Buku Apresiasi Puisi: Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu | Sapardi Djoko Damono

Selasa, Desember 22, 2015

Bilangnya Begini, Maksudnya Begitu
Buku Apresiasi Puisi
Sapardi Djoko Damono
PT Gramedia Pustaka Utama 2014
ISBN: 978-602-03-1122-7

Dari subjudul buku ini cukup jelas bahwa buku ini merupakan Buku Apresiasi Puisi. Sebelum membedah buku ini, saya ingin mengetahui pengertian istilah-istilah yang menjadi batasan pengertian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online,

1. pengertian apresiasi

apresiasi/ap•re•si•a•si/ /aprésiasi/ n 1 kesadaran terhadap nilai seni dan budaya; 2 penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu; 3 kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah;
berapresiasi/ber•a•pre•si•a•si/ v mempunyai apresiasi; ada apresiasi;
mengapresiasi/meng•ap•re•si•a•si/ v melakukan pengamatan, penilaian, dan penghargaan (misalnya terhadap karya seni)

2. pengertian puisi

puisi/pu•i•si/ n 1 ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait; 2 gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus; 3 sajak;
-- bebas puisi yang tidak terikat oleh rima dan matra, dan tidak terikat oleh jumlah larik dalam setiap bait, jumlah suku kata dalam setiap larik;
-- berpola puisi yang mencakupi jenis sajak yang susunan lariknya berupa bentuk geometris, seperti belah ketupat, jajaran genjang, bulat telur, tanda tanya, tanda seru, ataupun bentuk lain;
-- dramatik Sas puisi yang memiliki persyaratan dramatik yang menekankan tikaian emosional atau situasi yang tegang;
-- lama puisi yang belum dipengaruhi oleh puisi Barat, seperti pantun, gurindam, syair, mantra, dan bidal;
-- mbeling sajak ringan yang tujuannya membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang; sajak main-main;
berpuisi/ber•pu•i•si/ v membaca(kan) puisi;
memuisikan/me•mu•i•si•kan/ v membuat atau menggubah menjadi bentuk puisi: dia berusaha ~ gambar;
pemuisian/pe•mu•i•si•an/ n perihal mengubah (pengubahan) bentuk bahasa prosa menjadi puisi

Dari dua pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa apresiasi puisi merupakan bentuk kesadaran atau penghargaan terhadap nilai suatu ragam sastra yang dipilih secara cermat untuk mempertajam kesadaran akan pengalaman (tertentu).
Suatu apresiasi tidak muncul sendiri. Apresiasi diikuti dengan pemahaman atau pengetahuan atas obyek yang diapresiasi. Bagaimana memperoleh pemahaman atau pengetahuan tersebut disajikan dalam buku ini dalam bahasa yang sederhana dan tidak njelimet dengan teori-teori sastra. Dalam pembukanya, Sapardi menjelaskan bahwa ia berusaha menjelaskan alat atau muslihat yang biasa digunakan oleh penyair dalam puisinya. Apakah suatu alat tersebut adalah bagian dari teori atau merujuk pada teori sastra tertentu, bukan merupakan lingkup penjelasannya. Hal yang penting menurut Sapardi adalah pengenalan terhadap karya sastranya, bukan pada penyairnya, karena itulah yang mendasari penafsiran, penilaian, dan apresiasi itu sendiri.



Di tengah ‘serbuan’ buku-buku kumpulan puisi di pasaran, adalah suatu hal menarik bagi para pembaca awam-notabene bukan mahasiswa sastra-yaitu bagaimana mengapresiasi suatu karya puisi bila dasar-dasar pemahaman tidak diberikan dalam bentuk buku. Karya-karya seperti inilah yang dinantikan, yaitu suatu karya ilmu yang membumi dan tidak terkesan eksklusif di menara gading akademik.

Buku ini terdiri dari sepuluh bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang seperti apa visualisasi cerita dan berita. Perbedaan mendasar berita (secara visual ) dan suatu cerita (puisi) yaitu suatu berita biasanya patuh pada tanda baca dan dapat terdiri dari kelompok paragraf.. Sementara suatu puisi biasanya patuh pada aturan-aturan baku larik-larik, tidak membutuhkan tanda baca. Beberapa contoh puisi yang harus taat pada jumlah-jumlah larik turut diberikan pada bagian ini, antara lain soneta “pagi-pagi” karya M. Yamin (1920).

