Kamis, 07 Januari 2021

Mitos dari Lebak oleh Rob Nieuwenhuys

 


Kind words can be short and easy to speak, but their echoes are truly endless. 

© Mother Teresa 

Eduard Douwes Dekker (1820-1887) diangkat sebagai asisten residen di Lebak. Ia bertugas pada tahun 1856, ia hanya bertugas selama tiga bulan di sana. Empat tahun kemudian, karangan fiksinya, Max Havelaar menjadi buku berpengaruh di Hindia Belanda. Bahkan menjadi dasar lahirnya politik Etis di daerah jajahan Belanda. Apa pasal? Roman ini menjadi seolah menjadi rujukan yang sahih tentang suatu ketidakadilan sistematis yang terjadi pada saat tanam paksa diberlakukan di Jawa. Roman itu bercerita tentang seorang pegawai kolonial bernama Max Havelaar, yang menentang praktek korupsi di daerah tugasnya. Penceritaan dalam roman tersebut bahkan ditutup dengan kisah Saijah dan Adinda yang kemudian menjadi ikut termashyur. Begitulah, Max Havelaar menjadi buku rujukan penting di sekolah-sekolah, pemerintah, bahkan bagi pegawai yang bertugas di Hindia Belanda, wajib membaca buku itu. Persoalannya, bagaimana membedakan antara fiksi dan fakta dalam sebuah buku yang dilabeli “berdasarkan kisah nyata.” Kedua, bagaimana tanggung jawab Pengarang, jika di dalamnya ternyata terpapar sebuah kisah yang jauh berbeda dengan kenyataan? Apakah ia dapat “berlindung” di balik kefiksiannya?

Review Buku Max Havelaar oleh Helvry Sinaga

Dekonstruksi post-truth

Rob Nieuwenhuys menaruh minat pada sastra yang dibuat pada masa colonial Belanda. Ia mendapat kesempatan bekerja di KITLV dan meneliti arsip-arsip colonial serta membuat opini berdasarkan data tersebut yang menyanggah sanjungan terhadap karangan Multatuli ini. Melaui arsip tersebut Ia membahas dari sudut pandang struktur organisasi, kewenangan, sistem dan mekanisme yang berjalan pada saat itu dan menyimpulkan bahwa yang terjadi justru berbalik dari apa yang sudah diyakini orang sebagai suatu kebenaran. Dengan lugas, Nieuwenhuys menyatakan bahwa Douwes Dekker sebagai pejabat pemerintahan Belanda di Jawa hampir tidak mengenal dunia yang lain-kebijaksanaan- ketika ia tiba di Lebak pada 1856. Dalam Max Havelaar, diceritakan bahwa si narrator sudah bekerja selama 17 tahun pada gubernurmeen. Kenyataannya, dalam Riwayat dinas Douwes Dekker, belum sampai 14 tahun ia bekerja, dengan rincian: lima tahun ia tidak bekerja (langsung di Pemerintahan) yang terdiri dari tiga tahun cuti di Eropa dan dua tahun hanya memperoleh uang tunggu; dari sisanya sekitar 9 tahun, hanya satu tahun bertugas di Natal, dan lima bulan di Ambon. Dengan kata lain, ia tidak punya pengalaman bekerja di pemerintahan Pulau Jawa sama sekali. Dengan demikian, sangat beralasan bahwa Douwes Deker tidak berbasis pengalaman dalam bertindak terhadap pemerintahan Bupati (yang bersifat feudal) bersikap pada rakyat Lebak.

Selanjutnya, Nieuwenhuys menulis bahwa pengangkatan Douwes Dekker sudah “bermasalah” sejak awal. Douwes Dekker diangkat pada zaman Duymaer van Twist. Ada fakta menarik bahwa sepupu istri Dekker menikah dengan Sekretaris umum yang dipercayai oleh van Twist. Secara kedinasan, seharusnya pola karir pejabat pemerintahan bersumber dari pamong praja juga. Sementara Dekker berkenalan dengan van Twist di istana Bogor, ia masih menunggu cuti penempatan. Dalam diri Dekker boleh jadi muncul suatu bayangan mimpi pemerintahan yang idealis, berwibawa, berkeadilan. Namun perspektif itu masih didasarkan pada pengalaman bekerja sebelumnya, yang nota bene tidak di bidang pemerintahan yang berbasis kebudayaan di Pulau Jawa. Jelas, bahwa pada zaman itu, Gubernur Jenderal mengarahkan agar ikut mengembangkan pemerintahan daerah setempat, dan pemerintahan colonial Belanda bermitra dengan bupati daerah, bukan berlaku sebagai atasan bupati daerah setempat. Dan yang berlakuu adalah hukum daerah setempat. Terjadi bias perspektif pada saat terdapat suatu upeti rakyat pada raja adalah hal biasa pada zaman itu,  Sedangkan dari sudut pandang Dekker, suatu upeti rakyat adalah sebuah bentuk kesewenangan bupati pada rakyatnya. Ia punya cita-cita, membela rakyat lebak yang tertindas. Ide ini sampai pada pembaca Max Havelaar. Namun tanpa ada telaah budaya setempat. Dekker menggambarkan gubernur jenderal dan residen Lebak sebagai orang bejat dan malas dalam Max Havelaar. Namun kenyataannya, justru Dekker sendiri yang sangat kurang pengalaman. Hasil penelusuran  Nieuwenhuys terhadap nota atau surat selama masa van Twist menjabat, tidak menunjukkan hal tersebut.

