Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI

Kamis, April 14, 2011

Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI
Penyusun: Adolf Heuken, SJ
Penerbit: Yayasan Cipta Loka Caraka (2008)
Buku ini diterbitkan dengan dukungan Hanns Seidel Foundation Jakarta.

Memori-memori tertentu tetap tinggal dalam ingatan. Itu semua bersifat pribadi dan menjadi simbol-simbol yang tidak dapat terhapus sehingga dapat membantu kita untuk memahami apa yang terjadidi masa lalu. Masing-masing kita hidup dengan sebuah arsip berisikan memori-memori tertentu. Kadang kala, kita menarik kembali wilayah itu, menyusun kembali berbagai percakapan dan masa-masa kritis, membuatnya terlihat hidup sehingga sepertinya itu semua baru saja terjadi kemarin. Dengan kata lain, kekuatan memori itu tetap terasa ada bersama kita.
(Gary M Burge dalam "Palestina Milik Siapa")

Banyak berjalan, banyak dilihat. Begitu kata pepatah. Rasanya tidak lengkap kalau ke Jakarta, tidak melalui kawasan ini. Sebab tempat inilah yang menjadi saksi bisu pasang surutnya pergolakan melawan penjajah, hingga merdeka, hingga saat ini.



Dahulunya, lokasi ini adalah pinggiran kota Batavia. Koningsplein. Itulah nama awal kawasan ini dari Tahun 1816-1942. Pusat kota dahulu berada di kawasan kota tua.
Koningsplein
Siapa sangka dahulunya kawasan ini adalah kawasan berburu harimau serta banteng, dulunya Gubernur Jenderal Maetsyuker (bertugas paling lama di Batavia selama 25 tahun yaitu dari tahun 1653-1678) suka berburu celeng, kijang, dan banteng. Selain itu, lapangan luas namun kosong dimanfaatkan untuk membuat batu bata, sehingga banyak kubangan air yang disukai oleh kerbau. Karena itu tempat ini dinamakan Buffelsveld yang berarti 'Lapangan Banteng'.
Lapangan Banteng

Sebagian besar Lapangan Buffelsveld dicatat atas nama Pendeta Cornelius Pays (1680). Pada 1743, dibangun rumah sakit (Buitenhospital) diluar kota Batavia. Rumah sakit ini didirikan diantara dua aliran Sungai Ciliwung yang sekarang ini dipakai oleh Mesjid Istiqlal. Bagian utara menjadi milik Buitenhospital untuk digunakan sebagai tempat rekreasi pasien. Pada Tahun 1802, sebagian lapangan yang dimiliki oleh (Buitenhospitaal diberikan kepada WH van Ijsseldisk supaya diratakan. Selanjutnya, Daendels membeli tanah di sekitar Buffelsveld dari WH van Ijsseldisk, dan mengelilinginya dengan jalan. Nama lapangan ini diubah menjadi Champ de Mars. Setelah Daendels membuka kawasan ini, selanjutnya Letnan Gubernur Thomas Stanford Raffles membeli rumah di daerah Rijswijk, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Veteran. Catatan tambahan Dalam buku Batavia in Nineteenth Century Photographs, Scott Merrillees menyebutkan, Raffles kemudian menjual kembali rumah itu ke pemerintah Belanda saat harus hengkang dari Jawa pada 1816. Johannes Petrus Faes, pemilik selanjutnya, mengubah bangunan itu menjadi Hotel Place Royale pada 1840. Pada 1846 barulah Hotel der Nederlanden yang terletak tak jauh dari Sungai Ciliwung (membelah Rijswijk -Noordwijk), diresmikan pada bangunan yang sama. (HWS: kutipan dari sini . Rumah dan tanah yang ia beli mulai dari Jalan Veteran hingga Jalan Veteran III (sekarang Gedung Set Wapres). Sebelumnya, JA van Braam membangun rumah besar, yang dulunya dinamakan Hotel van den Guverneur-Generaal, cikal bakal Istana Negara sekarang.
description

description
Dulunya, rumah-rumah besar orang kaya menghadap ke arah jalan utama yakni Rijswijk. Barulah perlahan-lahan daerah 'pinggiran' di Koningsplein terisi. Bisa dibayangkan, pada saat itu, satu satunya bangunan yang paling megah dan paling nyaman adalah Istana Negara sekarang, dari tempat ini orang dapat menikmati pemandangan indah ke arah lapangan luas, dan dibelakangnya sering tampak Gunung Pangrango, Gede, dan Salak, karena udara belum tercemar.