Teja dan cerawat masih gemilang,
Memuramkan bintang mulia raya,
Menjadi pudar padam cahaya,
Timbul tenggelam berulang-ulang,

Fajar di timur datang menjelang,
Membawa permata ke atas dunia;
Seri-berseri sepantun mutia,
Berbagai warna, bersilang-silang.

Lambat-laun serta berdandan,
Timbul matahari dengan perlahan;
Menyinari bumi dengan keindahan.

Segala bunga harumkan pandan,
Kembang terbuka, bagus gubahan;
Dibasahi embun, titik di dahan.

Soneta merupakan bentuk puisi dari Eropa yang masuk ke Indonesia pada awal abad 20 ke Indonesia. Aturan ketatnya adalah soneta terdiri dari 14 larik. Seperti soneta di atas terdiri dari 14 larik dan 4 bait. Dua bait pertama, berima ab-ab, dan dua bait berikutnya berima ccc. Dalam perkembangannya, soneta dapat terdiri dari dua bait, namun aturannya harus terdiri dari 14 larik.

Bagian kedua, menjelaskan puisi sebagai suatu bunyi-bunyian. Salah satu mengapa puisi seperti pantun dapat kita kenal seperti sekarang ini karena diwariskan dalam bentuk lisan. Melalui tradisi lisan, puisi dengan hubungan antarunsur yang kokoh serta rima (persamaan bunyi akhir) dapat diingat hingga turun-temurun.

Sajak “Hang Tuah” karya Amir Hamzah

Bayu berpuput alun digulung
Banyu direbut buih dibubung

Selat Malaka ombaknya memecah
Pukul-memukul belah-membelah

Suatu puisi yang baik-menurut Sapardi-adalah mampu memberikan serangkaian gambar dan dan serangkaian bunyi, dan sebagai pembaca kita harus berlatih menangkap gambar dan bunyi tersebut.

Mulai bagian ketiga dan seterusnya adalah inti buku ini yaitu bagaimana menginterpretasi puisi. Pada bagian ketiga dikenalkan kepada pembaca jenis-jenis puisi. Secara sederhana suatu puisi tidak dibandingkan dengan puisi lain, namun dengan berita. Bahwa pada dasarnya terjadi komunikasi antara penulis dan pembaca dengan media tulisan, dan puisi adalah salah satu media komunikasinya. Memang, perbedaannya adalah maksud dari penulis berita dan penulis puisi apakah tersampaikan secara lugas atau membuka ruang bagi pembacanya untuk berimajinasi atau menafsirkan kembali apa yang tertulis.

Pada bagian empat, Sapardi menekankan pentingnya membaca gambar yang disampaikan oleh penyair lewat puisinya. Tentu saja citra atau gambar yang dikomunikasikan tergantung pembacanya dalam mengimajinasikan suasana yang dibangun. Potongan-potongan kalimat yang membangun gambar tersebut menghasilkan tafsiran yang berbeda-beda bagi pembacanya. Menyusuri sejarah perkembangan sastra di Indonesia, sangat dipengaruhi oleh sastra lisan maupun bahasa Melayu, terlihat bahwa sajak-sajak tempo dulu sangat kental dengan nuansa rima dan bahasa Melayu yang seperti sajak "Dibawa Gelombang" oleh Sanusi Pane:

Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu,
Tidak berpawang, tidak berkawan.
Entah kemana aku tak tahu.

Jauh di atas bintang kemilau,
Seperti sudah berabad-abad;
Dengan damai mereka meninjau,
Kehidupan di bumi yang kecil amat.

Aku bernyanyi dengan suara,
Seperti bisikan angin di daun;
Suaraku hilang dalam udara,
Dalam laut yang beralun-alun.

Alun membawa bidukku perlahan,
Dalam kesunyian malam waktu;
Tidak berpawang, tidak berkawan,
Entah ke mana aku tak tahu.

Dapatkah Anda mengimajinasikan suasana serta menafsirkan sajak ini?

Kata yang Menghidupkan

Sesungguhnya, bahasa Indonesia memiliki perbendaharaan yang cukup banyak. Ada ribuan bahasa di negeri ini yang memiliki kontribusi dalam berkomunikasi termasuk diserap menjadi Bahasa Indonesia. Kekuatan kalimat puisi adalah kata. Dari kata juga kita menelusuri makna. Pada umumnya, puisi ditulis tahun penciptaannya, semata-mata bukan hanya untuk mengetahui kapan ditulis, namun pembaca dapat menerka peristilahan yang dipakai pada puisi pada periode itu. Dari kata-kata yang digunakan, tersirat makna atau pesan yang disampaikan, seperti Gurindam XII yang dikarang Raja Ali Haji

Barang siapa meninggalkan sembahyang,
Seperti rumah tiada bertiang.

Barang siapa meninggalkan zakat,
Tiadalah artanya beroleh berkat.

Barang siapa meninggalkan haji,
Tiadalah ia menyempurnakan janji.

Demikian juga dalam puisi yang bertemakan suatu empati dengan orang lain seperti Puisi Rahardi dalam "Timor Timur"

Seorang gadis Portugis menangis
air matanya tumpah di jalanan
debu menggumpal
batu pecah, retak-retak dan berdarah

Seorang wartawan Australian tertawa
kameranya batuk-batuk,
meludah dan pingsan di halaman gereja

Seorang tentara Indonesia masuk angin
lalu mencret dan muntah-muntah
bedil-bedil yang dipeluknya
menggigil, pusing
dan ikut memuntahkan pelurunya

Dan seorang perjaka Timor Timur termenung
dia bingung memikirkan rambutnya yang keriting
dia sedih melihat kulitnya yang hitam
dia sangat sedih dan bingung
tapi sulit menangis
dia pusing
tapi tidak berani meludah, tak berani batuk,
mencret
atau muntah-muntah

Sapardi memberikan penjelasan bahwa dalam kedua puisi di atas tergambar suatu peristwa pada zamannya, dimana puisi tersebut mencoba menggambarkan situasi yang terjadi pada masyarakat. Membaca puisi "jadul" seperti gurindam di atas, kita dapat menebak, bahwa biasanya akan ada nasihat di dalamnya. Namun, membaca puisi modern akan lebih membutuhkan pengetahuan serta pemahaman yang memadai atas konteks, seperti puisi Timor Timur yang dapat kita imajinasikan di dalamnya terdapat suasana perang.  Kita dapat melihat kekuatan kata-kata yang mampu menghidupkan suasana imajinasi serta penafsiran makna. Namun, pada dasarnya, kepentingan penyair tidaklah selalu menyampaikan amanat. Karena itu, menurut Sapardi, kita akan kecewa bila kita hanya menjadi pemburu amanat.

Mahkota bahasa
Saya suka dengan bagian penutup buku ini dimana Sapardi menyatakan bahwa konon puisi adalah mahkota bahasa yang berarti cara pemanfaatan bahasa yang setinggi-tingginya dicapai dalam puisi. Lanjut Sapardi, bahwa puisi adalah hasil yang dicapai jika seseorang mampu bermain-main dengan bahasanya.
Bagi saya, hal tersebut hanya dapat dicapai bila berlatih dan berlatih, terlebih dengan "bermain-main" dengan bahasa. Tentu di dalamnya bukan bermakna untuk tipu muslihat tetapi menunjukkan kecerdasan serta kepekaan atas persoalan, hiruk pikuk, serta keruwetan kehidupan. Ada persoalan antara manusia dengan alam, manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan penciptanya. Hal-hal ini yang terus-menerus digali dan digelisahkan oleh penyair (atau kita?). Barangkali kita akan jauh dari memahami puisi sebagai suatu mahkota bahasa dari pendekatan teori-teori tertentu, atau dengan gaya penulisan tertentu. Namun, dengan belajar mengapresiasi puisi, kita mulai belajar menghargai karya, menghargai keindahan, dan menghargai kehidupan.

Sebagai penutup, saya sedikit mengomentari tentang sampul buku yang seharusnya dapat lebih baik lagi, bukan dari kumpulan gambar shutterstock.com, alangkah sayang sekali buku sebagus dan sekelas penulis Sapardi dikemas dengan sampul seperti itu.

Selebihnya, buku ini sangat bagus dibaca.

Helvry
Bandung, 22 Desember 2015

You Might Also Like

0 komentar