Ibu Pergi ke Surga by Sitor Situmorang
Minggu, Desember 21, 2014Buku ini merupakan kumpulan cerita pendek lengkap karya Sitor Situmorang. 23 Cerita pendek yang ditulis dalam kurun waktu Maret 1950 s.d. 1981. Cerita pendeknya ini dipengaruhi oleh kecintaan akan kampung halaman yang berlatar pengalaman dunia tradisi batak serta pengalamannya selama di Eropa. Lewat cerpen Fontenay Aux Roses, diketahui bahwa Prancis menjadi tempat Sitor muda menghabiskan waktu dengan mengobrol dan minum. Saat itu, sedang berkembang fisafat Eksistensialisme yang ditemukan oleh Sartre. "Saya hanya kena imbas" begitu ungkap Sitor dalam catatan editor, JJ Rizal.
Ibu Pergi ke Surga
by Sitor Situmorang
Paperback, 240 pages
Published January 2011 by Komunitas Bambu
ISBN 979373188
Jika Cerpen ini dipilah berdasarkan waktu penerbitan dan tempat kejadian, maka tempat yang paling banyak diceritakan adalah Samosir dan Prancis. Mari kita lihat dengan lebih terinci.
1. Kembang Gerbera (Yogyakarta Maret 1950)
2. Akbar(Tidak diketahui, Oktober 1954)
3. Fontenay Aux Roses (Prancis, September 1954)
4. Cheri(Prancis, April 1954)
5. Diplomat Muda(Belanda, 1954)
6. Harimau Tua (Toba, 1954)
7. Kota S (
8. Perawan Tengah Hari(Jakarta, 1954)
9.
10. Begitulah Selalu Kalau Hujan (Jakarta, 1955)
11. Ibu Pergi ke Surga (Samosir, 1955)
12. Jin (Samosir, 1955)
13. Pertempuran (Sumatra, Jakarta, 1955)
14. Cinta Pertama (Milano, Italia, 1958)
15. Kereta Api Internasional (Di dalam perjalanan kereta api Prancis-Belgia, 1958)
16. Pangeran (Yogyakarta, 1963)
17. Pribahasa Jepang (Tokyo, 1958)
18. Jatmika dan Jatmiko (Kebun Binatang, 1963)
19. Kisah Surat dari Legian (Denpasar, 1980)
20. Suatu Fiksi dalam Fiksi (Jakarta, 1981)
21. Perjamuan Kudus (Parapat, 1981)
22. Kasim (Jakarta, 1981)
23. Kehidupan Daerah Danau Toba (Samosir, 1981)
Membaca cerita pendeknya ini, saya seperti membaca buku harian. Tentang perjalanan, tentang sahabat, tentang kampung halaman, dan tentang kisah cinta. Tentang keindahan Danau Toba dan Pulau Samosir, Sitor menulis dalam "Perjamuan Kudus" ...pulau besar di tengah danau itu seperti raksasa tergolek. Kota Parapat yang terletak di Semenanjung kecil, dengan lampu-lampu listriknya, yang kemilaunya bergabung dengan sinar bulan di sisi air danau..... Harian Kompas pernah menampilkan Kota Parapat dengan Danau Toba di headline-nya.
Kisah Diplomat Muda yang bertugas di Belanda menarik perhatian saya. Apakah masih seperti itu sekarang ini, dimana diplomat yang bertugas di Kedutaan Besar Indonesia di negeri tertentu, pekerjaan sampingan
Tentang kisah cinta, cerita Cinta Pertama menurut saya sangat unik. Bercerita dari sisi perempuan Italia berusia 17 tahun, yang karena suatu peristiwa tidak disengaja kakaknya, akhirnya berkenalan dengan seorang wartawan asal Indonesia. Cinta pertama muncul karena si perempuan diajak ke Indonesia dan jatuh cinta pada Bali dan seluruh alam serta seninya.
Tentang kampung halaman. Sitor menulis keindahan Danau Toba dengan apik. Pada cerita Kehidupan Daerah Danau Toba, tergambar keindahan pemandangan luas dan Pulau Samosir. Termasuk di dalamnya ia menceritakan tentang aktivitas Hari Pekan, yaitu dimana banyak orang dari penjuru kampung datang berkumpul untuk berniaga menukarkan barang-barang hasil bumi mereka dengan barang dagangan dari Siantar. Tempat Pekan itu di Haranggaol. Ibu saya pernah bercerita bahwa semasa ibu saya kecil, pergi ke Haranggaol untuk menjual bawang. Makan buah pisang saat itu adalah makan istimewa, karena buah pisang adalah barang mahal. Saya sendiri belum pernah kesana. Tapi Pekan Haranggaol itu masih ada sampai sekarang. Sumber foto dari sini.
Tentang orangtuanya. Ia menulis dua cerpen. Perpisahan dengan ayahnya ditulis dalam Perjamuan Kudus, sedangkan perpisahan dengan ibunya, ia tulis dalam Ibu Pergi ke Surga. Cerpen Ibu Pergi ke Surga ini entahkah fiksi ataukah tidak, saya tidak tahu. Seperti cerpen-cerpen yang lain, tidak ada penjelasan konteks pada setiap cerita. Pembaca diserahi tanggung jawab berimajinasi sendiri. Ibu dalam cerita itu memanggil pulang "Aku" dari perantauan. Ia sudah lama terbaring sakit di rumah. Sang Ibu meninggal ketika acara natal dilakukan di rumah "Aku", tokoh utama. "Aku" sudah mengetahui bahwa ibunya tak bernapas lagi sesaat sebelum acara natal di rumah dimulai. Tak satupun oranglain yang tahu. Acara berlangsung khidmat, sampai Pak Pendeta berkata pada "Aku" supaya ibu dibangunkan, karena lagu kesukaannya akan dinyanyikan. Tidak ada yang tahu, sampai "Aku" memberitahukan kepada Ayahnya setelah semua orang pulang. "Aku" hendak pulang ke perantauan, sebelum pulang, ayahnya meminta supaya jika ia mati, ia ingin bersama dengan Ibu dan kuburannya menghadap Danau Toba.
