Kurang lebih setahun setelah terbitnya novel ini, sudah cukup banyak review atau resensinya. Sekilas dari review yang saya baca, banyak pembaca yang mengaitkan atau berharap novel ini berisi kalimat puitis indah seperti halnya puisi Hujan Bulan Juni yang termasyhur itu. Inti ceritanya bisa dikatakan cukup biasa ditemukan dalam novel lainnya. Namun, proses dan kisah ceritanya tentu berbeda. Justru disitu letak kepiawaian pengarang mengolah serta meramu kisah menjadi suatu cerita.Saya hanya membatasi poin-poin terkait dengan puisi dan situasi sosial tokoh-tokoh utama novel ini yaitu Aarwono, Pingkan Pelenkahu, abangnya Pingkan,Toar Pelenkahu, dan Hartini, ibu Pelenkahu bersaudara.
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.
sumber: kompas.com |
Novel Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono
Editor: Mirna Yulistianti
Desainer Cover: Iwan Gunawan
Gramedia, 2015
ISBN 978-602-03-1843-1
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Misal
Misalkan Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(Jokpin, 2016)
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
/1/
Bayang-bayang hanya berhak setia
Menyusur partitur ginjal
Suaranya angin tumbang
Agar bisa perpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang-bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, air mata itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan-anganku
Luka itu, muara itu
/2/
Di jantungku
Sayup terdengar
Debarmu hening
Di langit-langit
Tempurung kepalaku
Terbit silau
Cahayamu
Dalam intiku
Kau terbenam
/3/
Kita tak akan pernah bertemu:
Aku alam dirimu
Tiadakah pilihan lain
Kecuali di situ?
Kau terpencil dalam diriku
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.
Pada cover bukunya sudah ada peringatan: Bukan bacaan ringan. Kenapa bukan bacaan ringan, sebenarnya bila dipandang dari dua sisi ada kondisi: Pertama, secara jalan cerita sebenarnya tidak terlalu rumit. Sama halnya dengan novel-novel Remy lainnya. Tidak membuat kening berkerut. Kedua, buku ini padat dan sarat dengan referensi. Ini pertama kalinya saya membaca novel yang berisi referensi hampir setengah tebal bukunya. Inilah buku Remy Sylado kedua yang saya baca pada tahun 2015 setelah
buku dari Secret Santa 2015 yang lalu, yang berjudul Malaikat Lereng Tidar.
Bicara masalah filsafat, sesungguhnya apa sih filsafat itu? pertanyaan ini kembali muncul ketika mulai membaca cover buku ini ketika terlihat kalimat: "filsafat dalam fiksi". Setahu saya, baru dua buku yang menuliskan novel filsafat pada covernya, yaitu novel Dunia Sophie dan Perempuan bernama Arjuna ini. Jostein Gaarder memang sudah terkenal dengan menuliskan novel yang bermuatan filsafat. Remy Sylado tidak demikian. Pada novel karangan-karangan lainnya tidak pernah disebutkan bahwa itu bermuatan filsafat, meski bila digali setiap karangannya pasti bersumber dari hasil pembacaan dan refleksi penulisnya.
Ada beberapa topik penting yang diangkat dalam novel ini:
Bicara masalah filsafat, sesungguhnya apa sih filsafat itu? pertanyaan ini kembali muncul ketika mulai membaca cover buku ini ketika terlihat kalimat: "filsafat dalam fiksi". Setahu saya, baru dua buku yang menuliskan novel filsafat pada covernya, yaitu novel Dunia Sophie dan Perempuan bernama Arjuna ini. Jostein Gaarder memang sudah terkenal dengan menuliskan novel yang bermuatan filsafat. Remy Sylado tidak demikian. Pada novel karangan-karangan lainnya tidak pernah disebutkan bahwa itu bermuatan filsafat, meski bila digali setiap karangannya pasti bersumber dari hasil pembacaan dan refleksi penulisnya.
Perempuan Bernama Arjuna
Filsafat dalam Fiksi
Remy Sylado
Penerbit Nuansa Cendekia, 2014
276 hlm
ISBN 978-602-8395-80-9
Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek lengkap karya Sitor Situmorang. 23 Cerita pendek yang ditulis dalam kurun waktu Maret 1950 s.d. 1981. Cerita pendeknya ini dipengaruhi oleh kecintaan akan kampung halaman yang berlatar pengalaman dunia tradisi batak serta pengalamannya selama di Eropa. Lewat cerpen Fontenay Aux Roses, diketahui bahwa Prancis menjadi tempat Sitor muda menghabiskan waktu dengan mengobrol dan minum. Saat itu, sedang berkembang fisafat Eksistensialisme yang ditemukan oleh Sartre. "Saya hanya kena imbas" begitu ungkap Sitor dalam catatan editor, JJ Rizal.
Sudah lama mengetahui karya Iwan Simatupang yang banyak dibicarakan ini. Namun, memperoleh bukunya sangat-sangat sulit. Sama seperti nasib buku-buku karangan bagus yang lama, sepertinya belum ada cetak ulang dari penerbit tersebut, agar diketahui oleh generasi sekarang. Suatu kebetulan (atau suatu takdir?) saya dipertemukan dengan buku ini melalui proses yang panjang, terutama kisah perjalanan saya menemukan buku ini di Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan (many thanks to Fitria Mayrani).
Merahnya Merah
Pengarang: Iwan Simatupang
cetakan 11
Penerbit Haji Masagung, 1993, Jakarta
124 hlm; 21 cm
ISBNM 979-412-052-9
Merahnya Merah menceritakan Tokoh Kita (namanya memang dibuat demikian), yaitu seorang laki-laki yang meinggalkan panggilannya sebaga calon pastor untuk menjadi komandan kompi dan algojo pada masa revolusi. Setelah revolusi selesai, ia menjadi gelandangan. Maria, seorang perempuan yang digambarkan berambut ikal, berbadan besar, memiliki empat gigi emas. Maria juga menjadi gelandangan. Fifi, perempuan 14 tahun yatim piatu karena orangtuanya dibunuh perampok. Fifi ditolong oleh Tokoh Kita dan sama-sama menjadi gelandangan. Pak Centeng, orang yang dianggap jagoan di kampung gelandangan.
