[Bukan Review] Sang Guru & Secangkir Kopi
Kamis, Desember 22, 2011
Sebetulnya saya ingin mereview buku ini, namun buku yang dikirimkan oleh pihak Media Indonesia tidak sampai ke meja saya dikarenakan salah alamat. Dan ketika diskusi buku ini hendak berlangsung, saya mencoba mencari di toko buku, namun tidak tersedia. Akhirnya saya meminjam buku Uda Aldo yang ikut juga berdiskusi bersama dengan Mbak Truly.
Secara umum, penulis buku ini adalah catatan Andi, mantan mahasiswa Ong yang kemudia menjadi sahabat ngopi Ong di rumahnya. Kisah Andi yang mengunjungi Ong, dan berbicara berdua mengingatkan pada Kisah Mitch Albom yang selalu mengunjungi Morries setiap selasa. Pelajaran hidup banyak dipetik ketika berbicara berdua, apalagi dengan orang yang sudah banyak makan asam pahitnya bumbu dunia.
Berikut saya sajikan artikel yang dimuat di Media Indonesia September 2011. Saya setuju apa yang dikatakan Ong, bahwa salah satu kunci mengajar sejarah adalah bercerita. Betapa banyak hal yang kita ingat karena diceritakan alih-alih membaca apalagi menghafal. Bagi Anda yang menyukai sejarah yang bercerita, buku ini bisa Anda coba baca.
Judul: Sang Guru & Secangkir Kopi: Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia
Penulis: Andi Achdian
Edisi Pertama,
Tebal: 139 halaman
Penerbit: Kekal Press
Tahun: April 2011
ISBN: 9789791790529
--------------
Sebulan sekali, kami menyelenggarakan Obrolan Pembaca Media lndonesia (OPMI). Sabtu, 17 September 2011, membahas buku Sang Guru dan Secangkir Kopi karya Andy Ach-dian yang bertutur tentang pemikiran sejarawan Onghokham. Berikut ini petikan diskusi OPMI. (Dinny Mutiah)
NAMA Onghokham tentu sudah tidak asing lagi bagi kalangan sejarawan di Tanah Air. Berdasarkan sebagian besar aktivitasnya, dia adalah seorang sejarawan yang pernah mengabdi di Universitas Indonesia selama beberapa waktu. Dia dikenai killer oleh sebagian mahasiswa yang ogah-ogahan menekuni sejarah. Meski begitu, ia punya prinsip kuat terhadap nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan (masyarakat).
Tokoh yang boleh dibilang hidup di empat zaman sejarah bangsa Indonesia tersebut, yakni era kolonial, Orde Lama, era Orde Baru, sekaligus pernah mencicip era reformasi, melalui penanya begitu tajam mengkritisi kejanggalan dan ketidaklogisan perjalanan dan penggunaan kekuasaan elite-elite politik di negeri ini.
"Rasanya sudah tidak ada lagi bahan yang saya tulis," ujar Ong setelah beberapa bulan era Reformasi bergulir menumbangkan Orde Baru. Memang, banyak orang yang merasakan tulisan sejarawan yang meninggal di Jakarta pada 30 Agustus 2007 itu kurang tajam lagi di era reformasi. Mungkin keadaannya akan lain bila Ong masih hidup saat ini dan melihat kondisi bangsanya yang carut-marut dipenuhi oleh intrik kekuasaan dan korupsi.
Dari sinilah Andi Achdjan menuturkan pemikiran-pemikiran Onghokham lewat sudut pandang orang pertama, dalam bukunya yang diberi judul Sang Guru dari Secangkir Kopi, terbitan Kekal Press, April 2011. Penceritaan buku yang mungkin bisa disebut semibiografi ini didasarkan apa yang penulis tangkap semasa Ong masih hidup. Relasi penulis dan tokoh yang ia sebut guru itu dimulai tak sengaja. Mungkin juga sebuah kebetulan Andi yang memang mahasiswa meski secara formal tidak pernah mendapatkan pendidikan formal dari Ong-tinggal bertetangga dengan tokoh yang kemudian dikaguminya itu.
Pertemuan mereka sehari-hari sering kali diisi oleh diskusi-diskusi informal seputar apa pun, termasuk kegemaran mereka tentang buku sejarah yang ditulis oleh Soboul dan Lefebvre.