JJ Rizal menutup catatannya tentang Sitor Situmorang dengan mengatakan tanda kekurangsuburan Sitor yang mengarang 23 cerpen selama hidupnya menunjukkan bahwa ia adalah pujangga pemikir. Dengan cerpennya, Sitor memuaskan dari segi penikmatan bahasa dan kekayaan batin dari pemikiran yang padu dengan pengungkapannya sebagai bahasa cerpen.
Tentang Sitor
Tidak banyak yang saya tahu tentang Sitor Situmorang. Informasi dari Wikipedia pun sangat minim. Menurut si Wiki ini, Ayahnya, Ompu Babiat Situmorang adalah orang yang berjuang mengusir tentara kolonial Belanda bersama Sisingamangaraja XII. Selama 30 tahun bergerilya bersama Sisingamangaraja, Ompu Babiat diubah statusnya menjadi kawula Ratu Belanda dalam status setengah merdeka, setengah pegawai administrasi kolonial.
Sedikit saya tambahkan riwayat Sitor Situmorang yang terdapat pada bagian akhir buku ini. Lima tahun pertama di sekolah dasar di Balige, kemudian pindah ke Sibolga. Kemudian ia masuk MULO (Meer Uitgebreid Lager Oderwijs) di Tarutung (1938). Kemudian ia berangkat ke Jakarta untuk bersekolah di CMS (Christelijke Middelbare Scholen), sekolah menengah atas di Salemba (1941). Keinginan untuk menjadi ahli hukum kandas, sebab Jepang datang (1942). Awalnya ia menjadi redaktur berkala di Suara Nasional. Selanjutnya ia bergabung dengan Harian Waspada. Esai, kritik, dan sajaknya mulai diperkenalkan ketika ia ditugaskan Waspada untuk meliput suasana revolusi di Yogyakarta (1947-1948). Ketika itu, ia juga menjadi wartawan Kantor Berita Antara. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II Tahun 1948, ia ditangkap NEFIS (Netherland East Indies Forces Intelligence Service) dan dipenjara di Penjara Wirogunan, Yogyakarta hingga penyerahan kedaulatan RI di akhir Tahun 1949.
Karya sastra dianggap memberi pencerahan dalam alam seni kebudayaan Indonesia. Karyanya bukan saja isi, tema, dan kata-kata, tetapi juga membawakan kekayaan batin dari pemikiran-pemikiran. Antara lain karyanya itu adalah Surat Kertas Hijau (1953), Dalam Sajak (1955), Wajah Tak Bernama (1955), Drama Jalan Mutiara (1954), dan Cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) yang memenangkan hadiah sastra nasional Tahun 1955/56 dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN).
Pada tahun 1956, ia mendapat beasiswa untuk belajar sinematografi dan seni panggung di Los Angeles (University of Southern California) dan di New York (Actor's Studio) Amerika Serikat. Ia memasuki dunia politik dengan memasuki lembaga yang mendukung Demokrasi Terpimpin Soekarno. Pada 1959, ia mendirikan Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yaitu anak organisasi Partai Nasional Indonesia (PNI), lalu menjadi anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dari golongan seniman. Ia menulis dan berceramah tentang hubungan sastra dan politik yang dikumpulkan dalam Sastra Revolusioner (1965). Bersama dengan jatuhnya Presiden Soekarno, ia ditahan oleh orde baru tanpa proses pengadilan selama delapan tahun. Keluar dari penjara, karyanya Peta Perjalanan dimenangkan oleh Dewan Kesenian Jakarta (1976/77). Selain itu, ia memasuki dunia sejarah dan antropologi dengan menulis buku "Guru Somalaing dan Mogliani Utusan Raja Rom"(1993)dan "Toba Na Sae"(1993).
Karya Sitor telah diterjemahkan dan dibukukan dalam Bahasa Belanda Bloem op een rots dan Oude Tijger (1990), Wander (1996), dan Prancis Paris La Nuit (2001) serta Cina, Italia, Jerman, Jepang, dan Rusia. Pada 20 Maret 2003, Sitor dianugerahi Hadiah Francophonie karena dianggap sebagai penyair terkemuka Indonesia yang telah memberikan kontribusi penting dalam mengembangkan bahasa Prancis di Indonesia dan prinsip-prinsip Francophonie yaitu penghormatan serta pengembangan keanekaragaman budaya, perdamaian, demokrasi dan hak asasi.
Pada usia ke 80, Sitor menunjukkan eksistensinya dengan mengeluarkan kumpulan sajak Biksu Tak Berjubah (2004) dan sajak-sajaknya dalam terjemahan bahasa Belanda: Lembah Kekal/Euwige Valley (2004). Serta pada tahun 2006, terbit dua jilid kumpulan sajak lengkap Sitor Situmorang: Kumpulan sajak 1948-2005. Sedangkan buku "Ibu Pergi ke Surga" ini adalah kumpulan lengkap 23 buah cerita pendek karangan beliau.
@hws23042011
1 komentar
Yampunn... sungguh menyentuh sekali artikelnhya dan juga bagus :')
BalasHapussemoga bermanfaat buat orang banyak, amin. :f
yuk beli buku di toko online kami di www.bukukamu.com disitu kami menjual berbagai macam buku buku yg bisa menginspirasi anda :d . Terimakasih