Batavia 1936
Kamis, Mei 13, 2010Batavia 1936 by Widya W Harun
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 380 pages
Published July 2009 by Penerbit Republika
ISBN139789791102636
Seandainya kita tahu dapat tahu masa depan, seandainya kita dapat meneropong dunia lewat bola kristal ajaib, seandainya kita tahu dengan siapa kelak kita berbagi hidup, seandainya dan seandainya, maka hidup akan kehilangan kemisteriannya. Pertanyaan selanjutnya, buat apa kita hidup?
Novel ini bercerita di suatu tempat, sesuai dengan judulnya, Batavia 1936, di Batavia. Yah..kisah batavia di Tahun 1936, sembilan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. persisnya batavia yang diceritakan dalam novel ini adalah di Menteng, Gambir, Lapangan Banteng (Wilhemina Park), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jalan Imam Bonjol), dan seputarn Jalan Medan Merdeka.
Di tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu adalah Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (lahir di Groningen, 7 Maret 1888 – meninggal di Wassenaar, 16 Agustus 1978 pada umur 90 tahun) bisa dikatakan adalah Gubernur-Jendral terakhir Hindia-Belanda.
Tjarda van Starkenborch Stachouwer adalah Gubernur-Jendral yang ke 66 dan memerintah dari tahun 1936 – 1942.
Ia adalah seorang pemimpin dan diplomat yang berasal dari keluarga bangsawan Groningen, anak dari Edzard Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada tahun 1925 ia meneruskan ayahnya menjadi Commissaris van de Koningin (gubernur) di provinsi Groningen, Belanda. Lalu ia menjadi duta besar di Brusel pada tahun 1936 dan langsung ia menjadi Gubernur-Jendral Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia tetap berada di Indonesia dan dimasukkan di kamp Jepang dan dibuang di Taiwan bersama panglima perang Hindia belanda, Jendral Hein ter Poorten. Setelah Perang Dunia II usai, ia pulang ke Belanda dan menjadi diplomat kembali, antara lain di Paris (Sumber: Wikipedia Indonesia).
Novel ini bercerita tentang manis pahitnya cinta di kalangan putra-putri bangsawan yang hidup di Batavia di sekitaran Tahun 1936. Seperti yang dikenal pada pemerintahan Gubernur Jenderal Starkenborch Stachouwer, ia bercita-cita untuk tetap menguasai Hindia Belanda dhi. Indonesia, selama-lamanya. Ucapannya yang terkenal adalah "kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada disini selama 300 lagi." karena itu, ia sangat menentang usaha-usaha pergerakan nasionalis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada masanya, isu ergerakan nasional sangat dilarang termasuk melarang penerbitan yang bermuatan himbauan untuk merdeka.
Pada masa itu, yang termasuk bangsawan adalah warga keturunan Eropa. Seperti salah satu tokoh cerita dalam novel ini. Sebuah keluarga, sang kepala keluarga bernama Ibrahim Rijkard. Seorang laki-laki tampan berdarah Eropa. Kakeknya, Franc Rijkaard menikah dengan perempuan Arab-Betawi yang bernama Aisyah. Ibrahim, yang kemudian dipanggil Bram berprofesi sebagai pedagang. Istrinya bernama Hilalliah binti Hasan, seorang perempuan cantik putri saudagar dan tuan tanah kaya keturunan Batavia-Arab. Dari pasangan ini, lahirlah dua putri yang juga mewarisi ketampanan dan kecantikan kedua orangtuanya. Putri pertama bernama Kirana, sedangkan putri kedua bernama Kirani. Mereka bukanlah anak kembar, walau nama mereka agak mirip. Sifat mereka berdua juga sama sekali berbeda. Sang kakak, Kirana, mewarisi sifat ibunya yang lembut dan kebaikan budi, sementara sang adik, Kirani mewarisi sifat ayah, keras dan gemar berdebat.
Pada masa itu, sangatlah lazim bila bangsawan mengadakan acara, maka ia mengundang kolega maupun sahabat untuk meramaikan acara tersebut. Disamping untuk meramaikan, hal itu penting untuk melanggengkan hubungan antarbangsawan yang satu dengan yang lainnya. Suatu ketika, putri Herman Speelman-seorang pejabat tinggi Hindia Belanda-, mengadakan acara ulang tahun. Putrinya bernama, Anastasia Speelman. Ia mengundang dalam pesta ulangtahunnya yang ke-17 pada anak muda-mudi Batavia.
Pesta ulangtahun itu menjadi biasa saja jika hanya datang, mengucapkan selamat ulangtahun, makan hidangan, dan pulang. Namun, tidak seperti itu. Semua orang yang diundang, sangat ramai membicarakannya. Pesta-pesta seperti begitu merupakan ajang untuk menampilkan mode fashion yang termutakhir. Hal itu juga dilakukan oleh Hilalliah. Demi mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kedua putrinya yang diundang, ia mengumpulkan dan berburu majalah mode terbitan Eropa untuk menginspirasinya mendandani kedua putrinya. Kirani sebenarnya tidak suka dandanan yang rumit-rumit. Baginya lebih menarik berdiskusi masalah pergerakan kemerdekaan nasional yang digagas bersama teman-temannya seperti Syam, Tomo, Husein, Poltak. Namun, demi menghormati sang Ibu, ia pun menurutinya.
Seorang dokter muda yang baru saja lulus dari universitas di belanda, turut menghadiri pesta ulangtahun itu. Namanya Hans van Deventer. Ia adalah lulusan terbaik, dan diutus bertugas di Batavia. Kedua kakak beradik Kirana dan Kirani berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Seperti biasa, meja makan tidak menjadi hambatan bagi mata untuk berkeliling-keliling. Sang dokter sangat terkesan dengan Kirani, yang dimatanya ia melihat sosok Kirani yang luwes, periang, dan cerdas. Sementara itu,Kirana terpesona dengan ketampanan sang Dokter, yang menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis Batavia.
Disinilah awal mula cerita itu. Kesan yang sudah tertanam di masing-masing hati anak muda itu mungkin terlalu dalam tertanam, sehingga sukarlah untuk mengeluarkannya kembali dengan utuh. Kirana pulang menceritakan dengan ibunya tentang pria yang dilihatnya, apakah persaan yang begitu senangnya sampai tak bisa melukiskan dengan kata-kata? Ibu mereka mengira Kirana sudahlah jatuh cinta pada sang dokter. Namun, siapakah yang tahu dalamnya hati? kecuali si pemilik hati itu sendiri.
Singkatnya, Hans suka berdiskusi denngan Kirani berkaitan dengan urusan tulis menulis yang sangat disukai Hans. Hans pintar merangkai kata-kata menjadi puisi, sementara Kirani menyukainya. Puisi yang keluar dari pena Hans merupakan kesedihannya yang terlahir sebagai anak yang separuh eropa dan separuh pribumi. Kesedihannya akan kematian ibunya terlihat dari puisinya:
Ibu
mengapa pula engkau timpakan padaku
perkara yang mengguncang jiwa
tak mampu aku memikulnya
hatiku merana jiwaku pula
serupa badan tak bernyawa
Ibu
Kematianmu menciutkan nyaliku
tak sanggup ku berdiri
menatap dunia yang kan menertawakan
Anak yang tak pernah ber-ayah
Begitulah rangkaian peristiwa selanjutnya, dimana Hans menyampaikan isi hatinya kepada ayahnya, Philip untuk melamarkan Kirani bagi dirinya. Bukanlah sesuatu yang mudah bagi Hans untuk terbuka sejauh itu pada ayahnya karena suaatu peristiwa yang membuat hidupnya muram. Apa daya, sepertinya apa yang diutarakan bukan itu yang dimaksud, Hans meminta kepada ayanya bahwa ia berkenan pada putri Rijkaard, Kirani. Philip mengutarakan kepada Rijkard, namun bukanlah nama yang disampaikan, tapi anak perempuannya Rijkard. Rijkard menyampaikan berita itu kepada istrinya, namun istrinya mengira Kirana-lah yang dimaksud.
Ah...sayangnya hanya karena komunikasi yang malu-malu dan tidak rinci, menyebabkan prahara cinta. Sebuah paragraf singkat menggambarkan:
Bukan perjodohan yang dikehendaki, tapi isi hati.
Namun, bahayanya hati jika tidak dikonfirmasi.
Urusannya sampai mati.
Tak disangka, untuk kehiupan yag cuukup modern kala itu, persoalan kehidupan sosial di Batavia tidaklah membahagiakan. Disatu sisi, ternyata dibalik gemerlapnya kehidupan bangsawan kala itu, tersimpan kisah yang memilukan. Hal tersebut sepertinya tidak akan berbeda dengan kehidupan sekarang ini. Bila dimana tidak ada komunikasi dan penyampaian maksud dengan baik, maka bersiaplah pada suatu penyesalan.
Bagaimana kehidupan Kirani dan Kirana selanjutnya?
Apakah Hans memeroleh belahan hatinya
Apakah kebahagiaan itu hanyalah milik mereka yang berpunya?
Apakah ada persahabatan yang tulus?
Apakah percintaan yang sejati selalu ada di cerita negeri dongeng?
Saya menjadi teringat akan suatu kalimat, seperti begini:
Banyak persahabatan yang berakhir pada percintaan, namun jarang percintaan yang berakhir pada persahabatan.
Novel ini bercerita tentang kehidupan sosial para pembesar di Batavia zaman dulu (1936). Penulis novel ini sepertinya membaca cukup banyak referensi untuk menambahkan fakta-fakta ilmiah dalam novel ini, antara lain seperti keberadaan kawasan Menteng, Lapangan banteng, Pasar Gambir, Pasar Baru, Kebon sirih, dan tempat-tempat utama di pusat kota Batavia. Selain itu ditambahkan beberapa keterangan mengenai tokoh-tokoh yang memang hidup pada zaman itu beserta sumber datanya. Kebanyakan bersumber dari wikipedia Indonesia. Pada awal novel ini, cukup banyak informasi ilmiah mengenai Batavia, namun sayangnya, tidak Widya Harun tidak menerangkan suasana di sekitar Medan Merdeka, Jalan Veteran, dan Harmoni.
Awalnya saya mengira novel ini adalah fiksi sejarah murni, namun sayangnya informasi yang diperoleh dari novel ini sangat jauh dari harapan saya. Kesan yang saya tangkap, jalan cerita agak 'maksa' dengan memunculkan seolah nama kembar, Kirana dan Kirani. Apakah hal ini sudah hadil modifikasian yang terinspirasi kisah nyata, saya juga tidak tahu.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu adalah banyak salah ketik kata. Hal itu memang tidak membuat kenyamanan membaca terganggu sangat, namun spertinya Editor luput memeriksa secara seksama atas kesalahan ini.
Akhirnya, cukuplah tiga bintang untuk novel ini. Saya berharap masih ada novel sejarah (yang berbau Batavia) yang lebih lengkap lagi.
@HWS130510
0 komentar