Kooong: Kisah tentang seekor perkutut

Jumat, Agustus 30, 2013


Apakah makna "kebebasan" bagi pengarang? Iwan Simatupang dalam sebuah esainya: Kebebasan Pengarang dan masalah tanah air menyatakan bahwa maknanya adalah kebebasan yang dibutuhkan (oleh pengarang) untuk memungkinkan penciptaan. Proses penciptaan adalah pergumulan kebebasan melawan yang selebihnya, alias melawan ketakbebasan.

Buku ini bercerita tentang Pak Sastro yang kehilangan burung perkututnya. Burung perkututnya ini sudah bersama pak Sastro kurang lebih 10 tahun. Pak Sastro membeli burung perkututnya di Pasar Senen, sebagai pelipur lara karena ia baru saja ditinggal anak tunggalnya, Amat. Sebelum kehilangan Amat, Pak Sastro juga kehilangan istrinya yang diseret banjir. Pak Sastro yang disegani di desanya sangat bermuram. Orang-orang di desa menganjurkan padanya agar ia mencari pengganti istrinya, namun ia bergeming. Anaknya Amat juga pergi meninggalkannya sampai ia tahu berita kematiannya. Sungguh Pak Sastro sangat bersedih, dan ketika pulang dari acara pemakaman Amat di pekuburan Karet, ia meminta tukang becak mengantarnya ke Pasar Senen untuk mengetahui hal ikhwal kematian Amat yang katanya tergilas kereta api. (cat. bisa terbayang jauhnya, kurang lebih 10km).


Judul: Kooong, Kisah tentang Seekor Perkutut
Pengarang: Iwan Simatupang
Penerbit: PT Dunia Pustaka Jaya
Cetakan kedua, 2013 (pertama kali 1975)
ISBN:978-979-419-386-0


Tanpa disadari, ia tiba di pasar burung. Ia terpesona melihat seorang laki-laki yang merawat burung perkutut. Burung itu diberi jewawut dan ketan hitam di tempat makannya. Lalu perkutut itu mengeluarkan bunyi, tanda berterima kasih, "Kooong! Kooong!" Mulanya Pak Sastro tidak tertarik, karena ia pikir burung perkutut bukanlah burung istimewa. Di kampungnya di Jawa Tengah, burung perkutut kerap ditemukan. Namun karena ternyata penjual burung dan Pak Sastro berdekatan kampungnya, jadilah Pak Sastro membeli burung perkutut itu seharga seribu rupiah (cat. novel ini dicetak pertama kali tahun 1975).

Kepulangan Pak Sastro membawa seekor burung perkutut menarik perhatian orang desa. Orang-orang desa berkerumun mendekati perkutut Pak Sastro untuk mendengar kooongnya. Namun mereka kecewa. Perkutut Pak Sastro tidak ada kooong-nya.  Pak Sastro tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia sendiri cukup puas dengan keadaan tersebut. Bagi dia, keberadaan perkutut yang tidak bisa kooong tersebut justru tepat mengisi kekosongan dalam dirinya. Begitulah Pak Sastro setiap pagi. Begitu bangun ia memberi makan perkututnya dan dikereknya sangkar burung perkutut itu tinggi-tinggi di udara. Itulah kebahagiaannya. Sampai pada suatu ketika ia menemukan sangkar perkututnya dalam keadaan kosong. Burung perkututnya hilang!

Kehilangan burung perkutut tersebut tidak hanya membuat Pak Sastro gusar, tetapi seluruh warga desa. Tiap penghuni desa merasakan kesedihan Pak Sastro. Pak Lurah mengumpulkan orang desa untuk memecahkan masalah itu. Hasil rapat itu menyimpulkan agar Pak Sastro meninggalkan desa itu untuk berjalan-jalan sejenak supaya ia melupakan kesedihannya. Untuk mencari perkutut yang hilang itu pun dinilai pekerjaan yang sia-sia. Karena itu, diutuslah beberapa orang untuk menyampaikan simpulan rapat tersebut pada Pak Sastro. Awalnya Pak Sastro menolak usulan itu, namun setelah merenungkannya kembali, akhirnya Pak Sastro memutuskan untuk 'keluar' sejenak dari desa dengan menitipkan seluruh sawah, kebun, penggilingan padi, ternaknya pada Pak Lurah selama ia pergi.

Kisah selanjutnya adalah perjalanan Pak Sastro tanpa tujuan. Berkelana kemana ia suka untuk mengusir kegundahan. Meski perjalanannya bertema "kebebasan" ia tetap bertanya pada orang-orang yang ditemuinya perihal perkututnya. Tentu saja banyak orang menertawakannya dengan ciri-ciri perkututnya. Warna bulu biasa, kakinya biasa, paruhnya biasa, dan tidak ada kooong sama sekali. Sampai-sampai orang-orang mengatakan bahwa ia sinting.