description
Apakah ini salah satu masalah orang Indonesia pada umumnya, dimana terbiasa untuk tidak merencanakan sesuatu dengan visi menyeluruh. Inilah hal yang dikritisi oleh Adolf Heuken, dimana ia menuliskan seperti ini, ...namun demikian, dari awal sampai sekarang lapangan tak pernah membentuk suatu keseluruhan dengan empat jalan di sekitarnya. Rupanya, medan ini dianggap terlalu luas. Setiap masterplan kota sejauh menynagkut Medan Merdeka tinggal fragmen, yang tidak menyatukan tiga elemen, yaitu, lapangan, jalan, dan bangunan. Biasanya hanya lapanganlah yang diutamakan. Kurang kesadaran untuk menjadikannya suatu kawasan dengan satu visi yang menyeluruh. Setiap instansi mengisi kavling-kavling masing-masing sekehendaknya, tanpa memperhatikan tetangga atau lingkungan. Maka, letak dan gaya masing-masing bangunan publik tidak berpaut satu sama lain. Cermin kesemrawutan Jakarta seluruhnya! sampai kini! (hlm 57)

Berbagai kelemahan tersebut selanjutnya ditulis per jenis bulevar yang mengelilingi lapangan ini. Seperti diketahui, bahwa ada 4 jalan besar yang mengelilinginya. Adolf Heuken mencatat sebagai berikut

a. Medan Merdeka Barat
Peralihan dari jalan yang sibuk (MH Thamrin. Pada ujung jalan ini, dihentikan oleh ruangan yang terbuka luas yakni Bundaran Bank Indonesia. Bundaran ini mengakhiri jalan MH Thamrin yang dimulai dari Bundaran Hotel Indonesia.

Bangunan yang terpenting adalah Museum Nasional. Museum didirikan oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (1778), sebuah perkumpulan ilmiah tertua di Asia, namun secara bangunan sepertinya terdesak oleh bangunan yang kurang istimewa. yakni Gedung Kementerian Pertahanan dan Gedung Mahkamah Konstitusi. Khusus Gedung Mrancangan arsitek Prasetyoadi ini, Heuken memberi catatan, pertama, benarkah bangunan bergaya klasik tetap mencerminkan 'wibawa' dan 'martabat'? kedua, sembilan kolom pada bangunan muka melanggar kode serta semangat arsitektur (neo) klasik (Hlm 83).
description
description

b. Medan Merdeka Utara
Bila manggunakan kendaraan, dari Medan Merdeka Barat tidak dapat langsung ke jalan ini, karena verboden. Kita harus putar balik lagi di depan Radio Republik Indonesia, baru ke arah Bundaran Bank Indonesia belok ke Medan Merdeka Selatan, Timur, baru bisa mencapai jalan ini.

Tentu saja Gedung yang paling terkenal adalah Istana Merdeka. Sebelumnya, bangunan ini adalah tempat peristirahan Gubernur Jenderal di Batavia. Gedung ini dibangun ketika Pemerintah Hindia Belanda sedang berhemat, Pemerintah Hindia Belanda merasa tidak perlu membangun gedung yang megah untuk ubernur Jenderal karena istana resmi ada di Istana Bogor. Koningsplein Paleis kini Istana Merdeka, dirancang berdasar ide Ir. Couve Djen dan direalisasikan oleh Ir HM Debbete sebagai arsiteknya. Pembangunannya dilaksanakan oleh Firma JB Drossares. Istana dibangun dalam gaya klasisme tropis dengan massa tipis dan atap besar. Gedung utama diapit oleh dua sayap di kanan-kiri. Gerbang lengkung (arch) pada kedua sayap menguatkan kesan keistanaan (hlm 85).
description