Dialog-dialog yang dibangun oleh Iwan Simatupang dalam novelnya ini sangat memukau. Dialog antar tokoh maupun dialog antara tokoh dengan dirinya sendiri seolah mempertanyakan kembali 'kemapanan' yang sudah ada. Terlihat bagaimana Iwan memberikan suatu pengandaian tentang doa yang ditengadahkan ke "atas" lewat pemandangan yang dilihat Fifi. Dia tengadahkan mukanya ke atas. Kemana lagi kalau bukan ke atas? Atas adalah arah dari segala derita. Tetapi juga, arah dari segala harap dan doa.
Tokoh Kita, sebelum menjadi gelandangan adalah seorang yang terhormat, yaitu sebagai komandan kompi yang disegani pada zaman revolusi. Sebelum menjadi komandan kompi, ia adalah seorang calon pastor. Terlihat dari sebagian besar novel ini, Tokoh kita ini berpengaruh dalam pemikiran 'tingkat tinggi'. Sebagai contoh, Ketika menjadi gelandangan, Tokoh kita ini mengalami luka borok yang cukup parah. Tokoh kita tidak mau berobat ke dokter, dengan satu prinsip bahwa pergi ke dokter, berarti berontak terhadap statusnya sebagai gelandangan. Bahwa menjadi gelandang atau tidak merupakan kedaulatannya sendiri. Suatu percakapan dengan bekas anakbuahnya yang menemukan ia dalam keadaan terluka parah karena borok itu, membawa ke pemikiran apakah makna kehidupannya. Bahwa keputusannya memilih meninggalkan panggilan menjadi seorang rahib untuk mengikuti panggilan negara merupakan keputusan sendiri. Pertanyaan seperti: Apa yang penting dari ibadah? perbuatan sembahyangnyakah, atau hidup beribadah itu sendiri?, tidak dijawab oleh Tokoh kita secara gamblang. Pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa dibalik segala tragedi hidupnya, ia memilih satu bentuk hidup sendiri yang membuatnya berbahagia-sebagai gelandangan.
Iwan menulis sisi lain dari kehidupan gelandangan. Hal-hal kecil seperti tertawa, dibahas serius oleh Tokoh kita. Meski perut kerempeng tak berisi, bukan merupakan alasan untuk tidak tertawa. Tertawa untuk hari-hari yang tak pasti dan derita yang tidak kenal ujung. Selanjutnya Iwan juga menjelaskan lewat suara hati Tokoh kita terkait eksistensi gelandang yang menyebabkan banyak walikota yang dibuat susah oleh persoalan ini, dokter-dokter yang berhasil bereksperimen dengan mayat gelandangan yang tidak dikenal, tanpa gelandangan maka tidak banyak dokter-dokter di dunia berkembang, adanya hadiah-hadiah perdamaian karena adanya ketegangan antara dunia berkembang dan dunia maju-dunia berkembang di belakangnya adalah gelandangan-.
Fifi, dibawa oleh Tokoh Kita ke kampung gelandangan. Pada Maria, Tokoh kita menitipkan gadis kecil ini. Setelah itu Tokoh kita pergi entah kemana dan selanjutnya ia kembali ke kampung gelandangan tersebut. Maria merupakan tokoh yang disegani di kampung gelandangan tersebut, karena ia adalah "ibu" bagi mereka yang tidak punya tempat tinggal. Maria terbuka tangannya untuk menampung mereka. Demikian juga Fifi. Maria sendiri adalah calon perawat, yang kemudian mengalami nasib tragis, diperkosa. Selanjutnya Maria menjalani profesi sebagai perempuan penghibur. Lewat cerita Fifi pada Maria, Tokoh kita mengetahui bahwa Fifi sangat menyukai Tokoh kita, dan memiliki mimpi untuk keluar dari hidup sebagai gelandangan. Hal yang sangat mengusik pikiran Tokoh kita.
Selanjutnya diceritakan bahwa suatu ketika Fifi hilang dari kampung gelandangan. Semua warga kampung ikut mencari. Pak Centeng, jagoan di kampung itu gagal menemukannya. Kemudian belum juga Fifi ditemukan, Tokoh kita menghilang. Hal ini menggusarkan Maria. Pak Centeng beserta anak buahnya mencari ke seluruh kota. Hasilnya nihil. Fifi dan Tokoh kita tidak ditemukan. Pak Centeng sebagai orang yang disegani karena keberaniannya (dan ia juga suka dengan Maria), tambah pusing karena Maria ikut menghilang.
Bagaimana dan kemana hilangnya orang-orang tadi, tidaklah diceritakan seperti cerita ala detektif. Tidak ada pemecahan kasus berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Dengan dialog bernuansa filsafat, Iwan mengemas cerita ini dengan memukau. Hampir mirip dengan Kooong, bahwa ada sesuatu hal penting yang hilang. Persoalannya bukanlah apakah yang hilang akan ketemu, tetapi cerita-cerita yang menyertai kehilangan tersebut.
Novel ini patut dan sangat direkomendasikan untuk dibaca. Namun sayang sekali, barangkali ketersediaannya di pasaran sudah tidak ada lagi. Saya sendiri punya kisah menarik, ketika jam berkunjung perpustakaan ini sudah habis, saya memfoto kurang lebih 30 halaman terakhir untuk saya baca kembali ketika sudah pulang.
Apa yang penting dari ibadah? Perbuatan sembahyangnyakah, atau hidup beribadah itu sendiri? Upacara mengikat janji itu adalah hanya upacara saja, hanya basa basi. Yang penting adalah hikmah keibadahan sebelum dan sesudah janji itu.
