Sajak Ladang Jagung oleh Taufiq Ismail

Jumat, Maret 28, 2014

Baca bareng BBI bulan Maret 2014 ini yaitu buku kumpulan puisi. Saya akui, mereview buku kumpulan puisi sangatlah sulit, sebab saya sendiri jarang membaca kumpulan puisi, selain itu saya bila saya bandingkan dengan tulisan-tulisan lain yang membahas puisi, rasa-rasanya bahasanya terlalu tinggi menurut saya.
Saya memutuskan membaca Sajak Ladang Jagung, kumpulan puisi karya Taufiq Ismail. Sajak Ladang Jagung terdiri dari 3 buku (total 37 puisi): Buku Pertama, berisi 7 puisi. Buku Kedua, berisi 11 puisi, dan Buku Ketiga, berisi 19 puisi.


Judul: Sajak Ladang Jagung
Karya: Taufiq Ismail
Desain sampul: Ayi R. Sacadiputra
Diterbitkan pertama kali oleh Budaja Djaja - Dewan Kesenian Jakarta, Juni 1973
Edisi Pustaka Jaya
Cetakan pertama, 1975
Cetakan kedua, 2013
Tebal 80 halaman
ISBN 978-979-419-388-4


Saya tidak membahas secara global buku kumpulan puisi ini, tetapi membatasi pada tiga puisi yang mengambil perhatian saya, yaitu Larut Malam Suara Sebuah Truk,Bagaimana Kalau, dan Aku Ingin Menulis Puisi, Yang

Taufiq menceritakan sisi berbeda dari sebuah hiruk pikuk kemerdekaan Indonesia. Mungkin hal ini yang menjadi kegelisahan Taufiq, apakah makna perang bagi sebuah keluarga prajurit. Apakah penting menang atau kalah perang? bukankah lebih penting pulang ke rumah?

1946: Larut Malam Suara Sebuah Truk

Sebuah truk laskar menderu
masuk kota Salatiga
Mereka menyanyikan lagu
'sudah Bebas Negeri Kita'

Di jalan Tuntang seorang anak kecil
Empat tahun, terjaga:
'Ibu, akan pulangkah bapa,
Dan membawakan pestol buat saya?


Bagaimana Kalau, adalah sebuah kegelisahan sekaligus ruang bertanya pada kehidupan. Pertanyaan-pertanyaan bermuatan filosofis dituangkan lewat puisi secara reflektif. Saya membayangkan kita melihat permasalahan dari situasi yang berbeda, situasi sebaliknya.Saya mengutip dari blog eddi poerwanto yang menuliskan bahwa bagaimana kalau mengandung makna retoris: Muara dari puisi Taufiq Ismail yang memunculkan sejumlah dua belas diksi “ Bagaimana Kalau “ sesuai dengan judulnya. Adalah makna retoris bahwa yang terjadi kini tidak perlu dilihat sebagai sesuatu kesalahan yang membuat seseorang harus menoleh terlalu jauh kebelakang. Membayangkan sesuatu yang tidak pernah mungkin terjadi. Mencari jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya sudah ada di depan mata. Bahasa Taufiq Ismail dalam puisi ini yang mengajak orang tidak hanya membaca namun juga ikut berpikir tentang segala sesuatu yang telah terjadi di dunia adalah ketetapan Tuhan dan tidak perlu disesali keberadaannya


BAGAIMANA KALAU


Bagaimana kalau dulu bukan khuldi yang dimakan Adam, tapi buah alpukat,
Bagaimana kalau bumi bukan bulat tapi segi empat,
Bagaimana kalau lagu Indonesia Raya kita rubah, dan kepada Koes Plus kita beri mandat,
Bagaimana kalau ibukota Amerika Hanoi, dan ibukota Indonesia Monaco,
Bagaimana kalau malam nanti jam sebelas, salju turun di Gunung Sahari,
Bagaimana kalau bisa dibuktikan bahwa Ali Murtopo, Ali Sadikin
dan Ali Wardhana ternyata pengarang-pengarang lagu pop,
Bagaimana kalau hutang-hutang Indonesia dibayar dengan pementasan Rendra,
Bagaimana kalau segala yang kita angankan terjadi, dan segala yang terjadi pernah kita rancangkan,
Bagaimana kalau akustik dunia jadi sedemikian sempurnanya sehingga di kamar tidur kau dengar deru bom Vietnam, gemersik sejuta kaki pengungsi, gemuruh banjir dan gempa bumi sera suara-suara
percintaan anak muda, juga bunyi industri presisi dan margasatwa Afrika,
Bagaimana kalau pemerintah diizinkan protes dan rakyat kecil mempertimbangkan protes itu,
Bagaimana kalau kesenian dihentikan saja sampai di sini dan kita pelihara ternak sebagai pengganti
Bagaimana kalau sampai waktunya kita tidak perlu bertanya bagaimana lagi.


1971

Puisi terakhir ditutup dengan Aku Ingin Menulis Puisi, Yang. Puisi ini menurut saya merupakan suatu kerinduan dari penyair Taufiq bahwa ia akan membuat puisi kepada orang-orang yang tersingkir karena ketidakadilan, kepada orang-orang yang butuh pengharapan, kepada korban perang, kepada kehidupan itu sendiri. Ini menunjukkan bahwa puisi membawa pesan penghiburan dan pengharapan. Saya rasa bukti puisi ini adalah buku kumpulan puisinya  Buku Mengakar ke Bumi Menggapai ke Langit 1—4, yang merupakan kumpulan puisinya dari 1953-2008 (Jakarta: Horison, 2008; xlii + 1076 hlm; xxxiv + 801 hlm; xxxii + 880 hlm; xxxviii + 101 hlm).

Aku Ingin Menulis Puisi, Yang
Aku ingin menulis puisi, yang tidak semata-mata berurusan dengan cuaca, warna, cahaya, suara dan mega.

Aku ingin menulis syair untuk kanak-kanak yang melompat-lompat di pekarangan sekolah, yang main gundu dan petak umpet di halaman rumah, yang menangis karena tidak naik kelas tahun ini.

Aku ingin menulis puisi yang membuat orang berumur 55 tahun merasa 25, yang berumur 24 merasa 54 tahun, di mana pun mereka membacanya, bagaimanapun mereka membacanya: duduk atau berdiri.

Aku ingin menulis puisi untuk penjual rokok-kretek, tukang jahit kemeja, penanam lobak dan bawang perai, penambang sampan di sungai, penulis program komputer dan disertasi ilmu bedah, sehingga mereka berhenti sekejap dari kerja mereka dan sempat berkata: hidup ini, lumayan indah.

Aku ingin menulis syair buat pensiunan-pensiunan guru SD, pelamar-pelamar lowongan kerja, para langganan rumah gadai, plonco-plonci negeri dan swasta, pasien-pasien penyakit asma, kencing gula serta penganggur-penganggur sarjana, sehingga bila mereka baca beberapa sajakku, mereka bicara: hidup di Indonesia, mungkin harapan masih ada.

Aku ingin menulis sajak yang penuh proteina, sekedar zat kapur, bele-rang serta vitamina utama, sehingga puisi-puisiku ada sedikit berguna bagi kerja dokter-dokter umum, dokter hewan, insinyur pertanian dan peternakan.

Aku ingin menulis puisi bagi para pensiunan yang pensiunannya dipersulit otorisasinya, tahanan politik dan kriminal, siapa juga yang tersiksa, sehingga mereka ingat bahwa keadilan, tak putus diperjuangkan.

Aku ingin menulis sajak yang bisa membuat orang ingat pada Tuhan di waktu senang, senang yang sedang-sedang atau yang berlebihan.
Barangkali aku tak bisa menulis demikian.Tapi aku kepingin menuliskannya.Tapi ingin.

Aku ingin menulis puisi yang bisa dibidikkan tepat pada tubuh kehidupan, menembus selaput lendir, jaringan lemak, susunan daging, pembuluh darah arteri dan vena, mengetuk tulang dan membenam sumsum, sehingga perubahan fisika dan kimiawi, terjadi.

Aku ingin menulis puisi di buku catatan rapat-rapat Bappenas, pada agenda muktamar mahasiswa, surat-surat cinta muda mudi Indonesia, pada kolom kiri lembaran wesel yang tiap bulan dikirimkan orangtua pada anaknya yang sekolah jauh di kota.

