Seri Buku TEMPO: Prahara Orde Baru WIJI THUKUL
Rabu, Juli 23, 2014“Jika kau menghamba kepada ketakutan, kita memperpanjang barisan perbudakan” (Wiji Thukul).
Inilah kekuatan kata-kata. Ia mencipta sekaligus memberi kehidupan. Betapa sebuah bedil pun tak kuasa melawan kata-kata. Karena itu, si penghasil kata-kata tersebutlah yang harus dihentikan. Wiji Thukul, seorang penyair pada masa hidupnya “melawan” pemerintah orde baru dengan bait-bait puisinya. Ia termasuk orang hilang yang tidak tahu dimana rimbanya hingga saat ini. Tim Mawar Kopassus yang melakukan penculikan aktivis seperti Wiji Thukul dan bersama 12 orang lainnya, sudah dihukum. Namun, tidak ada penjelasan, dimana Wiji Thukul (saat ini)? Sejak 1998, mereka sudah hilang selama 16 tahun.
Judul :Seri Buku TEMPO: Prahara Orde Baru WIJI THUKUL
Pengarang :TEMPO
ISBN :9789799105929
Ukuran :230 x 160 mm
Halaman :172 halaman
Penerbit :KPG
Kriteria Tempo dalam menuliskan laporan khusus tentang Thukul sangat luar biasa:
bahwa Thukul bukan penyair terbaik yang dimiliki Indonesia, tetapi kekuatan sajaknya pernah membuat ketakutan rezim, dan kematiannya masih misteri hingga kini.
Pada tulisan Kewarganegaraan dalam Republikanisme di Buku Pengantar Sosiologi Kewarganegaraan (Marjin Kiri, 2014), Robertus Robet dan Hendrik Boli Tobi menuliskan bahwa makna Republik dalam "Republik Indonesia" tidak lagi dimaknai dalam substansi etis-normatifnya. Hal ini disebabkan politik zaman kini dipraktikkan sebagai pengejaran kepentingan invidual dan golongan. Politik tidak lagi dimengerti sebagai kerangka kebersamaan untuk mencapai kebaikan bersama-atau kemaslahatan umum dalam istilah Mohammad Hatta. Kemerosotan makna politik juga terjadi dengan menguatnya komodifikasi dan personalisasi kekuasaan. Komodifikasi politik menghancurkan peran ide, prinsip dan pendasaran etis dalam cara kita mengatur kehidupan bersama (h.150). Inilah (seharusnya) yang menjadi kegelisahan kita. Bahwa politik telah "dikotori" dengan kepentingan individu. Proses berdemokrasi negara kitapun masih jauh dari matang. Malah dalam perjalanannya, konsep pemerintah rakyat banyak mengorbankan rakyat itu sendiri.
Wiji Thukul. Ia adalah salah satu dari sekian ribu rakyat Indonesia yang menjadi korban tumbuhnya demokrasi di Indonesia. Penyair asal Solo ini sudah berpamit dengan istrinya sejak tahun 1996 dan hingga selesainya orde baru, Wiji Thukul tidak ditemukan. Membaca liputan khusus Tempo tentang Wiji Thukul ini membuat saya berpikir serta menerawang pada masa-masa 1996-1998. Saat itu saya masih bersekolah menengah pertama. Berita-berita tentang kerusuhan penggulingan Ketua Umum PDI (saat itu Megawati) ke Soeryadi, saya dapatkan dari koran Waspada maupun Televisi (Republik Indonesia). Berita-berita pada masa itu tidak dapat dikonfirmasi, sebab website maupun tidak seramai sekarang. Sepertinya, 1996-1998 merupakan periode dimana perjuangan rakyat melawan penguasa yang tidak peduli pada kemaslahatan umum.
Saat pendeklarasian Partai Rakyat Demokratik, Jakarta, 22 Juli 1996 |
Wiji Thukul pada akhir 1980-an |
Rumah yang sempat ditinggali Wiji Thukul, di Kompleks Korpri Sungai Raya Dalam, |
Wiji Thukul dalam sebuah pementasan puisi di Jakarta, 1990an |
Cerita menarik tentang buku oleh Wiji Thukul ialah ia sangat marah bila buku dijadikan alas dan ketika matanya dioperasi oleh dokter di RS Mata Dr Yap Yogyakarta, dokternya menolak dibayar oleh Thukul. Namun Thukul bersama istrinya pergi ke toko buku Gramedia Jalan Solo, membeli buku Dari Negeri Poci II untuk dihadiahkan kepada Sang dokter yang baik hati itu.
Wiji Thukul bersama Arief Budiman akhir 1990an |
Sajak-sajak Thukul sangat lugas. Puisinya tidak berisikan kalimat-kalimat puitis. Lewat puisinya, pembaca disuguhi semacam laporan. Laporan yang menggambarkan kondisi sosial politik Indonesia yang penuh kekerasan.
Para Jendral marah-marah
Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi.
Tapi aku tidur.
Istriku yang menonton. Istrku kaget.
Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku.
Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya
Dengan mata masih lengket aku bertanya:
mengapa? Hanya beberapa patah kata ke luar dari mulutnya:
"Namamu di televisi...." Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jenderal itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak.
Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang celana.
Setelah menjemur handuk aku ke dapur.
Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal mati suaminya itu, telah meletakkan gelas berisi teh manis.
Seperti biasanya ia meletakka di sudut meja kayu anjang itu, dalam posisi yang gampang diambil.
Istriku sudah mandi pula. Ketika berpapasan dengan kembali kalimat itu meluncur.
"Namamu di televisi...." ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu daripada aku.
Apa Penguasa Kira
apa penguasa kira
rakyat hidup di hari ini saja
apa penguasa kira
ingatan bisa dikubur
dan dibendung dengan moncong tank
apa penguasa kira
selamanya ia berkuasa
tidak!
tuntutan kita akan lebih panjang umur
ketimbang usia penguasa
derita rakyat selalu lebih tua
walau penguasa baru naik
mengganti penguasa lama
umur derita rakyat
panjangnya sepanjang umur
peradaban
umur penguasa mana
pernah melebihi tuanya umur batu akik
yang dimuntahkan ledakan gunung berapi?
ingatan rakyat serupa bangunan candi
kekejaman penguasa setiap zaman
terbaca di setiap sudut dan sisi yang menjulang tinggi
Sajak Suara
sesungguhnya suara itu tak bisa diredam
mulut bisa dibungkam
namun siapa mampu menghentikan nyanyian bimbang
dan pertanyaan-pertanyaan dari lidah jiwaku
suara-suara itu tak bisa dipenjarakan
di sana bersemayam kemerdekaan
apabila engkau memaksa diam
aku siapkan untukmu:
pemberontakan!
Sesungguhnya suara itu bukan perampok
yang ingin merayah hartamu
ia ingin bicara
mengapa kau kokang senjata
dan gemetar ketika suara-suara itu menuntut keadilan?
Sesungguhnya, suara itu akan menjadi kata
ialah yang mengajari aku bertanya
dan pada akhirnya tidak bisa tidak
engkau harus menjawabnya
apabila engkau tetap bertahan
aku akan memburumu seperti kutukan!
Puisi berikut adalah cerita tentang pelariannya. Di tengah persembunyiannya ia masih produktif menulis sajak. Membaca puisi ini seperti tersenyum menertawakan keadaan, namun sesungguhnya miris.
Kado untuk Pengantin Baru
pengantin baru
ini ada kado untukmu
seorang penyair
yang diburu-buru
maaf aku mengganggu
malam bulan madumu
aku minta kamar satu
untuk membaringkan badanku
pengantin baru
ini datang lagi tamu
seorang penyair
yang dikejar-kejar serdadu
memang tak ada kenikmatan
di negeri tanpa kemerdekaan
selamanya tak akan ada kemerdekaan
jika berbeda pendapat menjadi hantu
pengantin baru
ini ada kadi untukmu
seorang penyair yang dikejar-kejar
serdadu
Membayangkan kata-kata maklumat umumnya dikeluarkan oleh pemerintah, penguasa, atau pimpinan militer, puisi Maklumat Penyair ini sangat menggambarkan bahwa manusia pada hakikatnya tidak dapat menundukkan pikiran dan kata-kata penyair. Suatu perlawanan luar biasa, bahwa meski secara fisik diintimidasi, hal itu tidak mampu menundukkan keberanian.
Maklumat Penyair
pernah bibir pecah ditinju tulang rusuk
tulang rusuk jadi mainan tumit sepatu
tapi tak bisa mereka meremuk: kata-kataku!
seperti rampok
mereka geledah aku
darah tetes di baju
tapi tak bisa mereka
rebut senjataku: kata-kataku!
ketika aku diseret
diancam penjara
si kerdil yang bernama ketakutan
kutendang keluar
dan kuserukan maklumat
"kalian bisa bikin tubuhku lebam membiru
tapi tak bisa kalian padamkan
marahnya kepalan kata-kataku!"
Inilah luapan penyair tentang kebebasan, perlawanan terhadap ketidakmerdekaan. Untuk putri sulungnya, Wani ia berpesan bahwa hidup harus berani diperjuangkan.
Wani, Bapakmu Harus Pergi
Wani,
bapakmu harus pergi
kalau teman-temanmu tanya
kenapa bapakmu dicari-cari polisi
jawab saja:
"karena bapakku orang berani"
kalau nanti ibu didatangi polisi
menangislah sekuatmu
biar tetangga kanan kiri datang
dan mengira ada pencuri masuk rumah kita
Peristiwa 27 Juli 1996, akan menjelang 18 tahun. Peringatan akan peristiwa tersebut seharusnya menjadi catatan sejarah pemimpin baru negeri ini, bahwa dulu pernah ada pemerintah yang tidak melindungi warga negaranya. Pelaku dan orang-orang yang terlibat masih ada hingga sekarang. Belum pernah ada rekonsiliasi dan proses hukum yang memberi rasa keadilan pada rakyat yang dirugikan.
Akhirnya, pada siapa harapan itu disematkan? menghadirkan kembali ingatan masa lalu seraya saling memberi maaf?
atau menunggu kedatangan Mesias?
Bandung, 23 Juli 2014
@helvrysinaga
sumber foto: Majalah Tempo Edisi Khusus Wiji Thukul
artikel:
http://komunitassastra.wordpress.com/2010/09/08/memoar-halim-h/
http://www.tamanismailmarzuki.co.id/tokoh/halim.html
http://eprints.uns.ac.id/8276/1/136100908201001001.pdf
http://jofania.wordpress.com/2013/05/24/bongkar-aku-ingin-jadi-peluru/
0 komentar