Palembang, 31 Agustus 2014
Helvry
Terinspirasi tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1968, Leila menghadirkan sebuah kisah keluarga yang terpengaruh peristiwa-peristiwa tersebut. Sebuah kurun waktu yang cukup panjang. Di Indonesia sendiri, kurun waktu tersebut adalah masa pemerintahan The Smile General, Soeharto. Ong Hok Kam menyatakan bahwa sejarah pada dasarnya adalah tentang manusia. Arnold Toynbee dalam History, science, and fiction menyatakan: there are three different methods of viewing and presenting the objects of our thought, and, among them, the phenomena of human life. The first is the ascertainment and recording of 'facts'; the second is eludication. through a comparative study of the facts ascertained, of general 'laws'; the third is the artistic re-creation of the facts int he form of 'fiction'.
Pulang
Pengarang: Leila S. Chudori
Gambar Sampul dan Isi: Daniel "Timbul" Cahaya Krisna
Tataletak sampul: Wendie Artswenda
Tebal: vii + 464 hlm
ISBN: 978-979-91-0515-8
Melalui cerita fiksi dalam novel Pulang ini, Leila menghadirkan kembali peristiwa pasca September 1965 di Jakarta, Mei 1968 di Paris, serta Mei 1998 di Jakarta. Muatan-muatan tiap peristiwa ini direkam oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Melalui peristiwa 1965, direkam oleh Hananto, seorang wartawan kantor berita nusantara. Pada saat itu, informasi pemerintah Indonesia hanya disetir oleh Angkatan Darat. Setelah Kantor Berita Nusantara dinyatakan terlarang, semua pegawai-pegawainya bersembunyi dari kejaran aparat. Surat sakti pada saat itu adalah surat bebas terlibat G30S-PKI. Salah satu wartawan kantor berita nusantara Dimas Surya, saat itu bersama rekannya sedang ditugaskan ke Amerika Latin, luput dari 'sapuan' pasukan Angkatan Darat.
Peristiwa Mei 1968, disaksikan oleh Dimas Surya dan Vivienne Deveraux. Dimas Surya yang merupakan eksil politik, bertemu dengan Vivienne, seorang mahasiswi cantik Universitas Sorbonne, diamana saat itu sedang berkembang gerakan mahasiswa yang didukung oleh buruh. Peristiwa Mei 1998, disaksikan oleh Lintang Utara, putri semata wayang Dimas Surya dan Vivienne, yang sedang mengerjakan tugas akhirnya tentang tahanan politik orde baru serta orang-orang dekatnya.
Apa yang menarik dari novel ini adalah adanya narator dengan berbagai sudut pandang. Selain itu, untuk mengawali kepulangan', tentu ada 'kepergian' Menurut saya, dua tokoh yang menjadi 'Pergi' dan 'Pulang' masing-masing adalah Dimas Surya dan Lintang Utara. Selain itu, dari novel ini kita dapat mengeri bagaimana situasi pelarian politik di luar negeri. Dari sekelumit kisah Dimas dkk di Prancis, dapat kita ketahui betapa sulit dan penuh perjuangannya hidup di tengah pelarian. Termasuk penolakan dari bangsa sendiri.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Seperti yang saya tuliskan di postingan sebelumnya, bahwa saya mendapat dua buah buku dari Santa yaitu seperti di bawah, yaitu novel Pulang dan buku Saling Silang Indonesia-Eropa. Selain itu saya mendapatkan juga kartu pos serta pembatas buku wayang.
Riddle di bawah ini yang harus saya pecahkan:
Wish you a wonderful X-mas and a very happy new year
from: secret santa (moon goddess)
Baiklah, sebelum sampai ke penebakan, saya uraikan sedikit bagaimana proses penerimaan buku ini di tangan saya:
- Saat itu event Festival Pembaca Indonesia 2013, ketika saya sedang berdiri di depan stand BBI, saya mengobrol mbak Lyla dan Ika. Dan tiba-tiba, mbak Lyla nyeletuk: "eh ada titipan loh untuk Bang Epi." Saat itu saya berpikir, titipan macam apakah itu?
- Setelah agak siang dan menjelang sore, saya kembali berdiri di depannya stand BBI (kenapa mesti ya?), dan Mbak Astrid menghampiri saya, seraya memberikan sebuah bungkusan kado, yang dari bentuknya saya menduganya berupa buku. Mbak Astrid mengatakan kalau barang itu dari titipan seseorang. Segera saya simpan, lalu membukanya di rumah.
- Sesampainya di rumah, saya membukanya. Ternyata isinya adalah kado dari Santa. Dari sini saya menilai, Santa saya cukup cerdik. Ia tidak menggunakan jasa pengiriman/ekspedisi, namun melalui titipan. Hal itu menyulitkan saya menerka dari kota mana kado tersebut dikirimkan.
dan untuk memperkuat temuan di atas, saya juga menemukan keterangan serupa yaitu:
Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa Santa saya adalah:
AISYAH SARI DEWI
Pemilik Blog: Through Tinted Glass
Terima kasih pada Divisi Event BBI, Kak Mia dan Oky yang memikirkan serta menyelenggarakan event hebat ini, dan juga kepada Meilia, yang turut repot mencari tahu siapa santa saya. Mudah-mudahan benar :))
Biasanya, bila menjelang akhir tahun seperti sekarang ini, lazim pada kebanyakan orang untuk membuat kaleidoskop maupun membuat resolusi tahun baru. Yang menjadi obyek kaleidoskop yaitu kejadian/peristiwa pada masa lalu, sedangkan obyek resolusi adalah suatu keinginan atau cita-cita. Lalu pertanyaannya, apakah kondisi tersebut menunjukkan bahwa manusia sangat sadar akan kefanaannya, sehingga merasa perlu dan harus membuat pengingat bahwa hidupnya sementara?
Fenomena yang terjadi pada kaum urban adalah kebanyakan orang ingin serba cepat. Naik kendaraan harus cepat. Beli gadget harus dengan kecepatan bla bla bla bla. Internetnya harus mengunduh dengan cepat. Proses administrasi harus cepat. Demikian juga iklan-iklan perumahan ataupun properti di tengah kota, dengan memberi label: "5 menit dari exit tol!" dan sebagainya-dan sebagainya yang menawarkan kecepatan menjadi brand-nya.
