Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless.
© Mother Teresa
Eduard Douwes Dekker (1820-1887) diangkat sebagai asisten residen di Lebak. Ia bertugas pada tahun 1856, ia hanya bertugas selama tiga bulan di sana. Empat tahun kemudian, karangan fiksinya, Max Havelaar menjadi buku berpengaruh di Hindia Belanda. Bahkan menjadi dasar lahirnya politik Etis di daerah jajahan Belanda. Apa pasal? Roman ini menjadi seolah menjadi rujukan yang sahih tentang suatu ketidakadilan sistematis yang terjadi pada saat tanam paksa diberlakukan di Jawa. Roman itu bercerita tentang seorang pegawai kolonial bernama Max Havelaar, yang menentang praktek korupsi di daerah tugasnya. Penceritaan dalam roman tersebut bahkan ditutup dengan kisah Saijah dan Adinda yang kemudian menjadi ikut termashyur. Begitulah, Max Havelaar menjadi buku rujukan penting di sekolah-sekolah, pemerintah, bahkan bagi pegawai yang bertugas di Hindia Belanda, wajib membaca buku itu. Persoalannya, bagaimana membedakan antara fiksi dan fakta dalam sebuah buku yang dilabeli “berdasarkan kisah nyata.” Kedua, bagaimana tanggung jawab Pengarang, jika di dalamnya ternyata terpapar sebuah kisah yang jauh berbeda dengan kenyataan? Apakah ia dapat “berlindung” di balik kefiksiannya?
Review Buku Max Havelaar oleh Helvry Sinaga
Dekonstruksi post-truth
Rob Nieuwenhuys menaruh minat pada sastra yang dibuat pada masa
colonial Belanda. Ia mendapat kesempatan bekerja di KITLV dan meneliti
arsip-arsip colonial serta membuat opini berdasarkan data tersebut yang menyanggah
sanjungan terhadap karangan Multatuli ini. Melaui arsip tersebut Ia membahas
dari sudut pandang struktur organisasi, kewenangan, sistem dan mekanisme yang
berjalan pada saat itu dan menyimpulkan bahwa yang terjadi justru berbalik dari
apa yang sudah diyakini orang sebagai suatu kebenaran. Dengan lugas,
Nieuwenhuys menyatakan bahwa Douwes Dekker sebagai pejabat pemerintahan Belanda
di Jawa hampir tidak mengenal dunia yang lain-kebijaksanaan- ketika ia tiba di
Lebak pada 1856. Dalam Max Havelaar, diceritakan bahwa si narrator sudah
bekerja selama 17 tahun pada gubernurmeen. Kenyataannya, dalam Riwayat dinas
Douwes Dekker, belum sampai 14 tahun ia bekerja, dengan rincian: lima tahun ia
tidak bekerja (langsung di Pemerintahan) yang terdiri dari tiga tahun cuti di
Eropa dan dua tahun hanya memperoleh uang tunggu; dari sisanya sekitar 9 tahun,
hanya satu tahun bertugas di Natal, dan lima bulan di Ambon. Dengan kata lain,
ia tidak punya pengalaman bekerja di pemerintahan Pulau Jawa sama sekali.
Dengan demikian, sangat beralasan bahwa Douwes Deker tidak berbasis pengalaman
dalam bertindak terhadap pemerintahan Bupati (yang bersifat feudal) bersikap
pada rakyat Lebak.
Selanjutnya, Nieuwenhuys menulis bahwa pengangkatan Douwes Dekker
sudah “bermasalah” sejak awal. Douwes Dekker diangkat pada zaman Duymaer van
Twist. Ada fakta menarik bahwa sepupu istri Dekker menikah dengan Sekretaris
umum yang dipercayai oleh van Twist. Secara kedinasan, seharusnya pola karir
pejabat pemerintahan bersumber dari pamong praja juga. Sementara Dekker
berkenalan dengan van Twist di istana Bogor, ia masih menunggu cuti penempatan.
Dalam diri Dekker boleh jadi muncul suatu bayangan mimpi pemerintahan yang
idealis, berwibawa, berkeadilan. Namun perspektif itu masih didasarkan pada pengalaman
bekerja sebelumnya, yang nota bene tidak di bidang pemerintahan yang berbasis
kebudayaan di Pulau Jawa. Jelas, bahwa pada zaman itu, Gubernur Jenderal
mengarahkan agar ikut mengembangkan pemerintahan daerah setempat, dan
pemerintahan colonial Belanda bermitra dengan bupati daerah, bukan berlaku
sebagai atasan bupati daerah setempat. Dan yang berlakuu adalah hukum daerah
setempat. Terjadi bias perspektif pada saat terdapat suatu upeti rakyat pada
raja adalah hal biasa pada zaman itu,
Sedangkan dari sudut pandang Dekker, suatu upeti rakyat adalah sebuah
bentuk kesewenangan bupati pada rakyatnya. Ia punya cita-cita, membela rakyat lebak
yang tertindas. Ide ini sampai pada pembaca Max Havelaar. Namun tanpa ada
telaah budaya setempat. Dekker menggambarkan gubernur jenderal dan residen
Lebak sebagai orang bejat dan malas dalam Max Havelaar. Namun kenyataannya,
justru Dekker sendiri yang sangat kurang pengalaman. Hasil penelusuran Nieuwenhuys terhadap nota atau surat selama
masa van Twist menjabat, tidak menunjukkan hal tersebut.