Belajar Berpikir Logis dari Onghokham
Bagi Onghokham, sejarah adalah cerita tentang manusia. Meski penuturan bisa disampaikan melalui teknik mendongeng, sejarah tetap harus disampaikan secara logis.
Sejak itu, pertemuan demi pertemuan informal terus berlangsung. Tidak jarang saat bertemu, Ong secara tak langsung menantang Andi untuk berpendapat. Pendapat yang dihasilkan lalu diperdebatkan lagi berdasarkan pengetahuan yang mereka dapatkan. Jika pengajaran sejarah biasanya terkesan pondogmaan lewat pengutipan dari para sejarawan, Ong mengajarkan ada sesuatu di balik sejarah yang perlu dikaji lebih dalam.
Dalam salah satu pembicaraan santai itu, Ong menceritakan awal mula ekspansi pelaut dari Barat ke Nusantara. la bercerita bahwa alasan utama bangsa Eropa menjelajah Asia ialah rasa takut pada istri.
Lho! Anda mungkin familier jika rasa masakan aparat umumnya hambar. Suatu saat, para istri tak sengaja mmbubuhkan lada di atas makanan dan saat mencicip, rasa makanan berubah enak. Para istri pun terpikir untuk mengumpulkan lada lebih banyak dengan meminta suami mereka mencarikannya untuk mereka. Itulah yang kemudian mendorong terjadinya kolonialisme Eropa di tanah Asia, termasuk Indonesia, pada suatu kutipan dalam buku ini.
Meski terdengar konyol, cara pandang Ong yang tak biasa itu membekas dalam ingatan Andi. Gaya berpikir Ong tak lepas dari sikap kritis, mendalam, dan jernih dalam menelaah peristiwa sejarah. Tentu saja juga unik, tidak umum, tapi logis.
Sikap Ong itu mungkin karena latar belakangnya yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga keturunan Tionghoa kelas menengah, hingga akhirnya tentara Jepang masuk ke Indonesia sampai muncul penderitaan saat harus mengungsi.
Rasa tak nyaman yang dialaminya saat peperangan membuat Ong punya pemahaman lebih baik daripada sejarawan yang hanya berkesempatan menelusuri peristiwa lewat kisah orang lain. Tak ragu, ia mengatakan bahwa Indonesia adalah pembebasan masyarakat yang majemuk untuk hidup atas dasar kesetaraan Pernyataan itu secara tak langsung wujud menyatakan diri sebagai nasionalis.
Walaupun demikian, itu tak menghentikannya untuk bersikap kritis terhadap penguasa yang dianggap lalai dalam melayani rakyat. Kritikan yang disampaikan Ong lewat berbagai media massa terasa menukik meski membutuhkan editor untuk memperbaiki tata bahasanya yang berantakan.
Paradoks
Mengupas tokoh Onghokham menjadi menarik karena gaya Andi dalam penulisannya berbeda dari kebiasaan penyampaian pelajaran sejarah di kelas-kelas. Tapi, pribadi Ong sendiri juga digambarkan sebagai orang yang istimewa.
Saat Obrolan Pembaca Medio Indonesia yang didukung TMBookstore digelar Sabtu (17/9) lalu. Aldo, salah satu pembaca, menilai sosok sang Guru adalah paradoks. Ada hal yong kontradiktif dari penampilan Ong karena ia selalu mengkritisi dari sudut pandang rakyat kecil, sementara ia sendiri tetap menyukai hal yang berbau kemewahan.
Salah satu gaya hidup mewah yang diceritakan Andi ialah kesukaan Ong meminum anggur saat makan malam, dihiasi perangkat makan yang terbuat dari perak bermutu. "Dia suka hidup enak, makan enak, minum wine. Tapi, dari karya yang ditulisnya terkesan bahwa dia adalah orang kiri, meski dia tak pernah menyatakannya. Itu paradoks. Tapi, mungkin itu pula yang membuat Ong bisa diterima berbagai lapisan," ujar Aldo.
Pembaca lainnya, Helvry Sinaga, menilai sosok Ong berdasarkan kacamata Andi membuat sejarah menjadi lebih berarti. Cara ia menantang Andi untuk berpikir logis menunjukkan bahwa sejarah yang berlalu bisa menjadi pelajaran dan prediksi kejadian yang akan datang. Apalagi, Ong dikenal punya pengetahuan luas dengan koleksi literatur lengkap di perpustakaan pribadinya.