Sebelum menelaah novel ini, saya mencari apa arti kata "pasung". Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI) online, pengertian pasung adalah: pasung /pa·sung/ n alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pd kaki, tangan, atau leher; memasung /me·ma·sung/ v 1 membelenggu seseorang dng pasung; memasang pasung pd...; 2 memasukkan ke dl kurungan (penjara); 3 ki membatasi (menghambat) ruang gerak: peraturan itu ~ kreativitas anak-anak; pasungan /pa·sung·an/ n 1 pasung; 2 penjara; pemasungan /pe·ma·sung·an/ n proses, cara, perbuatan memasung.
Judul: Pasung Jiwa
Penulis: Okky Madasari
Sampul: Rizky Wicaksono
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama (Mei 2013)
328 halaman
ISBN: 978-979-22-9669-3
Apakah makna "kebebasan" bagi pengarang? Iwan Simatupang dalam sebuah esainya: Kebebasan Pengarang dan masalah tanah air menyatakan bahwa maknanya adalah kebebasan yang dibutuhkan (oleh pengarang) untuk memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah pergumulan kebebasan melawan yang selebihnya, alias melawan ketakbebasan.
Buku ini bercerita tentang Pak Sastro yang kehilangan burung perkututnya. Burung perkututnya ini sudah bersama pak Sastro kurang lebih 10 tahun. Pak Sastro membeli burung perkututnya di Pasar Senen, sebagai pelipur lara karena ia baru saja ditinggal anak tunggalnya, Amat. Sebelum kehilangan Amat, Pak Sastro juga kehilangan istrinya yang diseret banjir. Pak Sastro yang disegani di desanya sangat bermuram. Orang-orang di desa menganjurkan padanya agar ia mencari pengganti istrinya, namun ia bergeming. Anaknya Amat juga pergi meninggalkannya sampai ia tahu berita kematiannya. Sungguh Pak Sastro sangat bersedih, dan ketika pulang dari acara pemakaman Amat di pekuburan Karet, ia meminta tukang becak mengantarnya ke Pasar Senen untuk mengetahui hal ikhwal kematian Amat yang katanya tergilas kereta api. (cat. bisa terbayang jauhnya, kurang lebih 10km).
Novel tiga bab ini sangat menarik untuk dibaca sebagai bahan permenungan maupun sebagai bahan referensi sejarah. Ayu Utami mengemas peristiwa PRRI?Permesta yang dilancarkan oleh...di Sumatra Barat, Saksi Yehuwa, serta turunnya Soeharto dalam kisah yang dibawakan oleh Enrico. Enrico adalah tokoh utama novel ini. Ia menceritakan hidupnya dari mulai masa kecil hingga ia berusia lima puluhan.
Enrico membuka kisahnya dengan menceritakan kisah ibunya terlebih dahulu. Ibunya bernama Syrnie Masmirah dan ayahnya bernama Muhamad Irsad. Syrnie menginginkan anaknya diberi nama Enrico. Namun perihal nama itu dinilai ayahnya adalah nama yang kebarat-baratan. Akhirnya, Enrico diasimilasi menjadi Prasetya Riksa.Ibunya Enrico adalah perempuan yang berasal dari keluarga mampu dan berpendidikan tinggi. Hal itu digambarkan dalam kalimat seperti ini: Ibuku bisa membaca bahasa Jerman dan Inggris, bisa menunggang kuda, bermain polo, tenis, mengetik, mencatat dengan steno, bermain akordeon, membaca koran dan buku-buku tebal (h.5). Namun, akibat menikah dengan suaminya yang tentara, ibunya Enrico meninggalkan semuanya itu. Bersama dengan suaminya, ibu Enrico memasuki medan yang sama sekali tidak nyaman, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, ibu Enrico bersedia mengubah kemapanannya dengan menjual telur ayam.
Sebagai perempuan, kita berbeda, namun juga sama dengan laki-laki. Ada kondisi umum yang membuat perempuan sama dengan laki-laki, namun ada pula kondisi khusus yang dimiliki perempuan yang membuatnya berbeda, tetapi bukan berarti untuk dibedakan. Perbedaan dengan cara menilai positif adalah perbedaan yang melihat perempuan dengan nilai dan cara beradanya yang berbeda dengan laki-laki. Nilai dan cara berada perempuan dikonstruksikan dan dikondisikan oleh pengalaman-pengalaman perempuan yang melahirkan, menyusui, merawat, dan mempunyai tingkat kesensitifan serta kepedulian yang besar (Gadis Arivia, 2005).
Manusia dengan segala kekompleksan masalahnya berusaha agar hidupnya tidak menjadi sia-sia. Seringkali manusia belajar dari pengalaman, baik dari pengalaman pribadi maupun pengalaman orang lain. Berbagi pengalaman, adalah hal yang lumrah dalam kehidupan manusia. Seringkali kita merasa beruntung bahwa kejadian-kejadian yang kita alami, belum seberapa dibandingkan dengan pengalaman orang lain. Dan dari situlah kita belajar bersyukur. Tidak ada yang absolut dalam pembelajaran, tergantung konteks dan pemaknaan masing-masing individu akan pengalaman tersebut. Dan apa yang unik dari kondisi khusus yang dialami perempuan, itulah yang dibagikan Marjane Satrapi melalui novel grafis, Embroideries ini.
Gandamayu adalah sebuah novel yang ditulis oleh wartawan Kompas, Putu Fajar Arcana. Dari cover novel ini ada tiga objek yang menjadi bagian novel ini. Pertama siluet ayah dan anak dan sebuah sepeda. Hal ini merefleksikan Putu Fajar Arcana sebagai anak yang dibawa berkeliling oleh ayahnya dengan sepeda ke desa-desa di Bali. Selain sebagai petani, ayah Arcana adalah penembang yang seringkali dipanggil ke desa-desa tetangga untuk menembang pada acara ruwatan. Kedua, adalah pohon waru. Pohon Waru ini adalah pohon dimana Sahadewa diikat oleh Kalika ketika ia ditawan di hutan setra Gandamayu. Ketiga adalah mata? saya sendiri tidak tahu apa maknanya.
