tulisan Indonesianis tersebut biasanya diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah bergengsi di luar negeri serta dalam bahasa Inggris. Ia juga menyoroti dunia akademis sastra yang terkesan eksklusif, dimana sepertinya ada kesenjangan antara dosen-dosen sastra dengan sastrawan maupun penikmat sastra di luar lingkungan kampus. Pengamanatannya bahwa interaksi dan diskusi yang bermutu justru lebih sering dalam acara non-akademis. Akibatnya, tidak adanya saling mengisi antara dunia sastra akademis dengan non-akademis, sepertinya jalan sendiri-sendiri. Padahal, kolaborasi tersebut, sangat menguntungkan. Katrin mengamati bahwa masih ada relasi kekuasan global membatasi wacana kritis dan menyulitkan terbangunnya dialog yang setara antara sastrawan dan peneliti (h.193). Katrin memilih sikap dengan tidak menempatkan diri sebagai Indonesianis, maupun dosen yang hanya berdiam di menara gading. Tulisan-tulisannya justru tidak terkenal di jurnal ilmiah asing serta tidak berbahasa Inggris atau Jerman, tetapi kebanyakan berbahasa Indonesia. Dan ia memilih media-media alternatif seperti blog, koran alih-alih situs jurnal akademis. Ia mengamati bahwa salah satu faktor tidak produktifnya dosen sastra di dunia luar kampus adalah keharusan untuk membuat tulisan ilmiah karena berkaitan dengan kenaikan golongan dan tentu saja kenaikan penghasilan.  Ini permasalahan sistemik yang seharusnya melibatkan petinggi di pemerintahan.

Buku ini patut dibaca karena bagi saya sebagai orang awam akhirnya terbuka pemikiran bahwa dalam mengkritisi sebuah pembacaan atau karya sastra, perlulah seseorang mendapatkan pengetahuan akan teori sastra. Selain itu, dalam menyusun argumentasi haruslah berdasar dan dapat dimengerti orang lain. Hasil kajian Katrin terhadap Novel Saman yang dipaparkan dalam bahasa yang mudah dipahami orang awam menyadarkan kita bahwa sesuatu karya sastra yang mendapat pujian dan penghargaan hebat sekalipun, patut dikritisi dan dinilai kembali apakah penghargaan sastra dan sebagainya menjadi kriteria utama yang menunjukkan kualitas karya sastra.

referensi:http://artculture-indonesia.blogspot.com/2006/05/katrin-bandel-mencincang-ayu-utami.html
http://www.portalkbr.com/berita/nasional/3082096_4202.html
http://www.merdeka.com/peristiwa/katrin-bandel-tulis-catatan-pinggir-untuk-sitok-srengenge.html
http://boemipoetra.wordpress.com/tag/katrin-bandel/
http://komunitassastra.wordpress.com/2009/07/22/tanggapan-gadis-arivia-untuk-katrin-bandel-2/
http://komunitassastra.wordpress.com/2009/07/22/tanggapan-katrin-bandel-untuk-gadis-arivia-manneke-budiman-dan-ulil-abshar-abdalla/

@helvrySINAGA
Depok, 6 April 2013

You Might Also Like

1 komentar

  1. Wah keren reviewnya ^^ aku belum pernah ngereview buku beginian >.

    BalasHapus