"Kalau biasanya kita menerima sejarah itu hanya sebagai keadaan masa lalu, tanpa kita lihat lagi, kok begitu, ya? Tapi, kalau di buku ini, yang mencuat adalah kita dibiasakan untuk berpikir logis. Tak mengherankan, dia bisa menduga hal-hal yang akan muncul. Jadi, ada semacam aksi-reaksi dalam sejarah," cetus Helvry.
Truly, pembaca OPMI lainnya, menimpali. Ia berpendapat cara pengajaran yang dilakukan Ong terhadap Andi secara tak langsung mengubah cara murid memandang sejarah. Biasanya sejarah itu hanya berkutat soal tanggal, padahal penggalian soal latar belakang kejadian bisa membuat hafalan murid lebih kuat.
Sementara bagi Riezky, sosok Ong merupakan contoh guru yang bisa mendorong muridnya berpendapat. Pendapat itulah yang bisa membuat murid punya pemikiran lebih kritis. Tidak hanya menerima pendapat dari orang lain mentah-mentah. Apalagi, cara bertutur Andi yang sekilas seperti buku harian membuat cerita Ong lebih mudah diikuti oleh orang awam sekalipun.
"Story itu sangat terasa. Tidak hanya runutan tahun, tanggal kejadian. Contohnya, ketika peristiwa tahun 1965. Itu dibahas lebih panjang karena itu sejarah yang gelap. Wah, ternyata ada sudut pandang lain. Dia cukup berani kasih sudut pandang," tukasnya. (M-l)miweekend@mediaindonesia.com
@hws22122011
Secara umum, penulis buku ini adalah catatan Andi, mantan mahasiswa Ong yang kemudia menjadi sahabat ngopi Ong di rumahnya. Kisah Andi yang mengunjungi Ong, dan berbicara berdua mengingatkan pada Kisah Mitch Albom yang selalu mengunjungi Morries setiap selasa. Pelajaran hidup banyak dipetik ketika berbicara berdua, apalagi dengan orang yang sudah banyak makan asam pahitnya bumbu dunia.
Berikut saya sajikan artikel yang dimuat di Media Indonesia September 2011. Saya setuju apa yang dikatakan Ong, bahwa salah satu kunci mengajar sejarah adalah bercerita. Betapa banyak hal yang kita ingat karena diceritakan alih-alih membaca apalagi menghafal. Bagi Anda yang menyukai sejarah yang bercerita, buku ini bisa Anda coba baca.
Judul: Sang Guru & Secangkir Kopi: Sejarawan Onghokham dan Dunia Baru Bernama Indonesia
Penulis: Andi Achdian
Edisi Pertama,
Tebal: 139 halaman
Penerbit: Kekal Press
Tahun: April 2011
ISBN: 9789791790529
--------------
Sebulan sekali, kami menyelenggarakan Obrolan Pembaca Media lndonesia (OPMI). Sabtu, 17 September 2011, membahas buku Sang Guru dan Secangkir Kopi karya Andy Ach-dian yang bertutur tentang pemikiran sejarawan Onghokham. Berikut ini petikan diskusi OPMI. (Dinny Mutiah)
NAMA Onghokham tentu sudah tidak asing lagi bagi kalangan sejarawan di Tanah Air. Berdasarkan sebagian besar aktivitasnya, dia adalah seorang sejarawan yang pernah mengabdi di Universitas Indonesia selama beberapa waktu. Dia dikenai killer oleh sebagian mahasiswa yang ogah-ogahan menekuni sejarah. Meski begitu, ia punya prinsip kuat terhadap nilai-nilai kebebasan dan kemerdekaan (masyarakat).
Tokoh yang boleh dibilang hidup di empat zaman sejarah bangsa Indonesia tersebut, yakni era kolonial, Orde Lama, era Orde Baru, sekaligus pernah mencicip era reformasi, melalui penanya begitu tajam mengkritisi kejanggalan dan ketidaklogisan perjalanan dan penggunaan kekuasaan elite-elite politik di negeri ini.
"Rasanya sudah tidak ada lagi bahan yang saya tulis," ujar Ong setelah beberapa bulan era Reformasi bergulir menumbangkan Orde Baru. Memang, banyak orang yang merasakan tulisan sejarawan yang meninggal di Jakarta pada 30 Agustus 2007 itu kurang tajam lagi di era reformasi. Mungkin keadaannya akan lain bila Ong masih hidup saat ini dan melihat kondisi bangsanya yang carut-marut dipenuhi oleh intrik kekuasaan dan korupsi.