Bagi yang sudah mengetahui kisah Mahabharata, maka tidak sulit memahami cerita pada novel ini. Pertarungan antara Pandawa dan Kurawa di medan Kurusetra, memperoleh porsi terbesar dalam cerita ini. Namun, yang menjadi sorotan utamanya bukanlah semata-mata kisah heroik pertarungan tersebut. Namun peranan wanita di dalamnya. Suatu rekonstruksi cerita yang menarik bila cerita klasik Mahabharata tersebut ditinjau dari kacamata kekinian. Pertanyaan mendasarnya ialah: Apakah sebuah kebijakan itu menjadi bijak jika yang mengambil adalah pihak mayoritas/superior?
Mengapa kegelisahan tersebut muncul? barangkali penyebab utamanya dalam prakteknya seringkali sebuah kebijakan tanpa tujuan yang jelas dan kebijakan tersebut adalah sesuatu hal yang diambil dari satu sudut pandang saja, tanpa menimbang dari sisi lain. Akibatnya, 'kebijakan' tersebut menjadi tak hidup dan cenderung merugikan satu pihak.
Apakah artinya perkawinan? apa hakikat sebuah perkawinan? bagaimana kita memandang perkawinan? pertanyaan-pertanyaan demikian mungkin sama klasiknya dengan pertanyaan tentang pencarian makna dan pengertian cinta dari zaman dahulu. Tidak ada jawaban yang pasti, karena itulah pertanyaan tentang kedua hal itu terus menerus digaungkan hingga saat ini. Dan setiap orang tentunya punya pemaknaan tersendiri akan cinta dan perkawinan.
Karena itu, studi dan kajian mengenai lembaga perkawinan beserta dampak-dampaknya juga tidak habis-habis. Sebuah studi bertajuk: Does Marriage Really Make People Happier? yang dilakukan oleh Dr Kelly Musick, Associate Professor dari Cornell University menguji apakah lebih berbahagia orang yang menikah dibanding orang yang hidup bersama (cat. kemungkinan dalam bahasa kita: kumpul kebo) menyimpulkan bahwa tingkat kebahagiaan orang menikah dan hidup bersama di atas orang yang single. Selanjutnya orang yang hidup bersama lebih bahagia daripada orang yang menikah sebab tak perlu repot dengan berbagai konsekwensi sosial dan lebih fleksibel, otonom, dan memungkinkan pertumbuhan masing-masing pribadi.
Judul: Cecilia dan Malaikat Ariel
Judul Bahasa Inggris: Through a Glass, Darkly
Pengarang: Jostein Gaarder
Penerjemah: Andityas Prabantoro
Proofreader: Eti Rohaeti
Desain Sampul: Andreas Kusumahadi
Cetakan I: 2008
Penerbit PT Mizan Pustaka
ISBN: 9789794335390
Novel ini adalah novel ketujuh karya Jostein Gaarder yang diterbitkan tahun 1996 dalam bahasa inggris, bercerita tentang seorang gadis kecil berusia 12 tahun yang bernama Cecilia. Sama seperti novel Gaarder lainnya yang bermuatan filsafat, novel ini berisikan filosofi tentang kematian dan kehidupan. Cecilia mengalami sakit yang memungkinkan dia hanya bisa berbaring di tempat tidur. Cerita diawali pada masa Natal, dimana keluarga Cecilia mulai sibuk mempersiapkan Natal. Cecilia dihadiahi oleh dokternya sebuah diari Cina yang berbenang emas, tempat dimana Cecilia menuliskan kisah-kisah hidupnya. Cecilia sangat kesepian hingga suatu ketika ia kedatangan tamu malaikat Ariel di kamarnya. Cecilia akhirnya mempunyai teman bercerita dan bermain sampai Natal berakhir.
Supernova Episode: Partikel
Penulis: Dewi Lestari (Dee)
Penyunting: Hermawan Aksan & Dhewiberta
Penata Aksara: Irevitari
Ilustrator: Motulz
Penerbit: PT Bentang Pustaka (2012)
ISBN: 9786028811743
Buku Partikel ini seolah menjadi pemuas dahaga dari penggemar Dewi Lestari. Seperti yang disampaikan oleh Dee pada akhir buku ini, bahwa delapan tahun ide dan penulisan buku ini sudah digodok namun setahun terakhir baru digarap serius oleh Dee. Ketersediaan literatur dan fasilitas teknologi berperan besar dalam proses penulisan yang sarat dengan ilmu pengetahuan.
Buku ini adalah karya Dee yang pertama kali saya baca. Butuh beberapa trik agar saya memahami apa yang ditulis Dee dengan baik. Pada dasarnya, tokoh-tokoh yang ditampilkan oleh Dee tidak terlalu rumit memahaminya. Narator yang bertindak sebagai pemeran utama adalah Zarah, yang berarti partikel. Ia memiliki adik perempuan yang bernama Hara dari kedua orang tua yang bernama Firas (ayah) dan Aisyah (ibu). Firas berprofesi sebagai dosen yang memfokuskan mengajarkan mikologi di Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Aisyah berperan sebagai ibu rumah tangga. Kehidupan keluarga mereka sangat harmonis, sehingga pada suatu ketika Firas meninggalkan istri dan kedua anaknya, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Judul: Dewi Kawi
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2008
Tebal: 136 hlm; 20 cm
ISBN-10: 9792240640
Kisah ini bercerita tentang seorang pengusaha sukses yang bernama Eling. Ia biasanya dipanggil juragan Eling oleh anak buahnya. Juragan Eling dikenal baik, ulet, dan pekerja keras oleh anak buahnya. Dalam menjalankan usahanya, juragan Eling dibantu oleh adiknya yang setia yaitu Waspodo yang biasa dipanggil Podo. Juragan Eling membangun usahanya dari bawah. Awalnya ia bekerja sebagai pemeras air daun kol yang membusuk di pasar. Kemudian, ia beralih mengolah air kelapa. Air kelapa sangat laku karena dapat membuat daging ayam menjadi empuk dan gurih.
