Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi
Senin, Februari 06, 2012
Judul: Pramoedya Ananta Toer Luruh Dalam Ideologi
Judul Asli: From Culture to Politics: The Writing of Pramoedya A. Toer 1950-1965
Penulis: Savitri Scherer
Pengantar: Ajip Rosidi
Editor: Antariksa
Penerjemah: Dalih Sembiring, Astrid Reza, Abmi Handayani,
Desain Sampul: Hartanto 'Kebo" Utomo
Desain Isi: Sarifudin
Tebal: xviii + 190 hlm; 14 x 21 cm
Penerbit: Komunitas Bambu, Januari 2012
ISBN: 978-602-9402-02-5
Buku ini adalah disertasi Savitri di Australian National University (ANU) Tahun 1981. Tiga puluh tahun setelah tesis ini terbit, barulah tesis tersebut keluar dari ranah akademis menuju ke pembaca umum. Menarik sekali bila mengingat bahwa Pram pada saat tersebut masih diawasi oleh Pemerintah Orde Baru karena Pram menyebarkan paham Marxisme-Leninisme lewat tulisan-tulisannya. Saat itu, tidak ada yang berani mengkritisi pemerintah, terutama tidak ada yang mengkritisi apa yang salah dengan karya-karya Pram, tindakan pemberangusan buku-buku berbau kiri oleh Kejaksaan Agung seolah dibenarkan, tanpa pernah mengkritisi dulu apa isinya Namun, tulisan tak pernah mati. Ia menyuarakan peristiwa-peristiwa tersembunyi tanpa mengenal rasa takut.
Hampir seluruh karya fiksi Pram merupakan kisah nyata yang diambil dari sekitar orang-orang Pram. Inilah upaya Savitri untuk merekonstruksi kehidupan sekitar 1950-1965 melalui karya-karya Pram. Tesis ini terbit sebelum selesainya tetratologi Pulau Buru, karena itu Savitri hanya membatasi periode karya Pram hingga sampai Bumi Manusia.
Jika meresensi buku adalah suatu kegiatan memberi apresiasi atau kritik pada suatu buku, maka apa yang dilakukan Savitri melalui buku ini lebih dari itu, ia menggali konteks kehidupan Pram melalui peristiwa sejarah dan karya-karyanya serta menyusun keping-keping sejarah tersebut. Tentu hal ini bukan hal yang mudah, mengingat karya-karya Pram pastinya sulit diperoleh di Indonesia akibat tindakan semena-mena Kejaksaan Agung yang membredel karya Pram. Bayangkan, sebuah mikrofilm berisikan cuplikan cerita Gadis Pantai, didokumentasikan oleh ANU, dan tidak ada satupun salinannya di Indonesia. Sungguh suatu penyelamatan aset bangsa yang luar biasa. Karena itu, siapa yang tidak kagum dengan HB Jassin, yang dengan inisiatifnya mengumpulkan dan mendokumentasikan karya sastrawan Indonesia dengan biaya sendiri. Dampaknya baru terasa sekarang, apa jadinya bila tidak ada Pusat Dokumentasi Sastra Jassin? barangkali tidak ada warisan sastra bagi generasi sekarang atau bahkan harus mencari ke seluruh perpustakaan yang ada di dunia! Savitri mengutip apa yang disampaikan Jassin pada pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia (14 Juni 1970): sebagai pewaris budaya dunia, para penulis akan mempromosikan sifat universal kemanusiaan dan bukan kecenderungan-kecenderungan budaya tertentu yang terbatas hanya pada satu bangsa.
Bahasan mengenai universalisme tersebut diulas oleh Savitri dalam Bab "Polemik Sastra". Dari bahasan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ada 'pertentangan' antara kelompok kritikus sastra yang menamakan dirinya Gelanggang serta lembaga kebudayaan bentukan PKI: Lekra. Kelompok Gelanggang umumnya terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi dan pemikirannya berorientasi ke barat, sementara Lekra sebaliknya, terdiri dari orang yang tidak berkecukupan dan tulisan-tulisannya mencerminkan kebudayaan lokal. Savitri mencatat, Lekra sering dituding menggunakan pendekatan yang "tidak sehat", "tidak ilmiah," "aneh" atau "dogmatis." Sementara pada umumnya, para penulis Lekra mengambil nilai budaya lokal. Selain itu, pendidikan umum Penulis Lekra 'kurang' dan kemampuan bahasa asing mereka minim dibanding para penulis Gelanggang.
Pram sendiri menolak keindahan bersastra. Ia berpendapat bahwa sastra itu ditulis untuk mencapai tujuan yang diharapkan, bagaimana nanti karya sastra itu ditafsirkan atau dimaknai, itu di luar kendali si penulis. Karena itu ia menolak kritik sastra "formalis" yang cuma berkutat pada keseimbangan estetika bentuk dan struktur suatu karya. "Keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, dan idealisme lebih penting bagi manusia ketimbang keindahan." Dan Pram mengalami sendiri karyanya dikritik, misalnya oleh Balfas pada cerita Ketjapi (1965). Balfas mengkritik pengisahan cerita tersebut terlalu sentimentil.
Saya sendiri menyambut baik keberadaan buku ini terlepas dari masih banyak karya-karya Pram yang belum saya baca, dan saya masih belum memiliki pengetahuan yang memadai dalam dunia sastra Indonesia baik dari sisi teknis maupun dari sisi sejarah, namun menurut saya dengan membaca buku ini sangat baik untuk menambah pemahaman akan bagaimana cara meresensi dengan mengaitkannya dengan konteks sejarah. Satu hal yang mungkin membuat kegelisahan Pram adalah pada generasi sekarang minimnya cinta akan tanah air, termasuk mencintai karya sastra Indonesia? Apalagi tidak ada suatu rehabilitasi dari Pemerintah akibat pemusnahan karya-karya Pram, akibatnya berapa banyak generasi sekarang yang tahu tentang Minke? Meski belum semua karya Pram yang belum dikaji di buku ini, barangkali buku-buku lain akan melengkapi apa pemikiran dan konteks yang terjadi saat itu. Karya ilmiah seperti yang dibuat Savitri ini adalah suatu warisan yang sangat berharga. Saya yakin masih banyak tesis lain yang dibuat oleh mahasiswa baik di Indonesia maupun luar Indonesia, tentang karya sastrawan Indonesia, hendaknya diterbitkan dalam bentuk buku yang dapat dimengerti orang awam, supaya generasi sekarang dapat mengenal Indonesia lewat pemikiran tokoh sastra Indonesia.
------------------------------------------------------------
Savitri Scherer alumnus Cornell University (master sejarah) dan Australian National University (doktor sastra). Sebelumnya telah menulis Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Abad XX (Sinar Harapan, 1985). Sejak 1984 dia menjadi koresponden Kompas di Australia, dan kemudian di Prancis. Di sana dia bergabung sebagai peneliti dalam kelompok Archipel, jurnal kajian Indonesia di bawah EFEO (Ecole francaise d’Extreme-Orient), Paris. Sekarang ia tinggal bersama suaminya di Prancis .
PS. Review ini dibuat dalam rangka ulangtahun Pram: 6 Februari 1925-6 Februari 2012
Helvry | 6 Februari 2012
Judul Asli: From Culture to Politics: The Writing of Pramoedya A. Toer 1950-1965
Penulis: Savitri Scherer
Pengantar: Ajip Rosidi
Editor: Antariksa
Penerjemah: Dalih Sembiring, Astrid Reza, Abmi Handayani,
Desain Sampul: Hartanto 'Kebo" Utomo
Desain Isi: Sarifudin
Tebal: xviii + 190 hlm; 14 x 21 cm
Penerbit: Komunitas Bambu, Januari 2012
ISBN: 978-602-9402-02-5
Buku ini adalah disertasi Savitri di Australian National University (ANU) Tahun 1981. Tiga puluh tahun setelah tesis ini terbit, barulah tesis tersebut keluar dari ranah akademis menuju ke pembaca umum. Menarik sekali bila mengingat bahwa Pram pada saat tersebut masih diawasi oleh Pemerintah Orde Baru karena Pram menyebarkan paham Marxisme-Leninisme lewat tulisan-tulisannya. Saat itu, tidak ada yang berani mengkritisi pemerintah, terutama tidak ada yang mengkritisi apa yang salah dengan karya-karya Pram, tindakan pemberangusan buku-buku berbau kiri oleh Kejaksaan Agung seolah dibenarkan, tanpa pernah mengkritisi dulu apa isinya Namun, tulisan tak pernah mati. Ia menyuarakan peristiwa-peristiwa tersembunyi tanpa mengenal rasa takut.
Hampir seluruh karya fiksi Pram merupakan kisah nyata yang diambil dari sekitar orang-orang Pram. Inilah upaya Savitri untuk merekonstruksi kehidupan sekitar 1950-1965 melalui karya-karya Pram. Tesis ini terbit sebelum selesainya tetratologi Pulau Buru, karena itu Savitri hanya membatasi periode karya Pram hingga sampai Bumi Manusia.
Jika meresensi buku adalah suatu kegiatan memberi apresiasi atau kritik pada suatu buku, maka apa yang dilakukan Savitri melalui buku ini lebih dari itu, ia menggali konteks kehidupan Pram melalui peristiwa sejarah dan karya-karyanya serta menyusun keping-keping sejarah tersebut. Tentu hal ini bukan hal yang mudah, mengingat karya-karya Pram pastinya sulit diperoleh di Indonesia akibat tindakan semena-mena Kejaksaan Agung yang membredel karya Pram. Bayangkan, sebuah mikrofilm berisikan cuplikan cerita Gadis Pantai, didokumentasikan oleh ANU, dan tidak ada satupun salinannya di Indonesia. Sungguh suatu penyelamatan aset bangsa yang luar biasa. Karena itu, siapa yang tidak kagum dengan HB Jassin, yang dengan inisiatifnya mengumpulkan dan mendokumentasikan karya sastrawan Indonesia dengan biaya sendiri. Dampaknya baru terasa sekarang, apa jadinya bila tidak ada Pusat Dokumentasi Sastra Jassin? barangkali tidak ada warisan sastra bagi generasi sekarang atau bahkan harus mencari ke seluruh perpustakaan yang ada di dunia! Savitri mengutip apa yang disampaikan Jassin pada pidato penerimaan gelar Doktor Honoris Causa di Universitas Indonesia (14 Juni 1970): sebagai pewaris budaya dunia, para penulis akan mempromosikan sifat universal kemanusiaan dan bukan kecenderungan-kecenderungan budaya tertentu yang terbatas hanya pada satu bangsa.
Bahasan mengenai universalisme tersebut diulas oleh Savitri dalam Bab "Polemik Sastra". Dari bahasan tersebut, kita dapat mengetahui bahwa ada 'pertentangan' antara kelompok kritikus sastra yang menamakan dirinya Gelanggang serta lembaga kebudayaan bentukan PKI: Lekra. Kelompok Gelanggang umumnya terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi dan pemikirannya berorientasi ke barat, sementara Lekra sebaliknya, terdiri dari orang yang tidak berkecukupan dan tulisan-tulisannya mencerminkan kebudayaan lokal. Savitri mencatat, Lekra sering dituding menggunakan pendekatan yang "tidak sehat", "tidak ilmiah," "aneh" atau "dogmatis." Sementara pada umumnya, para penulis Lekra mengambil nilai budaya lokal. Selain itu, pendidikan umum Penulis Lekra 'kurang' dan kemampuan bahasa asing mereka minim dibanding para penulis Gelanggang.
Pram sendiri menolak keindahan bersastra. Ia berpendapat bahwa sastra itu ditulis untuk mencapai tujuan yang diharapkan, bagaimana nanti karya sastra itu ditafsirkan atau dimaknai, itu di luar kendali si penulis. Karena itu ia menolak kritik sastra "formalis" yang cuma berkutat pada keseimbangan estetika bentuk dan struktur suatu karya. "Keadilan, kemanusiaan, kebudayaan, dan idealisme lebih penting bagi manusia ketimbang keindahan." Dan Pram mengalami sendiri karyanya dikritik, misalnya oleh Balfas pada cerita Ketjapi (1965). Balfas mengkritik pengisahan cerita tersebut terlalu sentimentil.
Saya sendiri menyambut baik keberadaan buku ini terlepas dari masih banyak karya-karya Pram yang belum saya baca, dan saya masih belum memiliki pengetahuan yang memadai dalam dunia sastra Indonesia baik dari sisi teknis maupun dari sisi sejarah, namun menurut saya dengan membaca buku ini sangat baik untuk menambah pemahaman akan bagaimana cara meresensi dengan mengaitkannya dengan konteks sejarah. Satu hal yang mungkin membuat kegelisahan Pram adalah pada generasi sekarang minimnya cinta akan tanah air, termasuk mencintai karya sastra Indonesia? Apalagi tidak ada suatu rehabilitasi dari Pemerintah akibat pemusnahan karya-karya Pram, akibatnya berapa banyak generasi sekarang yang tahu tentang Minke? Meski belum semua karya Pram yang belum dikaji di buku ini, barangkali buku-buku lain akan melengkapi apa pemikiran dan konteks yang terjadi saat itu. Karya ilmiah seperti yang dibuat Savitri ini adalah suatu warisan yang sangat berharga. Saya yakin masih banyak tesis lain yang dibuat oleh mahasiswa baik di Indonesia maupun luar Indonesia, tentang karya sastrawan Indonesia, hendaknya diterbitkan dalam bentuk buku yang dapat dimengerti orang awam, supaya generasi sekarang dapat mengenal Indonesia lewat pemikiran tokoh sastra Indonesia.
------------------------------------------------------------
Savitri Scherer alumnus Cornell University (master sejarah) dan Australian National University (doktor sastra). Sebelumnya telah menulis Keselarasan dan Kejanggalan: Pemikiran-pemikiran Priayi Nasionalis Jawa Abad XX (Sinar Harapan, 1985). Sejak 1984 dia menjadi koresponden Kompas di Australia, dan kemudian di Prancis. Di sana dia bergabung sebagai peneliti dalam kelompok Archipel, jurnal kajian Indonesia di bawah EFEO (Ecole francaise d’Extreme-Orient), Paris. Sekarang ia tinggal bersama suaminya di Prancis .
PS. Review ini dibuat dalam rangka ulangtahun Pram: 6 Februari 1925-6 Februari 2012
Helvry | 6 Februari 2012
3 komentar
oh, ultah pram ya hari ini? aku ingat kali pertama baca buku pram: bumi manusia. langsung jatuh cinta! agak sulit ketika itu menemukan pram. pinjam dari teman ke teman. begitu dicetak langsung beli empat2nya :)
BalasHapusPak Pram sekarang tinggal dimana yaa? Uda balik ke Indonesia belum
BalasHapus@dhenok: iyah mbak...saya malah belum selesai pulau burunya :c
BalasHapus@Okky: semoga menemukan jalan yang benar :o