Pak Sastro merenungkan kembali atas situasi kehilangan yang dialaminya. Dalam hatinya Pak Sastro mempertanyakan apa yang salah dengan ia menyayangi sesuatu yang orang lain anggap biasa-biasa saja, tidak ada keistimewaan? apakah yang kita miliki di rumah semuanya memiliki keistmewaan? apakah salah memiliki suatu benda yang menurut orang lain biasa-biasa saja namun justru di dalamnya ada kenangan pada salah satu kurun waktu di masa lalu? Situasi yang sama mungkin menghampiri kita, manakala kita dianggap orang lain aneh bila kita mengalami kehilangan suatu benda.

Bagaimana kisah selanjutnya, silakan anda teruskan sendiri membacanya. Banyak pelajaran yang dapat kita tarik dari kisah Pak Sastro ini. Iwan Simatupang berhasil memikat dengan kata-katanya yang tidak menggurui, namun memberikan permenungan yang mendalam tentang apa artinya hidup, apa kebahagiaan. Iwan benar-benar mengeksplorasi makna kebebasan pengarang sebebas-bebasnya, tanpa kehilangan pesan utamanya. Iwan sangat apik menyajikan peristiwa kehilangan perkutut ini dari sudut pandang Pak Sastro, orang desa, bahkan dari sudut pandang si burung perkutut itu sendiri.

Dari pengantar yang diberikan oleh Ajip Rosidi, diketahui bahwa naskah Kooong ini awalnya adalah salah satu naskah yang tidak menang dalam Sayembara Mengarang Roman Bacaan Remaja yang diselenggarakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia pada tahun 1969. Namun, naskah-naskah sisa tersebut daripada dikembailikan ke penerbitnya, ditimbang sekali lagi, barangkali ada diantaranya yang patut untuk diterbitkan. Ajip adalah orang yang diminta untuk mempertimbangkan naskah-naskah tersebut. Berhubung pada saat itu umumnya tiap naskah menggunakan nama pena, Ajip mengira bahwa naskah ini adalah karya orang lain yang terinspirasi pada Iwan Simatupang. Ajip merekomendasikan pada agar naskah ini diterbitkan, namun hingga tahun 1973, tidak berhasil ditemukan penerbit yang bersedia menerbitkannya. Hingga Ajip terpilih menjadi Ketua Ikapi, naskah ini kembali disodorkan padanya, dan ia mengenali naskah ini dan mencari alamat penulisnya. Ternyata nama pena Kebo Kenanga, bukanlah orang yang terinspirasi Iwan Simatupang, namun Iwan Simatupang sendiri. Novel ini terbit di tahun 1975, setelah karya-karya Iwan Simatupang yang lain seperti Merahnya Darah (1968), Ziarah (1969), dan Kering (1972). Perihal judul Kooong sendiri, Ajip memberi keterangan bahwa Iwan bermaksud menggambarkan Kooong sebagai onomatope suara burung yang melambangkan suara panjang. Judul aslinya adalah Koong (dengan dua huruf o), untuk menghindari orang salah membaca sebagai "ko-ong", maka Ajip mengubah judulnya dari Koong menjadi Kooong.

Helvry | 30 Agustus 2013
Posting bersama BBI Agustus: sastra Indonesia

You Might Also Like

13 komentar

  1. saya bayangin suara perkutut jadinya :D dulu punya 7 perkutut di rumah ^_^

    mungkin di perpus kota malang ini ada, pingin baca.

    BalasHapus
  2. woaaah udah lama nggak baca review bang epi :) kayaknya bukunya sarat makna kehilangan ya...semoga akhirnya cukup happy end ;p

    BalasHapus
  3. wah beneran baru tahu ada buku ini. Kayaknya pustaka indonesia kurang di'populerkan' nih :(

    BalasHapus
  4. waduh liat jarak cetakan pertama dan keduanya jauh banget yah..

    *merasa bersalah karena jarang baca sastra klasik Indonesia*

    BalasHapus
  5. kenapa di Bali tidak pernah ada buku langka namun bagus seperti ini??

    BalasHapus
  6. @mide: buku ini buku lama, saya rasa ada di perpustakaan. Kalau tidak nyari di togamas malang aja,harganya nggak nyampe Rp25.000, hehhehe

    BalasHapus
  7. @astrid: ahaha..baca deh mbak..tipis bukunya semalem juga selesai :)

    BalasHapus
  8. @tezar: sekarang pustaka jaya sedang melakukan cetak ulang karya-karya lama mas, coba deh dicek di toko-toko buku terdekat..halah

    BalasHapus
  9. @tria: memang sumber-sumber sastra klasik Indonesia minim sih..tersedianya kalau nggak di perpustakaan, ya di toko-toko buku bekas. Kalau cetak ulangnya belum banyak penerbit yang tertarik. Pustaka Jaya mencetak ulang buku ini aja karena didukung Djarum Foundation.

    BalasHapus
  10. @toko buku sunari: coba cek di toko buku gramedia bali, saya yakin ada.

    BalasHapus
  11. pengen tau kelanjutannya..

    BalasHapus