Dari sinilah Andi Achdjan menuturkan pemikiran-pemikiran Onghokham lewat sudut pandang orang pertama, dalam bukunya yang diberi judul Sang Guru dari Secangkir Kopi, terbitan Kekal Press, April 2011. Penceritaan buku yang mungkin bisa disebut semibiografi ini didasarkan apa yang penulis tangkap semasa Ong masih hidup. Relasi penulis dan tokoh yang ia sebut guru itu dimulai tak sengaja. Mungkin juga sebuah kebetulan Andi yang memang mahasiswa meski secara formal tidak pernah mendapatkan pendidikan formal dari Ong-tinggal bertetangga dengan tokoh yang kemudian dikaguminya itu.
Pertemuan mereka sehari-hari sering kali diisi oleh diskusi-diskusi informal seputar apa pun, termasuk kegemaran mereka tentang buku sejarah yang ditulis oleh Soboul dan Lefebvre.
Belajar Berpikir Logis dari Onghokham
Bagi Onghokham, sejarah adalah cerita tentang manusia. Meski penuturan bisa disampaikan melalui teknik mendongeng, sejarah tetap harus disampaikan secara logis.
Sejak itu, pertemuan demi pertemuan informal terus berlangsung. Tidak jarang saat bertemu, Ong secara tak langsung menantang Andi untuk berpendapat. Pendapat yang dihasilkan lalu diperdebatkan lagi berdasarkan pengetahuan yang mereka dapatkan. Jika pengajaran sejarah biasanya terkesan pondogmaan lewat pengutipan dari para sejarawan, Ong mengajarkan ada sesuatu di balik sejarah yang perlu dikaji lebih dalam.
Dalam salah satu pembicaraan santai itu, Ong menceritakan awal mula ekspansi pelaut dari Barat ke Nusantara. la bercerita bahwa alasan utama bangsa Eropa menjelajah Asia ialah rasa takut pada istri.
Lho! Anda mungkin familier jika rasa masakan aparat umumnya hambar. Suatu saat, para istri tak sengaja mmbubuhkan lada di atas makanan dan saat mencicip, rasa makanan berubah enak. Para istri pun terpikir untuk mengumpulkan lada lebih banyak dengan meminta suami mereka mencarikannya untuk mereka. Itulah yang kemudian mendorong terjadinya kolonialisme Eropa di tanah Asia, termasuk Indonesia, pada suatu kutipan dalam buku ini.
Meski terdengar konyol, cara pandang Ong yang tak biasa itu membekas dalam ingatan Andi. Gaya berpikir Ong tak lepas dari sikap kritis, mendalam, dan jernih dalam menelaah peristiwa sejarah. Tentu saja juga unik, tidak umum, tapi logis.
Sikap Ong itu mungkin karena latar belakangnya yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga keturunan Tionghoa kelas menengah, hingga akhirnya tentara Jepang masuk ke Indonesia sampai muncul penderitaan saat harus mengungsi.
Rasa tak nyaman yang dialaminya saat peperangan membuat Ong punya pemahaman lebih baik daripada sejarawan yang hanya berkesempatan menelusuri peristiwa lewat kisah orang lain. Tak ragu, ia mengatakan bahwa Indonesia adalah pembebasan masyarakat yang majemuk untuk hidup atas dasar kesetaraan Pernyataan itu secara tak langsung wujud menyatakan diri sebagai nasionalis.
Walaupun demikian, itu tak menghentikannya untuk bersikap kritis terhadap penguasa yang dianggap lalai dalam melayani rakyat. Kritikan yang disampaikan Ong lewat berbagai media massa terasa menukik meski membutuhkan editor untuk memperbaiki tata bahasanya yang berantakan.
Paradoks
Mengupas tokoh Onghokham menjadi menarik karena gaya Andi dalam penulisannya berbeda dari kebiasaan penyampaian pelajaran sejarah di kelas-kelas. Tapi, pribadi Ong sendiri juga digambarkan sebagai orang yang istimewa.
Saat Obrolan Pembaca Medio Indonesia yang didukung TMBookstore digelar Sabtu (17/9) lalu. Aldo, salah satu pembaca, menilai sosok sang Guru adalah paradoks. Ada hal yong kontradiktif dari penampilan Ong karena ia selalu mengkritisi dari sudut pandang rakyat kecil, sementara ia sendiri tetap menyukai hal yang berbau kemewahan.