Dari olahan air kelapa, ia meningkatkan jenis produknya yaitu membuat sari buah seperti sari buah jeruk, kedondong, bengkoang, dan rambutan. Pada salah satu merknya terdapat tulisan Kawi. Eling sendiri mengaku bahwa ia belum pernah ke Gunung Kawi di Jawa Timur. Seluruh usahanya tersebut ia rintis bersama sang adik, Podo. Podo mendampingi Eling dari masa susah hingga sukses. Namun, di balik kesuksesannya, juragan Eling merasa bahwa ia perlu berterimakasih pada seseorang yang ia anggap sebagai dewi keberuntungan dan kesuksesannya. Ia menugaskan adiknya untuk mencari seorang perempuan yang berjasa padanya. Perempuan itu bernama Kawi.
Kawi adalah perempuan yang dulu tinggal di lokalisasi pelacuran. Dengan Kawi, Eling muda mendapat kebahagiaan dan kepuasan sebagai seorang laki-laki. Ketika Kawi mengajak Eling untuk kawin, Eling menolak dengan alasan ia belum mapan. Sebagai adik yang berbakti, Podo berusaha menyenangkan kakaknya dengan mencari perempuan bernama Kawi. Sekian banyak foto dibawa oleh Podo dari hasil pencariannya, namun tidak ada sosok yang sesuai menurut Eling. Sampai Podo akhirnya meninggal, Eling masih penasaran untuk mencari Kawi yang semakin membuat hatinya semakin rindu.
Penulis: Arswendo Atmowiloto
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Oktober 2008
Tebal: 136 hlm; 20 cm
ISBN-10: 9792240640
Kisah ini bercerita tentang seorang pengusaha sukses yang bernama Eling. Ia biasanya dipanggil juragan Eling oleh anak buahnya. Juragan Eling dikenal baik, ulet, dan pekerja keras oleh anak buahnya. Dalam menjalankan usahanya, juragan Eling dibantu oleh adiknya yang setia yaitu Waspodo yang biasa dipanggil Podo. Juragan Eling membangun usahanya dari bawah. Awalnya ia bekerja sebagai pemeras air daun kol yang membusuk di pasar. Kemudian, ia beralih mengolah air kelapa. Air kelapa sangat laku karena dapat membuat daging ayam menjadi empuk dan gurih.
Dari olahan air kelapa, ia meningkatkan jenis produknya yaitu membuat sari buah seperti sari buah jeruk, kedondong, bengkoang, dan rambutan. Pada salah satu merknya terdapat tulisan Kawi. Eling sendiri mengaku bahwa ia belum pernah ke Gunung Kawi di Jawa Timur. Seluruh usahanya tersebut ia rintis bersama sang adik, Podo. Podo mendampingi Eling dari masa susah hingga sukses. Namun, di balik kesuksesannya, juragan Eling merasa bahwa ia perlu berterimakasih pada seseorang yang ia anggap sebagai dewi keberuntungan dan kesuksesannya. Ia menugaskan adiknya untuk mencari seorang perempuan yang berjasa padanya. Perempuan itu bernama Kawi.
Kawi adalah perempuan yang dulu tinggal di lokalisasi pelacuran. Dengan Kawi, Eling muda mendapat kebahagiaan dan kepuasan sebagai seorang laki-laki. Ketika Kawi mengajak Eling untuk kawin, Eling menolak dengan alasan ia belum mapan. Sebagai adik yang berbakti, Podo berusaha menyenangkan kakaknya dengan mencari perempuan bernama Kawi. Sekian banyak foto dibawa oleh Podo dari hasil pencariannya, namun tidak ada sosok yang sesuai menurut Eling. Sampai Podo akhirnya meninggal, Eling masih penasaran untuk mencari Kawi yang semakin membuat hatinya semakin rindu.
Judul Asli: The Virgin Blue
Penulis: Tracy Chevalier
Alih Bahasa: Lanny Murtiharjana
Ilustrasi dan desain sampul: Dina Chandra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Juli 2006
360 hlm; 23 cm
ISBN: 9792221662
Inilah buku kedua Tracy yang saya baca setelah The Lady and The Unicorn. Sepertinya Tracy menggunakan wanita sebagai tokoh sentral dalam karya-karyanya. Membaca buku ini, kita dibawa kembali ke alam-alam pedesaan dan pertanian Prancis pada awal abad 16. Sepertinya tidak seru bila tidak didahului dengan konteks historis.
Latar Belakang
Sebuah gerakan yang awalnya mengkritisi kebijakan gereja (katolik Roma). Seorang bernama Martin Luther memulai gerakan itu di Jerman pada tahun 1517. Pokok-pokok yang dipertanyakannya adalah mengenai remisi atas dosa yang dapat diperjualbelikan serta tidak diperbolehkannya menerjemahkan Alkitab dari bahasa latin ke bahasa lainnya. Hal itu dinilai tidak fair, manakala tidak semua orang (terutama orang awam) mengerti bahasa latin. Gerakan ini dinamakan dengan nama Reformasi. Karena gerakan memprotes kebijakan gereja (katolik) itulah maka aelanjutnya Luther dan pengikutnya dinamakan Protestant.
