Surat Batak by Uli Kozok

Selasa, Januari 19, 2016


Apa yang membuat suatu bangsa memiliki peradaban adalah bangsa itu memiliki warisan tulisan. Karena dari tulisan-lah suatu jejak bangsa diselidiki. Bagi suku bangsa yang sudah mengenal aksara, adalah merupakan suatu keuntungan dapat mewariskan sejarahnya pada generasi berikutnya. Namun, tradisi menulis di Indonesia hingga saat ini masih jauh dari memadai. Apresiasi terhadap tulisan-tulisan dari sejarah suku bangsa Indonesia masa lalu pun lebih banyak digeluti oleh ilmuwan asing. Sungguh kondisi yang membuat miris.

Filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik. Saya teringat dengan istilah filologi ketika membuat resensi buku The Profesor and The Mad Man, kurang lebih lima tahun yang lalu.  Dalam pendahuluannya, Dr. Uli Kozok menyatakan bahwa buku ini merupakan pengantar filologi Batak yang mencakup dasar-dasar filologi Batak dan penerapannya. Suatu kondisi yang sangat-sangat miris, dimana para filolog yang meneliti naskah-naskah Batak kebanyakan menulis hasil penelitiannya dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Belanda. Bahkan Dr. Liberty Manik, seorang filolog Batak asli-sekaligus pencipta lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa-, memilih menulis dalam Bahasa Jerman. Sangat disayangkan, dari tulisan-tulisan dalam bahasa asing tersebut, sependek pengetahuan saya- tidak diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Batak. Tulisan hasil penelitian Dr Uli Kozok  ini benar-benar mengisi kekosongan atas kekurangan bahan bacaan terkait surat batak.




Surat Batak
Sejarah Perkembangan Tulisan Bata Berikut Pedoman Menulis Aksara Batak dan Cap Si Singamangaraja XII
Dr. Ulrich Kozok
Cetakan Kedua, Desember 2015
Kepustakaan Populer Gramedia
Buku ini diterbitkan atas dukungan Departemen Luar Negeri Prancis, dalam rangka program bantuan penerbitan yang dikelola oleh Institut Francais di Indonesia, Kedutaan Besar Prancis di Indonesia.

Dr. Uli Kozok memberikan suatu gambaran bahwa kondisi pendidikan tentang Aksara Batak pun tidak begitu menggembirakan. Ia menyatakan bahwa banyak penulis batak dalam bukunya menyertakan tabel tentang surat batak. hal itu menunjukkan orang batak bangga akan keberaksaraan yang menunjukkan peradaban bangsa yang tinggi. Namun, menurut Kozok, tidak satupun susunan aksara yang digunakan memberikan gambaran yang jelas dan lengkap.

Kozok mengidentifikasi penyebabnya adalah pertama, bahwa aksara batak sudah lama tidak dipergunakan lagi. Kedua, bahwa aksara batak telah mengalami perubahan karena dipengaruhi varian-varian aksara dimana akhir abad ke-19 sudah banyak digunakan untuk mencetak buku-buku keagamaan dan pendidikan. Situasi saat ini di buku-buku pelajaran sekolah maupun perguruan tinggi tidak begitu menggembirakan. Buku pelajaran Bahasa Batak penuh kesalahan dan kejanggalan. Kozok tidak menginformasikan kesalahan atau kejanggalan seperti apa yang dimaksud, namun saya sendiri turut mengaminkan situasi tersebut karena pernah merasakan pelajaran aksara Batak di SMA sangat jauh dari memadai. Hingga kini, buku-buku penuntunyapun sulit diperoleh.

Pengelompokan Surat Batak
Suatu hal yang menarik adalah bahwa sastra batak tidak pernah dituliskan. Cerita-cerita berupa fabel, mitos, legenda, diwariskan secara lisan. Selanjutnya yang ditulis dalam suatu surat diklasifikasikan dalam tiga kelompok besar, yaitu:
  1. Ilmu kedukunan (hadatuon)
  2. Surat-menyurat (termasuk surat ancaman)
  3. Ratapan (hanya di Karo, Simalungun, dan Angkola-Mandailing).
Menariknya lagi dari populasi surat batak, 75% surat batak adalah kelompok ilmu kedukunan dan yang menulis surat biasanya adalah datu (dukun) tetapi tidak menutup kemungkinan juga adalah orang biasa. Seorang dukun pada masa itu merupakan lapisan penduduk dengan mobilitas tinggi. Disamping pengetahuan aksaranya yang tinggi, ia juga memiliki tingka perpindahan wilayah yang tinggi dalam rangka memperdalam ilmunya pada orang-orang sakti di wilayah yang berbeda-beda. Karena itu tidak heran, ada kosa kata yang sama pada wilayah yang berbeda ditemukan di dalam pustaha.

Cerita-cerita rakyat (folkor) sangat jarang ditulis dalam pustaha. Ada koleksi milik Perpustakaan Leiden tentang cerita si Aji Dinda Hatahutan yang menceritakan asal usul tunggal panaluan. Namun setelah ditelusuri naskah tersebut berasal dari koleksi Van der Tuuk atau koleksi Ophuijsen dan dibuat atas permuintaan kedua orang Belanda tersebut! Luar biasa!

Kozok mengklasifikasikan Pustaha Batak yang berisikan ilmu perdukunan menjadi beberapa kelompok, yaitu:
  1. Ilmu hitam, terdiri dari Pangulubalang, tunggal panaluan, Pamunu tanduk, dan Gadam.
  2. Ilmu Putih, terdiri dari Penolak Bala (pagar), Azimat, Pencegah pencurian (pohung atau songon)
  3. Ilmu-ilmu lainnya, terdiri dari Tamba tua, Dorma, Porpangiron, Porsili, ambangan, pamapai ulu-ulu

Perihal perobatan tidak banyak. Kozok menyarankan membaca karya Winkler dan Romer yang semuanya dalam Bahasa Jerman..

Ilmu Nujum. Menarik juga diketahui bahwa tidak ada pustaha yang tidak mengandung ramalan, Bahwa hal paling penting bagi orang Batak adalah topik tentang ilmu nujum. Ada beberapa istilah terkait ilmu nujum ini, yaitu:

  1. Pormesa na Sampuludua yang dapat diterjemahkan sebagai 12 rasi bintang, atau dalam bahasa lainnya zodiak.
  2. Panggorda na ualu, yaitu delapan dewa yang masing-masing menguasai satu mata angin
  3. Pehu na pitu, yaitu tujuh dewa yang masing-masing menguasai satu hari pada satu minggu yang terdiri atas tujuh hari.
  4. Pormamus na lima adalah dewa yang masing-masing menguasai satu ketika. Kelima pormamis adalah mamis, bisnu, sori, hala, dan borma
  5. Pane na Bolon adalah dewa yang mengelilingi bumi (banua tonga) dan dalam perjalanannya menempati keempat mata angin selama masing-masing tiga bulan.
  6. Parholaan, adalah kalender Batak yang terdiri atas dua belas bulan dengan masing-masing 30 hari. Uniknya kalender ini tidak pernah dipakai untuk penanggalan, tapi bertujuan untuk meramal hari baik yang disebut panjujuron ari.

Sistematika Surat Batak
Dalam Surat Batak, dikenal Ina ni surat dan anak ni surat. Menurut artikel Surat Batak di wikipedia,
Ina ni surat merupakan huruf-huruf pembentuk dasar huruf aksara Batak. Selama ini, ina ni surat yang dikenal terdiri dari: a, ha, ka, ba, pa, na, wa, ga, ja, da, ra, ma, ta, sa, ya, nga, la, ya, nya, ca, nda, mba, i, u. Nda dan Mba adalah konsonan rangkap yang hanya ditemukan dalam variasi Batak Karo, sedangkan Nya hanya digunakan di Mandailing akan tetapi dimasukkan juga dalam alfabat Toba walaupun tidak digunakan. Aksara Ca mandiri hanya terdapat di Karo sedangkan di Angkola-Mandailing huruf Ca ditulis dengan menggunakan huruf Sa dengan sebuah tanda diakritik yang bernama tompi di atasnya.

 sedangkan\ Anak ni surat dalam aksara Batak adalah komponen fonetis yang disisipkan dalam ina ni surat (tanda diakritik) yang berfungsi untuk mengubah pengucapan/lafal dari ina ni surat. Tanda diakritik tersebut dapat berupa tanda vokalisasi, nasalisasi, atau frikatif. Anak ni surat ini terdiri dari:

Bunyi [e] (hatadingan)
Bunyi [ŋ] (haminsaran)
Bunyi [u] (haborotan)
Bunyi [i] (hauluan)
Bunyi [o] (sihora)
Pangolat (tanda untuk menghilangkan bunyi [a] pada ina ni surat)

Nama-nama tanda diakritis di atas hanya berlaku untuk bahasa Batak Toba. Dalam bahasa-bahasa Batak lainnya terdapat sejumlah variasi nama ina ni surat. Misalnya Pangolet dalam bahasa Karo dinamakan "penengen".
Pada akhir buku ini, Dr. Uli Kozok memaparkan transliterasinya tentang surat Si Sisingamangaraja XII. Si Singamangaraja XII (1848-1907) dikenal sebagai musuhnya pemerintah Belanda (sekaligus zending Jerman). Kaitan antara zending dan perlawanan Si Singamangaraja XII, sudah ditulis Dr Uli Kozok dalam bukunya: Utusan Damai di Kemelut Perang. Dari naskah surat yang diteliti oleh Dr Uli Kozok, diketahui bahwa Si Singamangaraja XII memiliki empat jenis cap (stempel). Cap pertama disebut Cap A, ditemukan dalam surat yang ditujukan kepada I.L Nommensen pada tanggal 6 Maret 1899, saat ini surat tersebut menjadi koleksi Vereinte Evangelische Mission (VEM) (VEM), yaitu Badan Zending Kristen (berkedudukan di Jerman). Cap B, cap yang paling terkenal. Terdapat lima surat yang menggunakan cap jenis ini, dan surat itu saat ini menjadi koleksi Museum Nasional Jakarta. Cap C, konon dipakai putra sulung Si Singamangaraja XII, Sutan Nagari. Hanya terdapat satu surat yang memuat cap jenis ini. Cap D, dari arsip Nommensen di VEM, terdapat satu surat yang memuat cap jenis ini.
Cap B Sisingamangaraja, sumber: wikipedia

Saat ini, yang dikatakan filolog batak kuno, bisa dikatakan tidak ada setelah Dr Liberty Manik. Mungkin ada, namun tidak terdengar. Apa yang dilakukan Dr Uli Kozok ini hingga sampai membuat font khusus aksara batak di webnya, sangat patut diapresiasi, ditengah minimnya sumber-sumber bacaan ilmiah tentang surat batak.  Buku ini patut dan sangat perlu dibaca terutama bagi generasi muda Batak, agar ada kebanggaan atas warisan luhur.

Bandung, 19 Januari 2016

You Might Also Like

0 komentar