Globuckisasi

Jumat, Mei 06, 2011

Penulis: Rahayu Kusasi
Paperback, 147 pages
Published July 2010 by Kepik Ungu
ISBN13: 9786029576603

Buku ini ditulis dari sudut padang antropologi, dimana kebudayaan Amerika yang dihadirkan lewat sebuah toko kopi yang bernama Starbuck. Rahayu mengistilahkan dengan Otoetnografi, adalah sebuah cara yang mampu merekam proses-proses globalisasi dalam bentuk yang hidup, menyehari, dan bergerak (h.41). Penelitian yang dilakukan Rahayu merupakan upaya untuk memahami bentuk kebudayan asing yang datang dari Amerika dalam interaksinya dengannya (penulis) sebagai warga Indonesia (h.40).

Yang terbayang di benak kita bila mendengar kata globalisasi adalah perdagangan bebas, saluran informasi dan komunikasi yang menjangkau seluruh dunia, masuk produk-produk asing. Sederhananya, jika kita makan KFC atau McDonald, memakai sabun Lux, menggunakan televisi Sony, memotret dengan Canon EOS, tukar-menukar pin Blackberry, mengenakan sepatu Nike, itu adalah dampak globalisasi.



Rahayu mengamati dari dalam proses globalisasi tersebut. Ia pernah menjadi seorang barista di kedai kopi Starbuck. Ia menyaksikan pertemuan kebudayaan Amerika dengan kebudayaan lokal. Ia mengumpamakan seperti Barat melihat Bali, maka ia sebagai orang Timur yang melihat Barat. Ia menambahkan, bila Indonesia melihat Barat, tidak seutuhnya melihat dalam kacamata turis, tapi masih ada inferior. Mungkin karena Indonesia pernah merasakan penjajahan.

Sebelumnya, kita dibawa dulu berkenalan dengan logo Starbuck. Perkembangan logo Starbuck dari masa ke masa saya dapatkan di situs ini

Jerry Baldwin dan Gordon Bowker adalah pelanggan kopi yang membisniskan Starbuck. Gordon berkonsultasi dengan Teman mereka, Terry Heckler untuk merancang nama serta logo kedai kopinya. Nama Starbuck berawal dari kata Starbo. Starbo adalah nama kamp pertambangan tua di Gunung Rainier. Starbuck adalah kelasi kelas satu di cerita Moby Dick. Tradisi berlayar dan berdagang kopi identik dengan pelaut. Sedangkan logo Starbuck didapat Terry setelah membaca buku-buku kelautan kuno, ia menemukan ukiran tua abad ke-16, yaitu ikan duyung berekor dua, atau wanita penggoda dalam mitologi Yunani yang bernama Siren. Siren dianggap seperti ikan duyung, tetapi terlihat seperti melusine, makhluk air dalam dongeng Eropa, karena memiliki dua buntut (h.21).

Kita juga penasaran, apa sebenarnya isi kedai kopi Starcbuck? Rahayu menuliskan bahwa isi dapur Starbuck itu semuanya impor. Susu dan air yang tidak diimpor, itupun dengan standar yang tinggi. Sebab, kualitas air berpengaruh pada rasa kopi. Cukup mengagetkan ketika tahu apa saja barang impor tersebut: Cairan pembersih lantai, sabun cuci piring, pembersih kerak kopi, produk untuk melunturkan kotoran, desinfektan untuk permukaan besi, sanitizer, glass cleaner . Itu masih "supporting tools". Belum ke bahan-bahan utamanya, yaitu kopinya sendiri. Tidak dituliskan darimana saja asal kopi-kopi tersebut. Yang jelas, masing-masing kopi memiliki kekhasan tersendiri. Kopi Arabica, Kopi Afrika, Kopi Sumatra, Kopi Brazil diracik sedemikian rupa agar menjadi segelas kopi mantap.

Rahayu menceritakan bagaimana kehidupannya ketika menjadi barista. Permasalah yang kerap muncul di kalangan pembeli adalah konsep penjualan kopi di Starbuck adalah self service. Artinya, setelah pelanggan menyampaikan apa pesanannya, ia harus menunggu di pick up bar kopi pesanannya. Seringkali, pelanggan hanya memesan langsung ke meja, berpikir kalau kopi pesanan mereka akan diantar ke meja. Selain itu, ia menceritakan bahwa Barista lihai memiliki indra keenam sejauh apa kopi tersebut mencapai suhu optimum ketika disajikan. Sebab, jika disajikan di atas atau di bawah suhu standar, rasa kopi tersebut tidak seperti yang seharusnya.

Hingga akhir buku ini, saya tidak tahu mengapa harga kopi Starbuck relatif mahal. Ternyata orang bule sendiri mengeluhkan kemahalan kopi starbuck tersebut. Untuk kopi sejenis Caffee latte saja sekitar Rp20.000-an atau $2. Saya berpikir, itu berarti tinggal masalah selera dan daya beli. Mungkin hampir mirip dengan para perokok. Mereka tidak memedulikan harga rokok yang terus naik, mereka tetap membeli karena sudah kecanduan. Kalau pun ingin menghemat tinggal ganti merk saja. Begitu juga dengan kopi. Derajat kenikmatan sebenarnya ada di masing-masing penikmat kopi. Hitung-hitungan gobloknya, bila segelas kopi paling murah di starbuck seharga Rp20.000, Anda bisa memilih satu sachet N**C*F* seharga seribu perak untuk segelas kopi. Anda menghemat Rp19.000. Jika dalam setahun ada sekitar 200 hari kerja (asumsi satu hari kerja satu gelas kopi), berarti ada penghematan sebesar 19000x200=3.800.000 setahun. Kalau dibelikan buku dengan uang segitu banyak, udah berapa tuh? ;)

Rosana menutup kisah sehariannya sebagai barista:
"saya tahu saya merasa inferior di hadapan ikon kebudayaan Amerika, tetapi secara tidak sadar kita selalu melawan penyeragaman di bawah satu bendera kebudayaan tersebut. Kecanggungan kita di depan counter menatap deretan nama produk yang begitu asing, panggilan bawah sadar kita untuk mengkombinasikan latte dengan pisang goreng, mata kita yang menerawang  Starbuks sebagai tontonan nyeni-membalas pandangan barat yang melihat kita sebagai objek eksotik-memperlihatkan terjadinya dialog, bukan monolog.
Seenak atau senikmat apapun kopi Starbuck, mungkin satu hal yang tidak dapat disajikan oleh Barista, yaitu kopi yang disajikan dengan cinta. ;)


@hws05052011

You Might Also Like

0 komentar