Raja Henry VIII dari Inggris pertama kali tidak setuju dengan gerakan Luther. Ia khawatir dengan bahwa bila orang akan 'menyerang' gereja maka suatu saat akan menyerang monarki. Namun ia berubah pikiran ketika Pope Clement VII-Pemimpin tertinggi gereja Katolik di Roma- menolak membatalkan pernikahannya dengan Catherine of Aragon. Sebelumnya Catherine telah menikah dengan saudara Henry VII yaitu Raja Arthur. Namun pernikahan Catherine dan Raja Arthur hanya lima bulan, sebab Raja Arthur meninggal dunia dan kemudian Catherine menikah dengan saudaranya, Henry VIII. Pada dasarnya Henry VIII ingin mempertahankan dinasti Tudor, dengan mencari keturunan laki-laki. Pernikahannya dengan Catherine mendapatkan seorang putri. Akhirnya, Henry VIII memutuskan memisahkan gereja Inggris dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1534 ia mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin tertinggi gereja sekaligus pemimpin tertinggi negara. Henry VIII akhirnya membolehkan Alkitab bahasa Ibrani untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan digunakan di seluruh gereja di Inggris.
Penulis: Tracy Chevalier
Alih Bahasa: Lanny Murtiharjana
Ilustrasi dan desain sampul: Dina Chandra
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama, Juli 2006
360 hlm; 23 cm
ISBN: 9792221662
Inilah buku kedua Tracy yang saya baca setelah The Lady and The Unicorn. Sepertinya Tracy menggunakan wanita sebagai tokoh sentral dalam karya-karyanya. Membaca buku ini, kita dibawa kembali ke alam-alam pedesaan dan pertanian Prancis pada awal abad 16. Sepertinya tidak seru bila tidak didahului dengan konteks historis.
Latar Belakang
Sebuah gerakan yang awalnya mengkritisi kebijakan gereja (katolik Roma). Seorang bernama Martin Luther memulai gerakan itu di Jerman pada tahun 1517. Pokok-pokok yang dipertanyakannya adalah mengenai remisi atas dosa yang dapat diperjualbelikan serta tidak diperbolehkannya menerjemahkan Alkitab dari bahasa latin ke bahasa lainnya. Hal itu dinilai tidak fair, manakala tidak semua orang (terutama orang awam) mengerti bahasa latin. Gerakan ini dinamakan dengan nama Reformasi. Karena gerakan memprotes kebijakan gereja (katolik) itulah maka aelanjutnya Luther dan pengikutnya dinamakan Protestant.
Raja Henry VIII dari Inggris pertama kali tidak setuju dengan gerakan Luther. Ia khawatir dengan bahwa bila orang akan 'menyerang' gereja maka suatu saat akan menyerang monarki. Namun ia berubah pikiran ketika Pope Clement VII-Pemimpin tertinggi gereja Katolik di Roma- menolak membatalkan pernikahannya dengan Catherine of Aragon. Sebelumnya Catherine telah menikah dengan saudara Henry VII yaitu Raja Arthur. Namun pernikahan Catherine dan Raja Arthur hanya lima bulan, sebab Raja Arthur meninggal dunia dan kemudian Catherine menikah dengan saudaranya, Henry VIII. Pada dasarnya Henry VIII ingin mempertahankan dinasti Tudor, dengan mencari keturunan laki-laki. Pernikahannya dengan Catherine mendapatkan seorang putri. Akhirnya, Henry VIII memutuskan memisahkan gereja Inggris dengan Gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1534 ia mengangkat dirinya sendiri sebagai pemimpin tertinggi gereja sekaligus pemimpin tertinggi negara. Henry VIII akhirnya membolehkan Alkitab bahasa Ibrani untuk diterjemahkan dalam bahasa Inggris dan digunakan di seluruh gereja di Inggris.
Iblis Dan Miss Prym (The Devil and Miss Prym)
Pengarang: Paulo Coelho
Ilustrator: Dina Chandra
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Tebal: 256 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 2005
ISBN: 9792216073
Desa Viscos. Sebuah desa tradisional, yang masih mempertahankan tradisinya di tengah gempuran mesin-mesin modern pertanian dan peternakan, dimana menjadi daerah kunjungan ketika musim ski. Orang-orang muda tidak tertarik dengan Desa Viscos. "Sembilan bulan musim dingin, tiga bulan neraka." Istilah itu menggambarkan bahwa setiap tahun, hanya ada waktu 90 hari untuk menyelesaikan pekerjaan di ladang, memberi pupuk, menebar benih, menunggu, lalu memanen, menyimpan jerami, dan mencukur bulu domba mereka. Demikian siklus di desa yang berpenghuni tidak lebih dari 300 orang tersebut.
Meski desa itu kecil, hanya dikendalikan 6 orang. Wanita pemilik hotel yang bertanggung jawab akan kesejahteraan para turis; pastor yang bertanggung jawab memelihara jiwa-jiwa; kepala desa yang bertanggung jawab atas peraturan berburu; istri kepala desa yang bertanggung jawab atas kepala desa dan keputusan-keputusannya; si pandai besi yang membuat peralatan berburu dan rumah tangga; serta tuan tanah yang menolak membuat taman bermain anak-anak. Ia lebih suka jika di Viscos dibangun rumah mewah.
Pengarang: Paulo Coelho
Ilustrator: Dina Chandra
Penerjemah: Rosi L. Simamora
Tebal: 256 halaman
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 2005
ISBN: 9792216073
Terbujuk perkataan ular, Hawa memakan buah terlarang itu dan memberikannya juga kepada Adam. Sejak saat itu, keseimbangan Taman Firdaus rusak, Adam dan Hawa dikutuk dan diusir dari sana. Meski begitu, ada beberapa ucapan Tuhan Allah yang membingungkan dan menegaskan perkataan ular:"Sesungguhnya manusia itu telah menjadi seperti salah satu dari Kita, tahu yang Baik dan yang Jahat..."
Desa Viscos. Sebuah desa tradisional, yang masih mempertahankan tradisinya di tengah gempuran mesin-mesin modern pertanian dan peternakan, dimana menjadi daerah kunjungan ketika musim ski. Orang-orang muda tidak tertarik dengan Desa Viscos. "Sembilan bulan musim dingin, tiga bulan neraka." Istilah itu menggambarkan bahwa setiap tahun, hanya ada waktu 90 hari untuk menyelesaikan pekerjaan di ladang, memberi pupuk, menebar benih, menunggu, lalu memanen, menyimpan jerami, dan mencukur bulu domba mereka. Demikian siklus di desa yang berpenghuni tidak lebih dari 300 orang tersebut.