Aku ingin menulis syair pada cetak-biru biru-biro arsitek, pada payung penerjun terkembang di udara, pada iklan-iklan jamu bersalin, pada tajuk rencana koran ibukota dan pada lagu pop anak-anak muda.

Aku ingin menulis sekali lagi puisi mengenang jendral Sudirman yang berparu-paru satu, serta tentang sersan dan prajurit yang terjun malam di Irian Barat kemudian tersangkut di pepohonan raksasa atau terbenam di rawa-rawa malaria.

Aku ingin menulis syair yang mencegah kopral-kopral tak pernah bertempur agar berhenti menempelengi sopir-sopir oplet yang tarikannya payah.

Aku ingin menulis sajak ambisius yang bisa menghentikan perang saudara dan perang tidak saudara, puisi konsep gencatan senjata, puisi yang bisa membatalkan pemilihan umum, menambal birokrasi, menghibur para pengungsi dan menyembuhkan pasien-pasien psikiatri.

Aku ingin menulis seratus pantun buat anak-anak berumur lima dan sepuluh tahun sehingga bila dibacakan buat mereka, maka mereka tertawa dan gigi mereka yang putih dan rata jelas kelihatan.

Aku ingin menulis puisi yang menyebabkan nasi campur dimakan serasa hidangan hotel-hotel mahal dan yang menyebabkan petani-petani membatalkan niat naik haji dengan menggadaikan sawah dan perhiasan emas sang isteri.

Aku ingin menulis puisi tentang merosotnya pendidikan, tentang Nabi Adam, keluarga berencana, sepur Hikari, lembah Anai, Amir Machmud, Piccadily Circus, taman kanak-kanak, Opsus, Raja Idrus, nasi gudeg, kota Samarkand, Raymond Westerling, Laos, Emil Salim, Roxas Boulevard, Dja’far Nur Aidit, modal asing, Checkpoint Charlie, Zainal Zakse, utang $ 3 milyard, pelabuhan Rotterdam, Champ Elysses dan bayi ajaib, semuanya disusun kembali menurut urutan abjad.

Aku ingin menulis puisi yang mencegah kemungkinan pedagang-pedagang Jepang merampoki kayu di rimba dalam Kalimantan, melarang penggali minyak dan penanam modal mancanegara menyuapi penguasa yang lemah iman, dan melarang sogokan uang pada pejabat bea cukai serta pengadilan.

Aku ingin menggubah syair yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya terbunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.

Aku ingin menulis gurindam yang menghapuskan dendam anak-anak yatim piatu yang orangtua dan paman bibinya dibunuh pada waktu pemberontakan komunis yang telah silam.

Barangkali aku tidak sempat menuliskannya semua.
Tapi aku ingin menulis puisi-puisi demikian.
Aku ingin.

1971




sumber: the jakarta post
Taufiq Ismail lahir dari pasangan A. Gaffar Ismail (1911-1998) asal Banuhampu, Agam dan Sitti Nur Muhammad Nur (1914-1982) asal Pandai Sikek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Dilahirkan di Bukittinggi dan dibesarkan di Pekalongan, ia tumbuh dalam keluarga guru dan wartawan yang suka membaca. Ia telah bercita-cita menjadi sastrawan sejak masih SMA. Dengan pilihan sendiri, ia menjadi dokter hewan dan ahli peternakan karena ingin memiliki bisnis peternakan guna menafkahi cita-cita kesusastraannya. Ia tamat FKHP-UI Bogor pada 1963 tapi gagal punya usaha ternak yang dulu direncanakannya di sebuah pulau di Selat Malaka. Ia Mendapat Anugerah Seni dari Pemerintah (1970), Cultural Visit Award Pemerintah Australia (1977), South East Asia Write Award dari Kerajaan Thailand (1994), Penulisan Karya Sastra dari Pusat Bahasa (1994). Dua kali ia menjadi penyair tamu di Universitas Iowa, Amerika Serikat (1971-1972 dan 1991-1992), lalu pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur (1993).



@helvrySINAGA
Bandung, 28 Maret 2014

You Might Also Like

0 komentar