Selain itu Heuken menambahkan, bahwa pembangunan kompleks istana negara-Sekretariat Negara tidak didasari pada satu visi tata letak yang wajar bagi sebuah pusat pemerintahan yang ya, representatif dan patut dibanggakan. Maksudnya dipandang dari segi arsitektur dan landscaping sebagai satu keseluruhan. Berbagai gedung didirikan secara pragmatis sesuai kebutuhan sesaat. Beberapa bangunan seperti Sekretariat Negara, Mesjid Baiturrahim, Guest House atau Wisma Negara kurang mampu atau tidak berusaha merancang kompleks yang indah, padahal keuangan negara pada tahun 1970/1980an sangat memungkinkannya. Tata ruang sekarang mementingkan segi fungsional semata, tanpa visi yang lebih luas. Hal ini berbeda di negara bekas koloni Inggris dan Perancis (hlm 88).

c. Medan Merdeka Timur
Jalan Medan Merdeka Timur agak unik, karena satu-satunya jalan yang ada kompleks stasiun kereta Gambir yang memotong lapangan. Selain itu, satu-satunya jalan yang dipotong oleh rel kereta api adalah Jalan Medan Merdeka Timur ini.

Satu-satunya bangunan paling tua (bahkan diantara 4 penjuru jalan) di jalan ini adalah Gedung Galeri Nasional. Pada tahun 1817 GC van Rijck membangun sebuah Indishe Woonhuis di atas kavling ini dengan material yang diambil dari bekas Kasteel Batavia. Bangunan kedua yang tertua adalah GPIB Immanuel, dibangun antara tahun 1834 dan 1839 menurut rancangan JH Horst Ia bukan arsitek dan belum pernah melihat satu bangunan klasik pun, karena tidak pernah ke Eropa, namun rancangan baik sekali. Sejak Stasiun Gambir yang bertingkat dua dibangun (1992) gereja yang berwarna putih ini dipisahkan dari lingkungan 'alamiah'nya yaitu Medan Merdeka yang hijau. Halaman gereja beberapa kali dipotong untuk pelebaran jalan, sehingga jarak pandang ke arah gereja menjadi lebih pendek (hlm 111).
description
description


d. Medan Merdeka Barat

Istana Wakil Presiden dulunya adalah rumah dinas Presiden Bank Jawa, dalam kompleks tersebut terdapat dua bangunan yang tampak mukanya terlihat serupa, yaitu kav no.6 dan no.7. Kavling yang asli adalah no.6 sedangkan yang no.7 dibangun pada saat Soedharmono menjabat sebagai Wakil Presiden (1988-1993).

Gedung Kedubes Amerika (kav no.3 sampai 5). Pada masa Belanda, No.3 dipakai oleh Reisswezen, No.4 oleh Konsulat Jenderal Jerman antara tahun 1926 dan 1942. Pada tahun 1952, tanah ini ditukar dengan kavling di Jl. Sam Ratulangi, kini Goethe Institut. Gedung pada kav no.5 dirancang oleh arsitek terkenal di Amerika dan Jepang yang bernama Antonin Raymond. Kedubes Amerika dibangun pada akhir 1950-an waktu Wahington berusaha menampakkan sikap proogresifnya antara lain dengan membangun berbagai kedutaan dalam gaya International Style. Heuken menambahkan, kompleks ini sementara tidak berkontribusi pada suasana kawasan Medan Merdeka, karena pagar yang tinggi beserta barikadenya memisahkannya dari seluruh kawasan (hlm 124).
description
description



Buku ini cukup menarik karena dicetak dalam kertas lux dan uniknya edisi yang saya pegang ini, tidak tersedia nomor ISBN nya. Dari halaman depan, diketahui bahwa buku ini diterbitkan dengan dukungan Hanns Seidel Foundation (http://www.hsfindo.org/).

Selain itu, buku ini kaya dengan gambar-gambar baik berupa sketsa, lukisan, maupun foto dari zaman-zaman dahulu, sehingga membantu pembaca dalam memvisualisasikan suasana saat itu. Menurut saya, inilah kekuatan buku ini. Suatu peristiwa akan lebih mudah diingat bila dilengkapi dengan foto/gambar dibanding hanya sebarisan huruf. Dari buku ini juga, saya mendapat kesan bahwa Romo Adolf Heuken adalah seorang yang tidak hanya mengerti masalah kegerejaan, namun juga seni, arsitektur, serta filsafat.

Saya hanya membayangkan, suatu saat di Medan Merdeka ada lagi trem yang mengitari Medan Merdeka, Harmoni, hingga ke kota. Sehingga Batavia zaman dulu serasa seperti terhadirkan dan memori itu ada dan tetap terasa bersama kita.

@HWS110610


You Might Also Like

0 komentar