Meski desa itu kecil, hanya dikendalikan 6 orang. Wanita pemilik hotel yang bertanggung jawab akan kesejahteraan para turis; pastor yang bertanggung jawab memelihara jiwa-jiwa; kepala desa yang bertanggung jawab atas peraturan berburu; istri kepala desa yang bertanggung jawab atas kepala desa dan keputusan-keputusannya; si pandai besi yang membuat peralatan berburu dan rumah tangga; serta tuan tanah yang menolak membuat taman bermain anak-anak. Ia lebih suka jika di Viscos dibangun rumah mewah.
Pejabat Pernikahan (The Wedding Officer)
Pengarang : Anthony Capella,
Ilustrator: Satya Utama Jadi
Penerjemah: Gita Yuliani
Tebal : 568 pages
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2008)
Sembari membaca novel ini (sekitar Juni 2009), saya berkenalan dengan seorang tentara yang sudah berdinas lama di kesatuan TNI. Niatnya yang memang benar-benar kepingin masuk tentara, dibuktikannya dengan mengikuti seleksi masuk menjadi tentara sampai enam kali! Baginya, menjadi tentara adalah keinginan terbesarnya dari kecil. Ia sangat mensyukurinya, dari tamtama hingga perwira, ia sangat menikmati profesi sebagai tentara.
Ketika profesi menjadi sesuatu yang menyenangkan, tentu tidak sulit menjalaninya. Hari-hari terasa lebih memenuhi hobi dibandingkan memenuhi panggilan tugas. Kapten James Gould, seorang perwira Inggris, ditugasi sebagai Pejabat Pernikahan di Naples, Itali. Ia menggantikan Jackson, pejabat sebelumnya, yang dipindahkan ke tempat lain. sebenarnya, kemampuan akan bahasalah yang membuat ia diterima di Field Security Service, yaitu korps intelijen pasukan sekutu yang sedang bertugas di Italia. Kemudian ia mendalami bahasa Italia, dan akhirnya ia ditempatkan disana. Sebagai perwira intelijen, ia membuat laporan-laporan atas informasi yang diterimanya. Atasannya, Mayor Heathcote sangat mengandalkannya. Karena kemampuan bahasa Italianya sangat bagus dibanding lainnya, ia ditugasi sebagai pejabat pernikahan (Wedding Officer).
Pengarang : Anthony Capella,
Ilustrator: Satya Utama Jadi
Penerjemah: Gita Yuliani
Tebal : 568 pages
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama (2008)
Sembari membaca novel ini (sekitar Juni 2009), saya berkenalan dengan seorang tentara yang sudah berdinas lama di kesatuan TNI. Niatnya yang memang benar-benar kepingin masuk tentara, dibuktikannya dengan mengikuti seleksi masuk menjadi tentara sampai enam kali! Baginya, menjadi tentara adalah keinginan terbesarnya dari kecil. Ia sangat mensyukurinya, dari tamtama hingga perwira, ia sangat menikmati profesi sebagai tentara.
Ketika profesi menjadi sesuatu yang menyenangkan, tentu tidak sulit menjalaninya. Hari-hari terasa lebih memenuhi hobi dibandingkan memenuhi panggilan tugas. Kapten James Gould, seorang perwira Inggris, ditugasi sebagai Pejabat Pernikahan di Naples, Itali. Ia menggantikan Jackson, pejabat sebelumnya, yang dipindahkan ke tempat lain. sebenarnya, kemampuan akan bahasalah yang membuat ia diterima di Field Security Service, yaitu korps intelijen pasukan sekutu yang sedang bertugas di Italia. Kemudian ia mendalami bahasa Italia, dan akhirnya ia ditempatkan disana. Sebagai perwira intelijen, ia membuat laporan-laporan atas informasi yang diterimanya. Atasannya, Mayor Heathcote sangat mengandalkannya. Karena kemampuan bahasa Italianya sangat bagus dibanding lainnya, ia ditugasi sebagai pejabat pernikahan (Wedding Officer).
Kisah-kisah Tengah Malam
by Edgar Allan Poe, Maggie Tiojakin (Translator)
Softcover, 245 pages
Published December 28th 2010 by Gramedia Pustaka Utama (first published January 1st 2001)
ISBN139789792265378
Rasa takut apakah dibuat? apakah rasa takut itu hanya ada dalam pikiran? bagaimana jika rasa takutmu sudah pada puncak tertinggi? apakah takutmu akan sirna setelah maut menjelang?
Berikut pada buku ini adalah cerita pendek yang bertemakan horror dan misteri yang dikumpulkan secara terpilih. Sepertinya, untuk menambah kesan seram, dipilih angka 13 untuk jumlah cerpen yang dimuat. Sebenarnya ada banyak cerpen karangan Poe yang sudah siap dibaca secara online, dari sebuah web Online Literatur dot com terdapat 51 cerita pendek serta 60 puisi yang dimuat di Web. 13 diantaranya telah diterjemahkan kedalam buku ini, yaitu:
by Edgar Allan Poe, Maggie Tiojakin (Translator)
Softcover, 245 pages
Published December 28th 2010 by Gramedia Pustaka Utama (first published January 1st 2001)
ISBN139789792265378
Rasa takut apakah dibuat? apakah rasa takut itu hanya ada dalam pikiran? bagaimana jika rasa takutmu sudah pada puncak tertinggi? apakah takutmu akan sirna setelah maut menjelang?
Berikut pada buku ini adalah cerita pendek yang bertemakan horror dan misteri yang dikumpulkan secara terpilih. Sepertinya, untuk menambah kesan seram, dipilih angka 13 untuk jumlah cerpen yang dimuat. Sebenarnya ada banyak cerpen karangan Poe yang sudah siap dibaca secara online, dari sebuah web Online Literatur dot com terdapat 51 cerita pendek serta 60 puisi yang dimuat di Web. 13 diantaranya telah diterjemahkan kedalam buku ini, yaitu: