Corat-coret di toilet dan cerita-cerita lainnya by Eka Kurniawan
Selasa, Oktober 28, 2014
Sepertinya salah satu "ice breaker" kebuntuan dalam membaca buku bagi saya adalah membaca cerita pendek. Setelah sudah berbagai buku yang tidak selesai saya baca, saya memutuskan membaca kumpulan cerpen karangan Eka Kurniawan ini sebagai pembuka kembali kegiatan membaca saya yang sudah lama vakum. Sebagai informasi, buku ini saya peroleh dari kegiatan lelang BBI dengan nama proyeknya BBI for charity. Bisa dibilang, jika tidak ada program lelang ini, saya belum berkenalan dengan karya-karya Eka Kurniawan.
Corat-coret di Toilet dan cerita-cerita lainnya
Pengarang: Eka Kurniawan
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
April 2014
Satu hal yang menjadi kegagalan membaca cerpen menurut saya adalah kegagalan dalam menangkap persoalan-persoalan yang diutarakan pengarangnya. Pembaca sering hanya berfokus pada jalan cerita, diksi, dan akhir cerita. Namun gagal melihat konteks persoalan masyarakat, kehidupan sosial, persoalan emansipasi dan pendidikan. Cerpen bukan seperti berita surat kabar yang lugas memberi data dan fakta tentang kejadian-kejadian, namun dibutuhkan pembacaan yang seksama serta jam baca yang konsisten. Apalagi, kecenderungan bahwa cerpen lahirnya di media massa seperti koran dan majalah. Bahwa buku-buku kumpulan cerpen yang diterbitkan umumnya merupakan karangan yang pernah diterbitkan di media cetak. Hal itu menunjukkan bahwa cerpen yang 'beruntung' dinikmati pembaca merupakan lulus uji kualifikasi oleh editor cerpen surat kabar. Namun bukan berarti cerpen yang tidak diterbitkan surat kabar adalah cerpen tidak bermutu.
Saya sendiri termasuk penikmat cerpen minggu. Satu hal yang kurang dalam tiap buku kumpulan cerpen adalah seringkali tidak adanya gambar ilustrasi cerpen. Padahal, di halaman cerpen di koran minggu, gambar-gambar tersebut selalu ada. Saya menikmati pembacaan cerpen yang dilengkapi dengan gambar ilustrasi. Suatu kepuasan tersendiri dapat menangkap tema cerpen dalam gambar ilustrasinya. Sekian banyak pengarang menerbitkan antologi cerpennya, mengapa tidak disertakan gambar ilustrasinya? #tanyakenapa.
Maman S. Mahayana dalam bukunya Bermain dengan Cerpen menyatakan bahwa cerpen-cerpen pada masa dulu memang sudah lahir di surat kabar. Dilihat dari struktur ceritanya, sudah merupakan karya modern. Selain mengangkat cerita antah berantah, cerpen pada masa dulu juga membicarakan tema sosial; masalah pernyaian, tragedi kehidupan rumah tangga, percintaan dan peristiwa yang menjadi berita aktual. Untuk hal terakhir, cerpen yang memuat berita aktual menjadi nilai jual media itu. (hlm.16)
Pada cerita Peter Pan, sosok tokoh yang diceritakan adalah penggila buku yang suka menulis puisi. Syair-syairnya membuat merah telinga penguasa. Aktivitas organisasi membuat Peter Pan tidak menyelesaikan kuliahnya. Bahkan secara aktif ikut membuat selebaran-selebaran yang berisi hasutan dan referensi politik. Entah siapa yang dimaksud Eka dengan Peter Pan ini. Yang jelas, peristiwa pengejaran, penangkapan, dan penghilangan aktivis pada masa orde baru, itu benar-benar terjadi. Dengan kata-kata kunci yang tersedia: puisi, bersembunyi, hilang, mengarahkan pada sosok Wiji Thukul.
Dongeng sebelum bercinta, menggambarkan situasi masyarakat yang masih ketat dengan nilai tradisi. Menjodohkan anak dengan keluarga dekat orang tua dianggap pilihan yang tepat untuk membentuk keluarga yang selaras dan bahagia. Pertanyaannya adalah apakah esensi pernikahan itu? tradisi timur yang menarik adalah pernikahan adalah sebuah perayaan semakin besarnya keluarga. Permasalahan muncul ketika situasi berpautnya hati ternyata bukan masalah sederhana.
Corat-coret di toilet. Ini merupakan pengalaman sehari-hari, dimana dinding toilet sering menjadi media komunikasi. Saya pernah melihat sebuah larangan di toilet: Dilarang membuang apapun ke dalam kloset, yang dikomentari dengan sebuah kalimat: trus saya pipis dimana? Pada toilet yang lebih hardcore, sering adal iklan "pemuas istri" dan "pembesar alat vital" yang diikuti dengan nomor telepon. Atau puisi-puisi patah hati dan jatuh cinta yang dituliskan dengan bolpoin/spidol. Eka Kurniawan melihat bahwa toilet adalah tempat perjumpaan manusia dengan manusia lainnya yang ditandai dengan berkomunikasi di dinding toilet. Semua tak saling mengenal namun berjumpa dalam aktivitas yang manusiawi: buang air besar/kecil.
Teman kencan. Pokoknya ini perih banget :)
Rayuan Dusta untuk Marietje. Sebuah sudut pandang dari prajurit Belanda yang merindukan kekasihnya datang. Hal yang patut diketahui, bahwa pada masa dulu orang Eropa merasa lebih elit dibanding pribumi. Karena itu mereka lebih baik menunggu istri mereka dari Eropa dibanding menikahi perempuan lokal. Ataupun menikahi perempuan lokal namun hanya dianggap gundik/nyai. Suatu cerita menarik mengetahui sudut pandang dari prajurit Belanda tentang perang di nusantara.
Orang Gila. Ini tentang situasi di Aceh pada tahun 1999. Orang tua saya sendiri merasakan bagaimana 'gawatnya' situasi saat itu. Sepertinya sudah tidak akan ada lagi negeri Aceh. Dalam cerita ini si Orang Gila di tenah hiruk pikuk perang sipil-tentara, ia sendiri berperang melawan kelaparan. Barangkali Orang Gila hanya tetap waras ketika ia lapar.
Si Cantik yang Tak Boleh Keluar Malam. Ini agak susah menjelaskan. Sebuah ironi, seorang gadis yang dilarang keluar oleh ayahnya, merasa terganggu karena teman-temannya membullynya. Sebuah proteksi yang berlebihan dari ayah ternyata membuat putri mencari kebebasan dari rumah sendiri (terutama dari ayahnya). Hal itu sampai sekarang boleh jadi masih ada. Alih-alih memperkenalkan dengan dunia luar, sering orang tua memproteksi berlebihan pada anaknya akan dunia luar yang boleh jadi tidak seseram yang dibayangkan.
Siapa Kirim Aku Bunga. Bagaimana sebuah ungkapan perasaan lewat bunga, namun diberikan oleh orang yang misterius? Sesuatu yang diberikan dengan terus menerus tanpa memberi tahu siapa pengirimnya justru membuat Kontrolir Henri merasa dimata-matai, alih-alih dikagumi atau dihargai. Eka membuat cerita tentang pengirim bunga menjadi suatu ironi kemanusiaan, dimana Henri lah yang menyebabkan orang tua si pengirim bunga yang cantik itu ke Boeven Digul.
Tertangkapnya si Bandit Kecil Pencuri Roti. Ini juga mengharukan.
Kisah dari seorang Kawan. Pada versi buku ini, ada bagian yang dipotong. Bagian utuhnya ada di buku kumpulan cerpen Gelak Sedih dan Cerita-cerita Lainnya. Tentang 'kejamnya' kehidupan di kalangan masyarakat. Hal ini masih relevan dengan kondisi sekarang dengan hadirnya toko-toko eceran bermodal kuat yang 'menggusur' kios-kios tradisional. Akhir cerita ini tragis. Namun, di versi cerita lengkapnya lebih tragis lagi.
Dewi Amor. Inti pesan yang saya tangkap: meski jatuh cinta, tetaplah menjaga kewarasan.
Kandang Babi. Cerita tentang Edi Idiot, seorang mahasiswa yang punya tempat khusus di kampus. Tempat khusus ini adalah tempat tinggalnya, tidur dan segala aktivitas. Saya yakin bahwa ada mahasiswa seperti Edi Idiot ini di kampus-kampus. Tinggal sembarangan entah dimana, suka main qiu-qiu, pelajaran kuliah menjadi prioritas nomor sekian, dan (sebenarnya) takut dengan ancaman Drop Out. Memang kehidupan mahasiswa menawarkan kebebasan. Namun dibaliknya ada tanggung jawab. Mungkin Eka ingin mengulik kebebasan yang dimiliki Edi Idiot dalam kehidupannya. Baginya, cara menikmati hidupnya adalah dengan luntang lantung, tidak memikirkan besok. Cukuplah kesenangan hari ini untuk hari ini. Sebuah akhir cerita yang menarik, ketika Edi meminjam uang dari temannya.
Yang menarik dari semua cerita ini adalah semuanya menceritakan keseharian. Keseharian yang dekat dengan kita, namun diberi ruang refleksi bagi pembaca untuk menyelami dari sudut pandang berbeda. Suatu cerita kehidupan mungkin tidak berakhir seperti cerita Chicken Soup for....Soul yang seringkali berakhir bahagia. Namun, didalamnya ada kegelisahan tentang situasi sosial masyarakat. Saya melihat bahwa cerita pendek Eka ini tidak dibebani dengan pemikiran-pemikiran filsafat rumit njelimet (meski Eka lulusan Filsafat UGM). Banyak hal yang kita lihat merupakan fenomena sehari-hari namun menyisakan persoalan. Persoalan seperti buang air besar/kecil, kehilangan sahabat, nilai-nilai keperawanan, melawan kelaparan, jatuh cinta, dan sebagainya merupakan persoalan yang manusiaw. Dan Eka cukup cerdas menyajikannya ke ruang cerita tanpa perlu banyak menasihati. Dilihat dari tahun terbitnya cerpen-cerpen ini sepertinya merupakan karya-karya awal Eka (kurun waktu 1998-2000). Namun Mamam S. Mahayana mencatat bahwa karya Eka selanjutnya Lelaki harimau (200), Cinta tak ada mati (2005), menunjukkan bahwa Eka melakukan eksperimen. Nah seperti apa eksperimennya?
Bandung, 28 Oktober 2014
Helvry
7 komentar
review yang (sangat) lengkap mas Helvry.
BalasHapusSaya setuju cerpen ini bisa sebagai hidangan pembuka buat merangsang nafsu baca. :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusReview yg menarik bang, ada beberapa review yang bikin ketawa juga :o .. Jadi pengen beli bukunya, kayanya bagus..
BalasHapusaku masih butuh belajar kepada kalian kalau ada waktu bolehlah mampir ke blokku.
BalasHapus:I
BalasHapusI saw your post all over the web and it looks great to many people comment your post because they are impress on the content which is unique and undestandable. Keep it up and more power
BalasHapusTaruhan Bola Online
siip
BalasHapus