Selanjutnya, Dekker memberi kesan bahwa bupati Lebak melakukan pemerasan terhadap rakyatnya, pada saat datangnya saudaranya bupati Cianjur ke Lebak untuk berkunjung. Adalah hal yang lumrah pada saat itu – mungkin sampai sekarang- adalah menjamu tamu. Persoalannya saat itu bupati Lebak tidak sekaya bupati Cianjur, dan rakyat Lebak dengan arifnya memberi “bantuan” kepada bupati Lebak seperti hewan ternak, agar bupati Lebak dapat dengan layak menjamu saudaranya. Dalam catatan yang ditelusuri Nieuwenhuys, bahwa bupati Lebak berkali-kali mendatangi Dekker di rumah dinasnya. Sementara Dekker sama sekali tidak pernah mengunjungi bupati Lebak ke tempat tinggalnya. Dekker seperti menunjukkan kesuperioran Bangsa Barat yang tidak “setara” dalam hal pemerintahan bersama.

Nieuwenhuys menulis buku ini dalam tiga bagian. Bagian pertama mengenai asal usul Dekker bekerja sebagai asisten residen Lebak. Pada bagian kedua, Nieuwenhuys mengkritisi cara Dekker berlaku sebagai pejabat pemerintah, digambarkan bagaimana seharusnya Langkah-langkah yang diambil Dekker ketika memasuki suatu daerah baru, serta membandingkan apa yang dilakukan oleh Residen sebelumnya, maupun konteks social kebudayaan masyarakat setempat dan bagaimana peran residen dalam masyarakat Lebak yang malah ditangkap secara keliru oleh Dekker – perihal residen memberikan uang kepada bupati – pada bagian ketiga, Nieuwenhuys masih membahas persoalan pada bagian pertama dan bagian kedua dengan sudut pandang yang logis, dengan membandingkannya dengan perilaku atau prosedur yang patut pada saat itu. Bahkan Nieuwenhuys juga membahas isi surat Dekker kepada sahabatnya, untuk menjadi seorang pengarang setelah ia tidak  lagi menjabat di Lebak.

Politik Ingatan

Hadirnya bacaan bermutu di tengah kehidupan budaya, tak hanya sumbangan para penulis primernya. Tetapi juga tak dapat dilepaskan dari peran penerjemahan. Sapardi Djoko Damono pernah menuliskan bahwa peran terjemahan sangat krusial dalam memperkaya khasanah literasi sastra. Kita tentunya memang lebih mengenal buku atau karya penulis, namun seberapa dalam kita mengenal siapa penerjemahnya? Lewat karya terjemahan Sitor Situmorang kita dapat mengenal karangan Rob Nieuwenhuys ini. JJ Rizal dalam pengantar buku ini cukup detail menggambarkan ‘suasana’ emosional dan pribadi Sitor Situmorang. Terlebih setelah ia dibebaskan dari penjara Orde baru pada tahun 1976. Pada masa itu, terjemahan Max Havelaar sudah berumur empat tahun di Indonesia sejak diterjemahkan oleh HB Jassin pada tahun 1972. Sitor digambarkan sedang membangun Kembali ingatan pribadi dan ingatan kolektifnya terhadap ayahnya pada saat kekuasaan kolonial Belanda pada zaman Sisingamangaraja XII di Tanah Batak. Pertama, karangan Rob Nieuwenhuys menjadi pintu masuk Sitor untuk medekonstruksi narasi ingatan yang dibangun praktik kolonial di tanah batak, dimana ayahnya, Ompu Babiat adalah salah satu kepala adat yang berani melawan pemerintah Belanda. Sitor juga menyerukan betapa berbahayanya pengabaian terhadap sejarah, dan perlunya kesadaran baru atas sejarah. Kedua, perihal roman Max Havelaar adalah ingatan yang memesonanya ketika Sitor menemukan buku ini di perpustakaan abangnya.

Kritis

Bagi saya, menulis Kembali Max Havelaar dalam sudut pandangan yang berbeda adalah sebuah pemaknaan baru atas pentingnya melakukan verifikasi atas suatu peristiwa. Kekritisan pada Era post-truth sangat menolong untuk berpikir jernih: bahwa jangan mentah-mentah percaya pada narasi yang ditawarkan. Adalah suatu perilaku yang patut diteladani dari seorang Nieuwenhuys yang dengan tekun dengan mencari dan menguji kebenaran. Hal ini sangat relevan pada saat ini dimana banyaknya bertebaran berita atau bahkan narasi palsu yang membawa kepada kesesatan.

Terima kasih pada Ompu Sitor Situmorang yang sudah menulis terjemahan buku ini. Saya melihat video beliau berjumpa dengan Pram di youtube, mengingatkan saya dengan kakek saya. Cara bicaranya sangat mirip. Kini mereka bersama-sama dari tempat mereka menghadap Tao Toba na Nauli.

Helvry Sinaga



Judul: Mitos dari Lebak – Telaah Kritis Peran Revolusioner Multatuli

Hikayat Lebak. 1977. Jakarta: Pustaka Jaya

Penulis: Rob Nieuwenhuys

Penerjemah: Sitor Situmorang

Pengantar: JJ Rizal, Emma Keizer & Tico Onderwater

Penerbit: Komunitas Bambu Depok (2019)

Halaman: xiii + 118 hlm; 14x21 cm

ISBN: 978-6237 357032

1 komentar: