Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh
Rabu, April 13, 2011Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh
Madelon H. Szekely-Lulofs
14x21 cm, 256 pages
Published July 1st 2010 by Komunitas Bambu (first published 1948)
ISBN: 9793731818
Apa yang teringat di benak kita bila ditanyakan tentang Aceh? barangkali langsung terlontar "Serambi Mekah" atau salah satu Daerah Istimewa disamping Yogykarta. Namun, sebuah jawaban yang memilukan muncul dari seorang warga Aceh, "Dulu DOM, lalu GAM, lalu Darurat Militer, lalu Darurat Sipil, dan sekarang tsunami. Itulah nasib kami, orang Aceh." (Sekelumit Tentang Aceh: Danny I. Yatim. 2004).
Selanjutnya, jika ditanyakan, siapakah itu Cut Nyak Din? Dengan berbekal pelajaran sejarah di sekolah dulu kita akan menjawab, Pahlawan dari Aceh bersama Teuku Umar, seraya mengingat-ingat foto beliau yang terpampang di dinding kelas.
dan fotonya pernah terpampang di pecahan sepuluh ribu rupiah.
Buku ini berjudul asli Tjoet Nja Din : de geschiedenis van een Atjehse vorstin yang ditulis oleh Madelon Hermine Székely-Lulofs, pada Tahun 1948.
Lewat buku ini, Lulofs menuliskan kembali hikayat Perang Kompeni dengan memasukkan data-data detil tentang peristiwa mulai dari asal mula datangnya Machudun Sati dari tanah Minang ke tanah Aceh, bentuk sosial pemerintahan rakyat Aceh saat itu yang menggunakan istilah mukim, sagi, uleebalang, panglima, kesultanan.
Cut Nyak Din dilahirkan di Lampadang pada Tahun 1850. Ia adalah putri uleebalang Mukim 6, Teuku Nanta Setia. Ia dibesarkan dalam kehidupan beragama dan adat yang kuat. Pada Tahun 1862 Cut Nyak Dien dilamar dan dinikahkan pada usia 12 tahun dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII.
Sebelum konflik besar antara Belanda dan Aceh, sebenarnya Aceh sudah hidup damai berdampingan dengan bangsa lain. Namun, Belanda tertarik untuk menguasai Aceh, karena posisinya yang strategis untuk berdagang akibat dibukanya Terusan Suez dan menjadi saingannnya Malaka saat itu. Selain itu, Kesultanan Aceh menjalin hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika, Italia dan Turki di Singapura. Belanda memulai serangannya dengan menembakkan meriam ke arah dataran Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Perang Aceh pun meletus, puncaknya pada 8 April 1873, Belanda di bawah pimpinan Jenderal Kohler menguasai Mesjid Raya kebanggaan rakyat Aceh, Baiturrahman, serta membakarnya.
Cut Nyak Din sangat geram. Ia turut merebut Mesjid Raya Baiturrohman pada tanggal 10 April 1873, dan ia menjadi saksi Jenderal Kohler tertembak. Ucapan Kohler yang terkenal pada saat-saat maut merenggut jiwanya: "0, God, ik ben getroffen!"("Ya Tuhan, aku terkena peluru!")
Perang kedua dibawah Jenderal Van Swieten berhasil menduduki kesultanan dan Mesjid Raya Baiturrahman dan Belanda menjadikkannya sebagai pusat pertahanan Belanda pada Januari 1874. Mesjid ini lalu dibakar Belanda, karena dianggap sebagai tempat pertahanan pejuang Aceh. Cut Nyak Din bersama dengan rombongan wanita Aceh lainnya akhirnya harus meninggalkan Mukim VI karena kondisi sudah tidak kondusif lagi. Perjuangan diteruskan. Suaminya bertempur untuk merebut kembali Mukim VI. Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah ditambah karena direbut dan dibakarnya Mesjid Raya Baiturrahman, dan ia bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Ia menikah kedua kalinya pada Tahun 1880. Cut Nyak Din berkeras bahwa ia akan menikah dengan orang yang akan membalas kematian ayah dan suami pertamanya. Ia menerima lamaran Teuku Umar. Teuku Umar digambarkan sebagai orang yang suka bersenang-senang, suka mengumpulkan harta, dan mencari kekuasaan. Sebelum menikah dengan Din, Teuku Umar sudah pernah menikah. Teuku Umar menikah dengan Nyak Sofiah, anak Uleebalang Glumpang. Untuk meningkatkan derajat dirinya, Teuku Umar kemudian menikah lagi dengan Nyak Malighai, puteri dari Panglima Sagi XXV Mukim. Sejak saat itu, ia mulai menggunakan gelar Teuku. Pada tahun 1880, Teuku Umar menikahi janda Cut Nyak Dien, puteri pamannya (Suami Cut Nya Dien, yaitu Teuku Ibrahim Lamnga meninggal dunia pada Juni 1878 dalam peperangan melawan Belanda di Gle Tarun). Teuku Umar dituduh berkhianat terhadap rakyat Aceh karena ia sangat dekat dengan penguasa Belanda. Pihak Belanda sangat senang dengan keberadaan Teuku Umar di pihak mereka, karena itu, Teuku Umar dianugerahi gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Teuku Umar diberi hak untuk membentuk legiun pasukan tersendiri. Akhirnya berbagai harta benda dan senjata mengalir dari kantor Belanda ke kediaman Teuku Umar.
Yang menarik diceritakan buku ini perihal Teuku Umar adalah ketika Cut Nyak Din mengajaknya berbicara empat mata. Apa yang disampaikan Din, membuat Umar terusik. Mengapa tidak, di tengah dendam Din terhadap Belanda kaphe itu, Din merasa suaminya tidak di dalam rencana besar untuk mengenyahkan penjajah dari Tanah Aceh. Akhirnya Umar pun menyadari bahwa kedudukannya di Banda Aceh pun mulai tidak nyaman lagi. Kecurigaan Belanda terhadap Umar semakin besar manakala ketika Umar diminta untuk mengamankan suatu wilayah yang sedang ada pemberontakan, daerah yang didatangi Umar sontak sepi tak berpenghuni.
Akhirnya Umar membuka kedoknya. Pada tanggal 30 Maret 1896, Teuku Umar keluar dari dinas militer Belanda dengan membawa pasukannya beserta 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kg amunisi, dan uang 18.000 dollar. Dengan persenjataan dari Belanda ia akhirnya tidak kembali lagi ke Belanda. Pengkhianatan Umar ini terkenal dengan istilah Het verraad van Teukoe Oemar (pengkhianatan Teuku Umar).
Belanda memburu Teuku Umar dan Cut Nyak Din, pada suatu penyerangan mendadak di daerah Meulaboh, Teuku Umar tertembak. Ia tewas pada tanggal 11 Februari 1899. Selanjutnya tampuk pimpinan perang melawan Belanda diambil alih oleh Din. Selama kurun waktu enam tahun ia memimpin gerilya. Sampai suatu ketika, anak buahnya, Pang Laot meminta dengan iba kepada pihak Belanda supaya memperlakukan Din dengan baik, mengingat Din semakin lemah keadaanya. Penyakit encok dan rabun menyerangnya. Belanda akhirnya menemukan tempat persembunyian Din, serta menangkapnya. Karena berpendapat tidak tepat membiarkan Din di Aceh karena suatu saat semangat Aceh akan kembali bergelora, ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat, pada Tahun 1905. Dan Din menutup matanya tidak di tanah Aceh lagi, tetapi di tanah Sumedang.
Apa yang dituliskan oleh Lulofs setidaknya harus diterjemahkan dalam konteks zaman sekarang, bahwa pemaknaan kisah perjuangan Din dapat disarikan sebagai berikut.
1. Cinta pada tanah air
2. Kecintaan pada perdamaian
3. Benci pada ketidakadilan
4. Mengusir penyebab kericuhan. Dlm hal ini, Din berseteru dengan suaminya, Teuku Umar yang dianggap berkhianat. Selain itu dengan Belanda berupa perlawanan.
5. Bangga menjadi bangsa sendiri yang tidak tergantung dengan bangsa lain.
Kisah Din ini akan terus menjadi hikayat seandainya saja Gubernur Aceh pada tahun 1959, ALi Hasjmy tidak berkunjung ke Universitas Leiden dan menemukan dokumen bahwa ada pembuangan Cut Nyak Din ke Sumedang. Berkat penelusuran dan permintaan Ali Hasjmy, makam Din ditemukan di Sumedang, dan akhirnya pada Tahun 1964, Pemerintah RI lewat Presiden Soekarno menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Cut Nya Din.
Melihat biografi Din ini, dapat menunjukkan bahwa terdapat tema seorang pribadi perempuan yang mempunyai semangat kemandirian. Selama ini mungkin yang ditonjolkan dalam kehidupan perempuan adalah tema perkawinan, perceraian, kehidupan keluarga, serta tukang masak dan pemelihara anak. Lewat buku ini, pembaca disuguhkan bagaimana struktur sosial masyarakat Aceh, hubungan suami istri dalam lingkungan adat yang kuat, kekeraskepalaan yang berlatar keteguhan hati, pemimpin.
Sayang sekali sumber sejarah mengenai perjuangan rakyat di berbagai daerah di Indonesia apalagi mengenai perempuan sebagai sumber kajian masih sangat jarang. Namun buku ini patut mendapat apresiasi. Dengan dituliskannya hikayat perang kumpeni, masyarakat Aceh jadi punya literatur tentang perjuangan pendahulunya.
Pertanyaan selanjutnya yang mungkin masih relevan dengan perjuangan Cut Nyak Dien adalah apakah KDRT terhadap perempuan akan berhenti? Apakah Ketua DPR/D akan lebih berani jika dipimpin oleh perempuan? Apakah perempuan sudah terberdaya dalam keluarga dan masyarakat terlebih negara? Semoga semangat perlawanan Cut Nyak Dien dikontekstualisasikan dalam upaya untuk keposisitawaran perempuan yang lebih baik.
-----
Madelon Hermine Lulofs (1899-1958) datang ke Deli, Sumatra pada 1918, mengikuti pernikahannya dengan penanam. Ayahnya seorang pegawai pemerintah yang seperti keluarga militer, berpindah-pindah tempat. Ia lahir di Surabaya. Ia menikah dalam usia muda. Ia hidup di Deli yang merupakan kota baru baginya hingga 1930. Tiga novelnya yang pertama bersituasi tentang Deli yaitu: Rubber (1931), Coolie (Koelie, 1932), dan The other World (De andere wereld, 1934). Ia menikah kedua kali dengan seorang pengusaha perkebunan berkebangsaan Hungaria, L.Szekely. Setelah dari Deli, ia kembali ke Eropa dan mulai menulis dengan serius. pengalaman selama di perkebunan karet Deli, ia tulis dalam novel yaitu: Rubber. Novel ini sukses dan bahkan diangkat dalam bentuk film.
Lulofs menghabiskan masa kecilnya di Aceh. ia mengingat kemegahan alam, puncak dan dataran tinggi, penyergapan, melihat orang mati ditanam, musuh Aceh yang berani, serta pengkhianat Teuku Umar. Ia mengetahui bahwa Cut Nyak Din lah orang yang bergerak di belakang yang melanjutkan perjuangan setelah kematian Teuku Umar. Cut Nyak Din sangat dikuasai kebencian dan dendam terhadap "komeni" yakni Pemerintah Hindia Belanda dan bangsa Belanda secara umum. Cut Nyak Din diketaui Lulofs dari narasi (sastra lisan Aceh) Dokarim. "Hikayat Perang Kompeunie". Tadinya Cut Nyak Din adalah sebuah nama, kemudian Lulofs memberikan "bentuk manusia" padanya. Lulofs mengalihkan suatu keinginan besar setelah kemerdekaan dan protesnya melawan Jerman yang menguasai Belanda pada tokoh Cut Nyak Din dan menjadikan Cut Nyak Din menjadi tokoh pahlawan wanita yang melawan Belanda.
Hikayat Dokarim
Mengapa rakyat Aceh terbakar semangatnya dalam berperang dengan Belanda? Medianya adalah hikayat yang diceritakan secara turun temurun. Hikayat adalah sastra Aceh yang berbentuk puisi selain jenis panton, nasib, dan kisah. Bagi orang Aceh hikayat tidak berarti hanya cerita fiksi semata, tetapi juga berisi hal-hal yang berkenaan dengan pengajaran moral dan kitab-kitab pelajaran sederhana, yang ditulis dalam bentuk sanjak. Bagi orang Aceh mendengarkan atau membaca hikayat merupakan hiburan yang utama, terutama sebagai bentuk hiburan yang bersifat mendidik. Salah seorang cendekiawan ulama yang turut menyebarkan hikayat adalah Dokarim. Ia berasal dari Keutapang Dua, Mukim VI, Sagi XXV Mukim Aceh Besar. Hasil karya Dokarim yang terkenal adalah Hikayat Prang Compeuni, berisikan tindakan-tindakan kepahlawanan Aceh dalam perlawanan terhadap Belanda. Selama bertahun-tahun ia menyampaikan hikayat gubahannya itu. Oleh Snouck Hurgronje menyuruh salin Hikayat Prang Compeuni dari ucapan Dokarim sendiri, walaupun sebelumnya sudah terdapat sebuah fragment yang disuruh salin oleh uleebalang.
Dokarim sebelumnya adalah seorang pengarah pertunjukan sadati dan perintang waktu sejenisnya, serta pembawa acara dalam pesta-pesta perkawinan. Ia sangat ahli dan mahir dalam berpidato dan pengetahuannya yang luas tentang bahasa tradisional dalam prosa maupun puisi, dan pantun di samping tentang upacara adat.
Tadinya saya mengira, buku terbitan Komunitas Bambu ini adalah versi pertamanya Lulofs, namun setelah searching kesana sini, akhirnya saya menemukan buku ini telah diterjemahkan oleh Abdoel Moeis pada Tahun 1954, tapi sayangnya dari sedemikian lama tahun penerbitannya, mengapa baru tersedia versi barunya sekitar tahun 2007-an? Selanjutnya bagusnya buku ini pada halaman belakangnya diberi tahu sumber-sumber tulisan Lulofs untuk mendukung penulisan buku ini.
Anyway, dengan membuka dan membaca buku ini, saya berharap generasi muda bersemangat mencari tahu siapa dan bagaimana pahlawannya. Syukur-syukur mau mencari tahu di dunia maya dan bersedia menuliskannya, sebab mungkin jika tidak ditulis, entah kemana lagi kita harus mencari.
Empat bintang
@hws08122010
Sumber bacaan lain:
http://sosbud.kompasiana.com/2010/01/12/ciri-khas-kesusastraan-meulayu-aceh/
http://dirmanmanggeng.blogspot.com/2009/03/dokarim.html
http://museum.acehprov.go.id/kategori/gallery/mayor-jenderal-jhr-kohler/index.php
3 komentar
Nah, hikayat dokarim ini sumber sejarahnya ya. Btw aku setuju banget sama kata pengantar di buku ini. Lulofs memahami kenapa Cut Nyak Din melakukan apa yang dia lakukan, namun penulisannya tetep lebih condong ke keberhasilan Belanda.
BalasHapusSaya punya Sepuluh ribu rupiah Tjut Njak Dhien
BalasHapussaya pernah baca review buku ini di salah satu blog milik anggota KEB, dan dia mengatakan kalau buku ini bagus untuk dibaca. :)
BalasHapus