Salah satu gaya hidup mewah yang diceritakan Andi ialah kesukaan Ong meminum anggur saat makan malam, dihiasi perangkat makan yang terbuat dari perak bermutu. "Dia suka hidup enak, makan enak, minum wine. Tapi, dari karya yang ditulisnya terkesan bahwa dia adalah orang kiri, meski dia tak pernah menyatakannya. Itu paradoks. Tapi, mungkin itu pula yang membuat Ong bisa diterima berbagai lapisan," ujar Aldo.
Pembaca lainnya, Helvry Sinaga, menilai sosok Ong berdasarkan kacamata Andi membuat sejarah menjadi lebih berarti. Cara ia menantang Andi untuk berpikir logis menunjukkan bahwa sejarah yang berlalu bisa menjadi pelajaran dan prediksi kejadian yang akan datang. Apalagi, Ong dikenal punya pengetahuan luas dengan koleksi literatur lengkap di perpustakaan pribadinya.
"Kalau biasanya kita menerima sejarah itu hanya sebagai keadaan masa lalu, tanpa kita lihat lagi, kok begitu, ya? Tapi, kalau di buku ini, yang mencuat adalah kita dibiasakan untuk berpikir logis. Tak mengherankan, dia bisa menduga hal-hal yang akan muncul. Jadi, ada semacam aksi-reaksi dalam sejarah," cetus Helvry.
Truly, pembaca OPMI lainnya, menimpali. Ia berpendapat cara pengajaran yang dilakukan Ong terhadap Andi secara tak langsung mengubah cara murid memandang sejarah. Biasanya sejarah itu hanya berkutat soal tanggal, padahal penggalian soal latar belakang kejadian bisa membuat hafalan murid lebih kuat.
Sementara bagi Riezky, sosok Ong merupakan contoh guru yang bisa mendorong muridnya berpendapat. Pendapat itulah yang bisa membuat murid punya pemikiran lebih kritis. Tidak hanya menerima pendapat dari orang lain mentah-mentah. Apalagi, cara bertutur Andi yang sekilas seperti buku harian membuat cerita Ong lebih mudah diikuti oleh orang awam sekalipun.
"Story itu sangat terasa. Tidak hanya runutan tahun, tanggal kejadian. Contohnya, ketika peristiwa tahun 1965. Itu dibahas lebih panjang karena itu sejarah yang gelap. Wah, ternyata ada sudut pandang lain. Dia cukup berani kasih sudut pandang," tukasnya. (M-l)miweekend@mediaindonesia.com
@hws22122011
6 komentar
setelah baca posting ini dan artikel terkait di internet, jadi pengen banget baca buku ini. tapi sptnya blm beredar di toko buku umum ya?
BalasHapusnah, alasan knapa ak g suka sejarah adalah karna dulu ak mempelajarinya secara menghafal, jadi setelah sekian lama ilmu itu sudah entah hilang kemana. Setuju kalo mempelajari sejarah adalah dg cara bercerita, rasanya akan sedikit berbeda dan jauh lebih nyantol di kepala kita :)
BalasHapusgara2 takut istri aja bisa menjajah indonesia hingga sebegitu lama, coba kalo karena memang pengin menjajah, sepertinya sampai sekarang kita masih diperintah londo ya? ha aha ha ha ha ha
BalasHapus@mademelani: setelah saya cek ke web blognya Andy Achdian, buku ini dapat dipesan di
BalasHapusKekal Press, Jl Arimbi No. 2, Bumi Indraprasta I – Bogor 16153, Khaerul 08568209834 & 0251-8319016
atau bisa lihat di link berikut:
http://andiachdian.wordpress.com/2011/05/01/sang-guru-dan-secangkir-kopi-segera-terbit/
@Sulis: sama..seandainya dulu guru sejarahku nggak menugaskan tugas menghafal, barangkali sejak dulu aku cinta dengan pelajaran sejarah :k
BalasHapus@mas Eko: sampai sekarang kita masih terjajah. terjajah oleh kemiskinan dan kebodohan. dan sayangnya yang menjajah adalah bangsa sendiri. saya miris dengan kekayaan alam batubara di kalimantan yang dikuasai pemilik modal besar serta para penguasa daerah setempat.
BalasHapussemoga pendidikan memajukan negeri kita.