Selanjutnya, Dekker memberi kesan bahwa bupati Lebak melakukan
pemerasan terhadap rakyatnya, pada saat datangnya saudaranya bupati Cianjur ke
Lebak untuk berkunjung. Adalah hal yang lumrah pada saat itu – mungkin sampai
sekarang- adalah menjamu tamu. Persoalannya saat itu bupati Lebak tidak sekaya
bupati Cianjur, dan rakyat Lebak dengan arifnya memberi “bantuan” kepada bupati
Lebak seperti hewan ternak, agar bupati Lebak dapat dengan layak menjamu
saudaranya. Dalam catatan yang ditelusuri Nieuwenhuys, bahwa bupati Lebak
berkali-kali mendatangi Dekker di rumah dinasnya. Sementara Dekker sama sekali
tidak pernah mengunjungi bupati Lebak ke tempat tinggalnya. Dekker seperti
menunjukkan kesuperioran Bangsa Barat yang tidak “setara” dalam hal
pemerintahan bersama.
Nieuwenhuys menulis buku ini dalam tiga bagian. Bagian pertama
mengenai asal usul Dekker bekerja sebagai asisten residen Lebak. Pada bagian
kedua, Nieuwenhuys mengkritisi cara Dekker berlaku sebagai pejabat pemerintah,
digambarkan bagaimana seharusnya Langkah-langkah yang diambil Dekker ketika
memasuki suatu daerah baru, serta membandingkan apa yang dilakukan oleh Residen
sebelumnya, maupun konteks social kebudayaan masyarakat setempat dan bagaimana
peran residen dalam masyarakat Lebak yang malah ditangkap secara keliru oleh
Dekker – perihal residen memberikan uang kepada bupati – pada bagian ketiga,
Nieuwenhuys masih membahas persoalan pada bagian pertama dan bagian kedua
dengan sudut pandang yang logis, dengan membandingkannya dengan perilaku atau
prosedur yang patut pada saat itu. Bahkan Nieuwenhuys juga membahas isi surat
Dekker kepada sahabatnya, untuk menjadi seorang pengarang setelah ia tidak lagi menjabat di Lebak.
Politik Ingatan
Hadirnya bacaan bermutu di tengah kehidupan budaya, tak hanya
sumbangan para penulis primernya. Tetapi juga tak dapat dilepaskan dari peran
penerjemahan. Sapardi Djoko Damono pernah menuliskan bahwa peran terjemahan
sangat krusial dalam memperkaya khasanah literasi sastra. Kita tentunya memang
lebih mengenal buku atau karya penulis, namun seberapa dalam kita mengenal
siapa penerjemahnya? Lewat karya terjemahan Sitor Situmorang kita dapat
mengenal karangan Rob Nieuwenhuys ini. JJ Rizal dalam pengantar buku ini cukup
detail menggambarkan ‘suasana’ emosional dan pribadi Sitor Situmorang. Terlebih
setelah ia dibebaskan dari penjara Orde baru pada tahun 1976. Pada masa itu,
terjemahan Max Havelaar sudah berumur empat tahun di Indonesia sejak
diterjemahkan oleh HB Jassin pada tahun 1972. Sitor digambarkan sedang
membangun Kembali ingatan pribadi dan ingatan kolektifnya terhadap ayahnya pada
saat kekuasaan kolonial Belanda pada zaman Sisingamangaraja XII di Tanah Batak.
Pertama, karangan Rob Nieuwenhuys menjadi pintu masuk Sitor untuk
medekonstruksi narasi ingatan yang dibangun praktik kolonial di tanah batak,
dimana ayahnya, Ompu Babiat adalah salah satu kepala adat yang berani melawan
pemerintah Belanda. Sitor juga menyerukan betapa berbahayanya pengabaian
terhadap sejarah, dan perlunya kesadaran baru atas sejarah. Kedua, perihal
roman Max Havelaar adalah ingatan yang memesonanya ketika Sitor menemukan buku
ini di perpustakaan abangnya.
Kritis
Bagi saya, menulis Kembali Max Havelaar dalam sudut pandangan yang
berbeda adalah sebuah pemaknaan baru atas pentingnya melakukan verifikasi atas
suatu peristiwa. Kekritisan pada Era post-truth sangat menolong untuk berpikir
jernih: bahwa jangan mentah-mentah percaya pada narasi yang ditawarkan. Adalah
suatu perilaku yang patut diteladani dari seorang Nieuwenhuys yang dengan tekun
dengan mencari dan menguji kebenaran. Hal ini sangat relevan pada saat ini dimana
banyaknya bertebaran berita atau bahkan narasi palsu yang membawa kepada
kesesatan.
Terima kasih pada Ompu Sitor Situmorang yang sudah menulis
terjemahan buku ini. Saya melihat video beliau berjumpa dengan Pram di youtube,
mengingatkan saya dengan kakek saya. Cara bicaranya sangat mirip. Kini mereka
bersama-sama dari tempat mereka menghadap Tao Toba na Nauli.
Helvry Sinaga
Judul: Mitos dari Lebak – Telaah Kritis Peran
Revolusioner Multatuli
Hikayat Lebak. 1977. Jakarta: Pustaka Jaya
Penulis: Rob Nieuwenhuys
Penerjemah: Sitor Situmorang
Pengantar: JJ Rizal, Emma Keizer & Tico
Onderwater
Penerbit: Komunitas Bambu Depok (2019)
Halaman: xiii + 118 hlm; 14x21 cm
ISBN: 978-6237 357032
Makasih informasinya
BalasHapus