Terinspirasi tiga peristiwa sejarah: Indonesia 30 September 1965, Prancis Mei 1968, dan Indonesia Mei 1968, Leila menghadirkan sebuah kisah keluarga yang terpengaruh peristiwa-peristiwa tersebut. Sebuah kurun waktu yang cukup panjang. Di Indonesia sendiri, kurun waktu tersebut adalah masa pemerintahan The Smile General, Soeharto. Ong Hok Kam menyatakan bahwa sejarah pada dasarnya adalah tentang manusia. Arnold Toynbee dalam History, science, and fiction menyatakan: there are three different methods of viewing and presenting the objects of our thought, and, among them, the phenomena of human life. The first is the ascertainment and recording of 'facts'; the second is eludication. through a comparative study of the facts ascertained, of general 'laws'; the third is the artistic re-creation of the facts int he form of 'fiction'.
Pulang
Pengarang: Leila S. Chudori
Gambar Sampul dan Isi: Daniel "Timbul" Cahaya Krisna
Tataletak sampul: Wendie Artswenda
Tebal: vii + 464 hlm
ISBN: 978-979-91-0515-8
Melalui cerita fiksi dalam novel Pulang ini, Leila menghadirkan kembali peristiwa pasca September 1965 di Jakarta, Mei 1968 di Paris, serta Mei 1998 di Jakarta. Muatan-muatan tiap peristiwa ini direkam oleh tokoh-tokoh yang berbeda. Melalui peristiwa 1965, direkam oleh Hananto, seorang wartawan kantor berita nusantara. Pada saat itu, informasi pemerintah Indonesia hanya disetir oleh Angkatan Darat. Setelah Kantor Berita Nusantara dinyatakan terlarang, semua pegawai-pegawainya bersembunyi dari kejaran aparat. Surat sakti pada saat itu adalah surat bebas terlibat G30S-PKI. Salah satu wartawan kantor berita nusantara Dimas Surya, saat itu bersama rekannya sedang ditugaskan ke Amerika Latin, luput dari 'sapuan' pasukan Angkatan Darat.
Peristiwa Mei 1968, disaksikan oleh Dimas Surya dan Vivienne Deveraux. Dimas Surya yang merupakan eksil politik, bertemu dengan Vivienne, seorang mahasiswi cantik Universitas Sorbonne, diamana saat itu sedang berkembang gerakan mahasiswa yang didukung oleh buruh. Peristiwa Mei 1998, disaksikan oleh Lintang Utara, putri semata wayang Dimas Surya dan Vivienne, yang sedang mengerjakan tugas akhirnya tentang tahanan politik orde baru serta orang-orang dekatnya.
Apa yang menarik dari novel ini adalah adanya narator dengan berbagai sudut pandang. Selain itu, untuk mengawali kepulangan', tentu ada 'kepergian' Menurut saya, dua tokoh yang menjadi 'Pergi' dan 'Pulang' masing-masing adalah Dimas Surya dan Lintang Utara. Selain itu, dari novel ini kita dapat mengeri bagaimana situasi pelarian politik di luar negeri. Dari sekelumit kisah Dimas dkk di Prancis, dapat kita ketahui betapa sulit dan penuh perjuangannya hidup di tengah pelarian. Termasuk penolakan dari bangsa sendiri.
------------------------------------------------------------------------------------------------
Seperti yang saya tuliskan di postingan sebelumnya, bahwa saya mendapat dua buah buku dari Santa yaitu seperti di bawah, yaitu novel Pulang dan buku Saling Silang Indonesia-Eropa. Selain itu saya mendapatkan juga kartu pos serta pembatas buku wayang.
Riddle di bawah ini yang harus saya pecahkan:
Wish you a wonderful X-mas and a very happy new year
from: secret santa (moon goddess)
Baiklah, sebelum sampai ke penebakan, saya uraikan sedikit bagaimana proses penerimaan buku ini di tangan saya:
- Saat itu event Festival Pembaca Indonesia 2013, ketika saya sedang berdiri di depan stand BBI, saya mengobrol mbak Lyla dan Ika. Dan tiba-tiba, mbak Lyla nyeletuk: "eh ada titipan loh untuk Bang Epi." Saat itu saya berpikir, titipan macam apakah itu?
- Setelah agak siang dan menjelang sore, saya kembali berdiri di depannya stand BBI (kenapa mesti ya?), dan Mbak Astrid menghampiri saya, seraya memberikan sebuah bungkusan kado, yang dari bentuknya saya menduganya berupa buku. Mbak Astrid mengatakan kalau barang itu dari titipan seseorang. Segera saya simpan, lalu membukanya di rumah.
- Sesampainya di rumah, saya membukanya. Ternyata isinya adalah kado dari Santa. Dari sini saya menilai, Santa saya cukup cerdik. Ia tidak menggunakan jasa pengiriman/ekspedisi, namun melalui titipan. Hal itu menyulitkan saya menerka dari kota mana kado tersebut dikirimkan.
dan untuk memperkuat temuan di atas, saya juga menemukan keterangan serupa yaitu:
Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa Santa saya adalah:
AISYAH SARI DEWI
Pemilik Blog: Through Tinted Glass
Terima kasih pada Divisi Event BBI, Kak Mia dan Oky yang memikirkan serta menyelenggarakan event hebat ini, dan juga kepada Meilia, yang turut repot mencari tahu siapa santa saya. Mudah-mudahan benar :))
Novel tiga bab ini sangat menarik untuk dibaca sebagai bahan permenungan maupun sebagai bahan referensi sejarah. Ayu Utami mengemas peristiwa PRRI?Permesta yang dilancarkan oleh...di Sumatra Barat, Saksi Yehuwa, serta turunnya Soeharto dalam kisah yang dibawakan oleh Enrico. Enrico adalah tokoh utama novel ini. Ia menceritakan hidupnya dari mulai masa kecil hingga ia berusia lima puluhan.
Enrico membuka kisahnya dengan menceritakan kisah ibunya terlebih dahulu. Ibunya bernama Syrnie Masmirah dan ayahnya bernama Muhamad Irsad. Syrnie menginginkan anaknya diberi nama Enrico. Namun perihal nama itu dinilai ayahnya adalah nama yang kebarat-baratan. Akhirnya, Enrico diasimilasi menjadi Prasetya Riksa.Ibunya Enrico adalah perempuan yang berasal dari keluarga mampu dan berpendidikan tinggi. Hal itu digambarkan dalam kalimat seperti ini: Ibuku bisa membaca bahasa Jerman dan Inggris, bisa menunggang kuda, bermain polo, tenis, mengetik, mencatat dengan steno, bermain akordeon, membaca koran dan buku-buku tebal (h.5). Namun, akibat menikah dengan suaminya yang tentara, ibunya Enrico meninggalkan semuanya itu. Bersama dengan suaminya, ibu Enrico memasuki medan yang sama sekali tidak nyaman, dan untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, ibu Enrico bersedia mengubah kemapanannya dengan menjual telur ayam.
Buku ini dibuka dengan pengantar dari redaksi:
Bagaimana rasanya menjadi Pahlawan? Redaksi LKiS memberikan panduan: Ajukan pertanyaan ini kepada Gabriel Garcia Marquez dan ia akan menjawab melalui kisah Luis Alejandro Velasco, yang menjadi tokoh utama dalam novel ini.
Ini adalah satu karya GGM yang nonfiksi. Dikenal sebagai master fiksi, GGM menulis kisah ini berdasarkan pengalaman pribadi dari seorang pelaut Kolombia, Luis Alejandro Velasco. GGM masih sebagai penulis muda di Koran El Espectador. Ketika menulis cerita ini.Buku berjudul asli The Story of a Shipwrecked Sailor ini dituliskan dalam bentuk cerita bersambung di harian El Espectador pada tahun 1955 dan dijadikan dalam bentuk buku pada tahun 1970.
Caldas
Judul Inggris: The Story of A Shipwrecked Sailor
Judul Spanyol: Relato de un náufrago
Penulis: Gabriel Garcia Marquez
Penerjemah: Rizadini
Editor: Retno Suffatni
Rancang sampul: Si Ong
Setting/layout: Santo
Penerbit: Pustaka Sastra LKis Yogyakarta
xvi+ 124 hlm
Judul: Nyai Dasima
Penulis: S.M. Ardan dan G. Francis
Tebal: 138 hlm
Penerbit: Masup Jakarta 2007 (pertama kali 1965)
ISBN13: 9789791570619
Batavia pada awal abad 19. Belanda dikuasai Prancis pada 1806, Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Daendels untuk mereformasi Batavia pada 1808. Daendels mengubah perilaku orang Eropa dahulu (Belanda) yang melarang orang Eropa memperkerjakan orang-orang pribumi tanpa dibayar. Selanjutnya yang paling mengerikan adalah kerja paksa membangun jalan Anyer-Panarukan untuk mengantisipasi kekuatan laut Inggris yang hebat.Selanjutnya, Daendels digantikan oleh Sir Thomas Stanford Raffles pada 1811. Raffles membawa perubahan dalam kehidupan sosial Batavia. Orang Inggris mencatat pengamatan mereka dengan orang Batavia (pribumi) sebagai berikut:
Penulis: S.M. Ardan dan G. Francis
Tebal: 138 hlm
Penerbit: Masup Jakarta 2007 (pertama kali 1965)
ISBN13: 9789791570619
Batavia pada awal abad 19. Belanda dikuasai Prancis pada 1806, Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Daendels untuk mereformasi Batavia pada 1808. Daendels mengubah perilaku orang Eropa dahulu (Belanda) yang melarang orang Eropa memperkerjakan orang-orang pribumi tanpa dibayar. Selanjutnya yang paling mengerikan adalah kerja paksa membangun jalan Anyer-Panarukan untuk mengantisipasi kekuatan laut Inggris yang hebat.Selanjutnya, Daendels digantikan oleh Sir Thomas Stanford Raffles pada 1811. Raffles membawa perubahan dalam kehidupan sosial Batavia. Orang Inggris mencatat pengamatan mereka dengan orang Batavia (pribumi) sebagai berikut:
Banyak orang Inggris yang melihat warisan rasial yang bercampur aduk dari para isteri teman-teman Belanda mereka. Kurangnya pendidikan berakibat tidak adanya bahasa penghubung yang dapat digunakan untuk berkomunikasi (Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, Masup Jakarta, 2009)
Judul: The Lady and the Unicorn (French: La Dame à la licorne)
Penulis: Tracy Chevalier
Penerjemah: Pepi Smith
Tebal: 296 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Februari 2007
ISBN: 979222520x
Sekumpulan permadani ditemukan pada tahun 1841 oleh Prosper Mérimée, seorang dramawan, sejarawan, dan arkeolog Prancis bersama dengan temannya, George Sand. Mereka menemukannya ketika menginap di Château de Boussac Prancis tengah. Ternyata permadani itu bukan sembarang permadani, itu adalah permadani dari abad pertengahan yang akhirnya membawa kontribusi besar pada sejarah abad pertengahan Prancis.
Siapa sebenarnya perancang atau pembuat permadani ini sebenarnya tidak diketahui. Tracy Chevalier 'membungkus' sejarah pembuatan enam permadani tersebut dengan kisah fiksi yang terjadi pada abad 15. Tidak semuanya fiksi, Tracy menuliskan di bagian akhir novel ini bahwa ia berusaha tetap setia pada sedikit fakta yang diketahui, termasuk membaca sumber-sumber sejarah abad pertengahan.
Tracy membagi tokoh-tokoh dalam novel ini menjadi 3 bagian. Pertama adalah keluarga bangsawan, yaitu Jean Le Viste. Istrinya: Genevieve De Nanterre. Anaknya: Claude Le Viste, Kedua adalah perancang dan makelar, yaitu Nicolas Des Innocents sebagai perancang sketsa, dan Leon Le Vieux sebagai makelar antara Jean Le Viste dan Nicholas. Ketiga adalah keluarga penenun permadani yaitu Georges De La Chapelle sebagai pemilik usaha pembuatan permadani, Christine Du Sablon (istri Georges De La Chapelle) , Aleinor De La Chapelle (anak perempuan Georges), Georges Le Jeune (anak laki-laki Georges) , Philippe De La Tour (bekerja pada Georges).
Penulis: Tracy Chevalier
Penerjemah: Pepi Smith
Tebal: 296 hlm
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Februari 2007
ISBN: 979222520x
Sekumpulan permadani ditemukan pada tahun 1841 oleh Prosper Mérimée, seorang dramawan, sejarawan, dan arkeolog Prancis bersama dengan temannya, George Sand. Mereka menemukannya ketika menginap di Château de Boussac Prancis tengah. Ternyata permadani itu bukan sembarang permadani, itu adalah permadani dari abad pertengahan yang akhirnya membawa kontribusi besar pada sejarah abad pertengahan Prancis.
Siapa sebenarnya perancang atau pembuat permadani ini sebenarnya tidak diketahui. Tracy Chevalier 'membungkus' sejarah pembuatan enam permadani tersebut dengan kisah fiksi yang terjadi pada abad 15. Tidak semuanya fiksi, Tracy menuliskan di bagian akhir novel ini bahwa ia berusaha tetap setia pada sedikit fakta yang diketahui, termasuk membaca sumber-sumber sejarah abad pertengahan.
Tracy membagi tokoh-tokoh dalam novel ini menjadi 3 bagian. Pertama adalah keluarga bangsawan, yaitu Jean Le Viste. Istrinya: Genevieve De Nanterre. Anaknya: Claude Le Viste, Kedua adalah perancang dan makelar, yaitu Nicolas Des Innocents sebagai perancang sketsa, dan Leon Le Vieux sebagai makelar antara Jean Le Viste dan Nicholas. Ketiga adalah keluarga penenun permadani yaitu Georges De La Chapelle sebagai pemilik usaha pembuatan permadani, Christine Du Sablon (istri Georges De La Chapelle) , Aleinor De La Chapelle (anak perempuan Georges), Georges Le Jeune (anak laki-laki Georges) , Philippe De La Tour (bekerja pada Georges).
Batavia 1936 by Widya W Harun
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 380 pages
Published July 2009 by Penerbit Republika
ISBN139789791102636
Seandainya kita tahu dapat tahu masa depan, seandainya kita dapat meneropong dunia lewat bola kristal ajaib, seandainya kita tahu dengan siapa kelak kita berbagi hidup, seandainya dan seandainya, maka hidup akan kehilangan kemisteriannya. Pertanyaan selanjutnya, buat apa kita hidup?
Novel ini bercerita di suatu tempat, sesuai dengan judulnya, Batavia 1936, di Batavia. Yah..kisah batavia di Tahun 1936, sembilan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. persisnya batavia yang diceritakan dalam novel ini adalah di Menteng, Gambir, Lapangan Banteng (Wilhemina Park), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jalan Imam Bonjol), dan seputarn Jalan Medan Merdeka.
Di tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu adalah Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (lahir di Groningen, 7 Maret 1888 – meninggal di Wassenaar, 16 Agustus 1978 pada umur 90 tahun) bisa dikatakan adalah Gubernur-Jendral terakhir Hindia-Belanda.
Tjarda van Starkenborch Stachouwer adalah Gubernur-Jendral yang ke 66 dan memerintah dari tahun 1936 – 1942.
Ia adalah seorang pemimpin dan diplomat yang berasal dari keluarga bangsawan Groningen, anak dari Edzard Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada tahun 1925 ia meneruskan ayahnya menjadi Commissaris van de Koningin (gubernur) di provinsi Groningen, Belanda. Lalu ia menjadi duta besar di Brusel pada tahun 1936 dan langsung ia menjadi Gubernur-Jendral Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia tetap berada di Indonesia dan dimasukkan di kamp Jepang dan dibuang di Taiwan bersama panglima perang Hindia belanda, Jendral Hein ter Poorten. Setelah Perang Dunia II usai, ia pulang ke Belanda dan menjadi diplomat kembali, antara lain di Paris (Sumber: Wikipedia Indonesia).
Novel ini bercerita tentang manis pahitnya cinta di kalangan putra-putri bangsawan yang hidup di Batavia di sekitaran Tahun 1936. Seperti yang dikenal pada pemerintahan Gubernur Jenderal Starkenborch Stachouwer, ia bercita-cita untuk tetap menguasai Hindia Belanda dhi. Indonesia, selama-lamanya. Ucapannya yang terkenal adalah "kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada disini selama 300 lagi." karena itu, ia sangat menentang usaha-usaha pergerakan nasionalis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada masanya, isu ergerakan nasional sangat dilarang termasuk melarang penerbitan yang bermuatan himbauan untuk merdeka.
Pada masa itu, yang termasuk bangsawan adalah warga keturunan Eropa. Seperti salah satu tokoh cerita dalam novel ini. Sebuah keluarga, sang kepala keluarga bernama Ibrahim Rijkard. Seorang laki-laki tampan berdarah Eropa. Kakeknya, Franc Rijkaard menikah dengan perempuan Arab-Betawi yang bernama Aisyah. Ibrahim, yang kemudian dipanggil Bram berprofesi sebagai pedagang. Istrinya bernama Hilalliah binti Hasan, seorang perempuan cantik putri saudagar dan tuan tanah kaya keturunan Batavia-Arab. Dari pasangan ini, lahirlah dua putri yang juga mewarisi ketampanan dan kecantikan kedua orangtuanya. Putri pertama bernama Kirana, sedangkan putri kedua bernama Kirani. Mereka bukanlah anak kembar, walau nama mereka agak mirip. Sifat mereka berdua juga sama sekali berbeda. Sang kakak, Kirana, mewarisi sifat ibunya yang lembut dan kebaikan budi, sementara sang adik, Kirani mewarisi sifat ayah, keras dan gemar berdebat.
Pada masa itu, sangatlah lazim bila bangsawan mengadakan acara, maka ia mengundang kolega maupun sahabat untuk meramaikan acara tersebut. Disamping untuk meramaikan, hal itu penting untuk melanggengkan hubungan antarbangsawan yang satu dengan yang lainnya. Suatu ketika, putri Herman Speelman-seorang pejabat tinggi Hindia Belanda-, mengadakan acara ulang tahun. Putrinya bernama, Anastasia Speelman. Ia mengundang dalam pesta ulangtahunnya yang ke-17 pada anak muda-mudi Batavia.
Pesta ulangtahun itu menjadi biasa saja jika hanya datang, mengucapkan selamat ulangtahun, makan hidangan, dan pulang. Namun, tidak seperti itu. Semua orang yang diundang, sangat ramai membicarakannya. Pesta-pesta seperti begitu merupakan ajang untuk menampilkan mode fashion yang termutakhir. Hal itu juga dilakukan oleh Hilalliah. Demi mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kedua putrinya yang diundang, ia mengumpulkan dan berburu majalah mode terbitan Eropa untuk menginspirasinya mendandani kedua putrinya. Kirani sebenarnya tidak suka dandanan yang rumit-rumit. Baginya lebih menarik berdiskusi masalah pergerakan kemerdekaan nasional yang digagas bersama teman-temannya seperti Syam, Tomo, Husein, Poltak. Namun, demi menghormati sang Ibu, ia pun menurutinya.
Seorang dokter muda yang baru saja lulus dari universitas di belanda, turut menghadiri pesta ulangtahun itu. Namanya Hans van Deventer. Ia adalah lulusan terbaik, dan diutus bertugas di Batavia. Kedua kakak beradik Kirana dan Kirani berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Seperti biasa, meja makan tidak menjadi hambatan bagi mata untuk berkeliling-keliling. Sang dokter sangat terkesan dengan Kirani, yang dimatanya ia melihat sosok Kirani yang luwes, periang, dan cerdas. Sementara itu,Kirana terpesona dengan ketampanan sang Dokter, yang menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis Batavia.
Disinilah awal mula cerita itu. Kesan yang sudah tertanam di masing-masing hati anak muda itu mungkin terlalu dalam tertanam, sehingga sukarlah untuk mengeluarkannya kembali dengan utuh. Kirana pulang menceritakan dengan ibunya tentang pria yang dilihatnya, apakah persaan yang begitu senangnya sampai tak bisa melukiskan dengan kata-kata? Ibu mereka mengira Kirana sudahlah jatuh cinta pada sang dokter. Namun, siapakah yang tahu dalamnya hati? kecuali si pemilik hati itu sendiri.
Singkatnya, Hans suka berdiskusi denngan Kirani berkaitan dengan urusan tulis menulis yang sangat disukai Hans. Hans pintar merangkai kata-kata menjadi puisi, sementara Kirani menyukainya. Puisi yang keluar dari pena Hans merupakan kesedihannya yang terlahir sebagai anak yang separuh eropa dan separuh pribumi. Kesedihannya akan kematian ibunya terlihat dari puisinya:
Ibu
mengapa pula engkau timpakan padaku
perkara yang mengguncang jiwa
tak mampu aku memikulnya
hatiku merana jiwaku pula
serupa badan tak bernyawa
Ibu
Kematianmu menciutkan nyaliku
tak sanggup ku berdiri
menatap dunia yang kan menertawakan
Anak yang tak pernah ber-ayah
Begitulah rangkaian peristiwa selanjutnya, dimana Hans menyampaikan isi hatinya kepada ayahnya, Philip untuk melamarkan Kirani bagi dirinya. Bukanlah sesuatu yang mudah bagi Hans untuk terbuka sejauh itu pada ayahnya karena suaatu peristiwa yang membuat hidupnya muram. Apa daya, sepertinya apa yang diutarakan bukan itu yang dimaksud, Hans meminta kepada ayanya bahwa ia berkenan pada putri Rijkaard, Kirani. Philip mengutarakan kepada Rijkard, namun bukanlah nama yang disampaikan, tapi anak perempuannya Rijkard. Rijkard menyampaikan berita itu kepada istrinya, namun istrinya mengira Kirana-lah yang dimaksud.
Ah...sayangnya hanya karena komunikasi yang malu-malu dan tidak rinci, menyebabkan prahara cinta. Sebuah paragraf singkat menggambarkan:
Bukan perjodohan yang dikehendaki, tapi isi hati.
Namun, bahayanya hati jika tidak dikonfirmasi.
Urusannya sampai mati.
Tak disangka, untuk kehiupan yag cuukup modern kala itu, persoalan kehidupan sosial di Batavia tidaklah membahagiakan. Disatu sisi, ternyata dibalik gemerlapnya kehidupan bangsawan kala itu, tersimpan kisah yang memilukan. Hal tersebut sepertinya tidak akan berbeda dengan kehidupan sekarang ini. Bila dimana tidak ada komunikasi dan penyampaian maksud dengan baik, maka bersiaplah pada suatu penyesalan.
Bagaimana kehidupan Kirani dan Kirana selanjutnya?
Apakah Hans memeroleh belahan hatinya
Apakah kebahagiaan itu hanyalah milik mereka yang berpunya?
Apakah ada persahabatan yang tulus?
Apakah percintaan yang sejati selalu ada di cerita negeri dongeng?
Saya menjadi teringat akan suatu kalimat, seperti begini:
Banyak persahabatan yang berakhir pada percintaan, namun jarang percintaan yang berakhir pada persahabatan.
Novel ini bercerita tentang kehidupan sosial para pembesar di Batavia zaman dulu (1936). Penulis novel ini sepertinya membaca cukup banyak referensi untuk menambahkan fakta-fakta ilmiah dalam novel ini, antara lain seperti keberadaan kawasan Menteng, Lapangan banteng, Pasar Gambir, Pasar Baru, Kebon sirih, dan tempat-tempat utama di pusat kota Batavia. Selain itu ditambahkan beberapa keterangan mengenai tokoh-tokoh yang memang hidup pada zaman itu beserta sumber datanya. Kebanyakan bersumber dari wikipedia Indonesia. Pada awal novel ini, cukup banyak informasi ilmiah mengenai Batavia, namun sayangnya, tidak Widya Harun tidak menerangkan suasana di sekitar Medan Merdeka, Jalan Veteran, dan Harmoni.
Awalnya saya mengira novel ini adalah fiksi sejarah murni, namun sayangnya informasi yang diperoleh dari novel ini sangat jauh dari harapan saya. Kesan yang saya tangkap, jalan cerita agak 'maksa' dengan memunculkan seolah nama kembar, Kirana dan Kirani. Apakah hal ini sudah hadil modifikasian yang terinspirasi kisah nyata, saya juga tidak tahu.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu adalah banyak salah ketik kata. Hal itu memang tidak membuat kenyamanan membaca terganggu sangat, namun spertinya Editor luput memeriksa secara seksama atas kesalahan ini.
Akhirnya, cukuplah tiga bintang untuk novel ini. Saya berharap masih ada novel sejarah (yang berbau Batavia) yang lebih lengkap lagi.
@HWS130510
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 380 pages
Published July 2009 by Penerbit Republika
ISBN139789791102636
Seandainya kita tahu dapat tahu masa depan, seandainya kita dapat meneropong dunia lewat bola kristal ajaib, seandainya kita tahu dengan siapa kelak kita berbagi hidup, seandainya dan seandainya, maka hidup akan kehilangan kemisteriannya. Pertanyaan selanjutnya, buat apa kita hidup?
Novel ini bercerita di suatu tempat, sesuai dengan judulnya, Batavia 1936, di Batavia. Yah..kisah batavia di Tahun 1936, sembilan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. persisnya batavia yang diceritakan dalam novel ini adalah di Menteng, Gambir, Lapangan Banteng (Wilhemina Park), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jalan Imam Bonjol), dan seputarn Jalan Medan Merdeka.
Di tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu adalah Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (lahir di Groningen, 7 Maret 1888 – meninggal di Wassenaar, 16 Agustus 1978 pada umur 90 tahun) bisa dikatakan adalah Gubernur-Jendral terakhir Hindia-Belanda.
Tjarda van Starkenborch Stachouwer adalah Gubernur-Jendral yang ke 66 dan memerintah dari tahun 1936 – 1942.
Ia adalah seorang pemimpin dan diplomat yang berasal dari keluarga bangsawan Groningen, anak dari Edzard Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada tahun 1925 ia meneruskan ayahnya menjadi Commissaris van de Koningin (gubernur) di provinsi Groningen, Belanda. Lalu ia menjadi duta besar di Brusel pada tahun 1936 dan langsung ia menjadi Gubernur-Jendral Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia tetap berada di Indonesia dan dimasukkan di kamp Jepang dan dibuang di Taiwan bersama panglima perang Hindia belanda, Jendral Hein ter Poorten. Setelah Perang Dunia II usai, ia pulang ke Belanda dan menjadi diplomat kembali, antara lain di Paris (Sumber: Wikipedia Indonesia).
Novel ini bercerita tentang manis pahitnya cinta di kalangan putra-putri bangsawan yang hidup di Batavia di sekitaran Tahun 1936. Seperti yang dikenal pada pemerintahan Gubernur Jenderal Starkenborch Stachouwer, ia bercita-cita untuk tetap menguasai Hindia Belanda dhi. Indonesia, selama-lamanya. Ucapannya yang terkenal adalah "kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada disini selama 300 lagi." karena itu, ia sangat menentang usaha-usaha pergerakan nasionalis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada masanya, isu ergerakan nasional sangat dilarang termasuk melarang penerbitan yang bermuatan himbauan untuk merdeka.
Pada masa itu, yang termasuk bangsawan adalah warga keturunan Eropa. Seperti salah satu tokoh cerita dalam novel ini. Sebuah keluarga, sang kepala keluarga bernama Ibrahim Rijkard. Seorang laki-laki tampan berdarah Eropa. Kakeknya, Franc Rijkaard menikah dengan perempuan Arab-Betawi yang bernama Aisyah. Ibrahim, yang kemudian dipanggil Bram berprofesi sebagai pedagang. Istrinya bernama Hilalliah binti Hasan, seorang perempuan cantik putri saudagar dan tuan tanah kaya keturunan Batavia-Arab. Dari pasangan ini, lahirlah dua putri yang juga mewarisi ketampanan dan kecantikan kedua orangtuanya. Putri pertama bernama Kirana, sedangkan putri kedua bernama Kirani. Mereka bukanlah anak kembar, walau nama mereka agak mirip. Sifat mereka berdua juga sama sekali berbeda. Sang kakak, Kirana, mewarisi sifat ibunya yang lembut dan kebaikan budi, sementara sang adik, Kirani mewarisi sifat ayah, keras dan gemar berdebat.
Pada masa itu, sangatlah lazim bila bangsawan mengadakan acara, maka ia mengundang kolega maupun sahabat untuk meramaikan acara tersebut. Disamping untuk meramaikan, hal itu penting untuk melanggengkan hubungan antarbangsawan yang satu dengan yang lainnya. Suatu ketika, putri Herman Speelman-seorang pejabat tinggi Hindia Belanda-, mengadakan acara ulang tahun. Putrinya bernama, Anastasia Speelman. Ia mengundang dalam pesta ulangtahunnya yang ke-17 pada anak muda-mudi Batavia.
Pesta ulangtahun itu menjadi biasa saja jika hanya datang, mengucapkan selamat ulangtahun, makan hidangan, dan pulang. Namun, tidak seperti itu. Semua orang yang diundang, sangat ramai membicarakannya. Pesta-pesta seperti begitu merupakan ajang untuk menampilkan mode fashion yang termutakhir. Hal itu juga dilakukan oleh Hilalliah. Demi mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kedua putrinya yang diundang, ia mengumpulkan dan berburu majalah mode terbitan Eropa untuk menginspirasinya mendandani kedua putrinya. Kirani sebenarnya tidak suka dandanan yang rumit-rumit. Baginya lebih menarik berdiskusi masalah pergerakan kemerdekaan nasional yang digagas bersama teman-temannya seperti Syam, Tomo, Husein, Poltak. Namun, demi menghormati sang Ibu, ia pun menurutinya.
Seorang dokter muda yang baru saja lulus dari universitas di belanda, turut menghadiri pesta ulangtahun itu. Namanya Hans van Deventer. Ia adalah lulusan terbaik, dan diutus bertugas di Batavia. Kedua kakak beradik Kirana dan Kirani berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Seperti biasa, meja makan tidak menjadi hambatan bagi mata untuk berkeliling-keliling. Sang dokter sangat terkesan dengan Kirani, yang dimatanya ia melihat sosok Kirani yang luwes, periang, dan cerdas. Sementara itu,Kirana terpesona dengan ketampanan sang Dokter, yang menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis Batavia.
Disinilah awal mula cerita itu. Kesan yang sudah tertanam di masing-masing hati anak muda itu mungkin terlalu dalam tertanam, sehingga sukarlah untuk mengeluarkannya kembali dengan utuh. Kirana pulang menceritakan dengan ibunya tentang pria yang dilihatnya, apakah persaan yang begitu senangnya sampai tak bisa melukiskan dengan kata-kata? Ibu mereka mengira Kirana sudahlah jatuh cinta pada sang dokter. Namun, siapakah yang tahu dalamnya hati? kecuali si pemilik hati itu sendiri.
Singkatnya, Hans suka berdiskusi denngan Kirani berkaitan dengan urusan tulis menulis yang sangat disukai Hans. Hans pintar merangkai kata-kata menjadi puisi, sementara Kirani menyukainya. Puisi yang keluar dari pena Hans merupakan kesedihannya yang terlahir sebagai anak yang separuh eropa dan separuh pribumi. Kesedihannya akan kematian ibunya terlihat dari puisinya:
Ibu
mengapa pula engkau timpakan padaku
perkara yang mengguncang jiwa
tak mampu aku memikulnya
hatiku merana jiwaku pula
serupa badan tak bernyawa
Ibu
Kematianmu menciutkan nyaliku
tak sanggup ku berdiri
menatap dunia yang kan menertawakan
Anak yang tak pernah ber-ayah
Begitulah rangkaian peristiwa selanjutnya, dimana Hans menyampaikan isi hatinya kepada ayahnya, Philip untuk melamarkan Kirani bagi dirinya. Bukanlah sesuatu yang mudah bagi Hans untuk terbuka sejauh itu pada ayahnya karena suaatu peristiwa yang membuat hidupnya muram. Apa daya, sepertinya apa yang diutarakan bukan itu yang dimaksud, Hans meminta kepada ayanya bahwa ia berkenan pada putri Rijkaard, Kirani. Philip mengutarakan kepada Rijkard, namun bukanlah nama yang disampaikan, tapi anak perempuannya Rijkard. Rijkard menyampaikan berita itu kepada istrinya, namun istrinya mengira Kirana-lah yang dimaksud.
Ah...sayangnya hanya karena komunikasi yang malu-malu dan tidak rinci, menyebabkan prahara cinta. Sebuah paragraf singkat menggambarkan:
Bukan perjodohan yang dikehendaki, tapi isi hati.
Namun, bahayanya hati jika tidak dikonfirmasi.
Urusannya sampai mati.
Tak disangka, untuk kehiupan yag cuukup modern kala itu, persoalan kehidupan sosial di Batavia tidaklah membahagiakan. Disatu sisi, ternyata dibalik gemerlapnya kehidupan bangsawan kala itu, tersimpan kisah yang memilukan. Hal tersebut sepertinya tidak akan berbeda dengan kehidupan sekarang ini. Bila dimana tidak ada komunikasi dan penyampaian maksud dengan baik, maka bersiaplah pada suatu penyesalan.
Bagaimana kehidupan Kirani dan Kirana selanjutnya?
Apakah Hans memeroleh belahan hatinya
Apakah kebahagiaan itu hanyalah milik mereka yang berpunya?
Apakah ada persahabatan yang tulus?
Apakah percintaan yang sejati selalu ada di cerita negeri dongeng?
Saya menjadi teringat akan suatu kalimat, seperti begini:
Banyak persahabatan yang berakhir pada percintaan, namun jarang percintaan yang berakhir pada persahabatan.
Novel ini bercerita tentang kehidupan sosial para pembesar di Batavia zaman dulu (1936). Penulis novel ini sepertinya membaca cukup banyak referensi untuk menambahkan fakta-fakta ilmiah dalam novel ini, antara lain seperti keberadaan kawasan Menteng, Lapangan banteng, Pasar Gambir, Pasar Baru, Kebon sirih, dan tempat-tempat utama di pusat kota Batavia. Selain itu ditambahkan beberapa keterangan mengenai tokoh-tokoh yang memang hidup pada zaman itu beserta sumber datanya. Kebanyakan bersumber dari wikipedia Indonesia. Pada awal novel ini, cukup banyak informasi ilmiah mengenai Batavia, namun sayangnya, tidak Widya Harun tidak menerangkan suasana di sekitar Medan Merdeka, Jalan Veteran, dan Harmoni.
Awalnya saya mengira novel ini adalah fiksi sejarah murni, namun sayangnya informasi yang diperoleh dari novel ini sangat jauh dari harapan saya. Kesan yang saya tangkap, jalan cerita agak 'maksa' dengan memunculkan seolah nama kembar, Kirana dan Kirani. Apakah hal ini sudah hadil modifikasian yang terinspirasi kisah nyata, saya juga tidak tahu.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu adalah banyak salah ketik kata. Hal itu memang tidak membuat kenyamanan membaca terganggu sangat, namun spertinya Editor luput memeriksa secara seksama atas kesalahan ini.
Akhirnya, cukuplah tiga bintang untuk novel ini. Saya berharap masih ada novel sejarah (yang berbau Batavia) yang lebih lengkap lagi.
@HWS130510