Oeroeg
Minggu, Juni 30, 2013
Judul: Oeroeg
Penulis: Hella S. Haasae
Alih Bahasa: Indira Ismail
Editor: Dini Pandia
Desain sampul: Martin Dima
Penerbit: GPU (Oktober 2009)
Novel ini dibuka dengan kalimat: "Oeroeg kawanku." atau dalam Bahasa Belanda: “Oeroeg was mijn vriend." Sepertinya kata-kata itu tidak begitu lazim sebagai pembuka. Namun, kata pertama itu begitu penting karena saat itu karena Hella akan memulai menceritakan dirinya sendiri melalui Oeroeg. Novel ini awalnya dibuat karena Hella diminta berpartisipasi dalam kontes novel yang diadakan oleh Commissie voor de Propaganda van het Nederlandse Boek (CPNB) pada tahun 1947. Dari situsnya diketahui bahwa CPNB ini bertujuan untuk mendorong kebiasaan membaca buku dan membeli buku.
Oeroeg adalah nama teman si narator,
ada satu keterikatan Hella dengan tokoh Oeroeg ini, ada suatu permaknaan kembali akan pengalaman masa kecil dan pengalaman itu sangat terekam kuat dalam benak Hella, hal itu terlihat pada cuplikan kalimat berikut:
Bisa kukatakan, Oeroeg melekat pada kehidupanku seperti segel, cap: terlebih sekarang ini, karena setiap hubungan dan kebersamaan sudah menjadi masa lalu untuk selamanya. Aku tak tahu mengapa aku ingin benar-benar memaknai hubunganku dengan Oeroeg, memaknai segala hal yang merupakan arti dirinya bagiku dulu, dan sampai sekarang. Mungkin jarak yang tak terlampaui dan tak terpahami antara dia dan aku yang menyentuh hatiku. Misteri jiwa dan darah itu bagi anak-anak dan remaja bukan merupakan masalah, namun kini semakin terasa menyiksa (h.6).
Analisis sudut pandang Hella
Hella tidak berdiri sebagai orang Barat yang selalu membela atau sepaham dengan orang-orang Belanda pada umumnya. Pertama, dari sudut pandang anak-anak, kemanusiaan dapat dilihat secara jernih dan tulus. Tidak seperti orang dewasa (Belanda) pada umumnya yang sudah punya persepsi tentang bagaimana berkehidupan yang baik (ala mereka), ia menggemari kegiatan-kegiatan yang mungkin pada saat itu tidak lazim dilakukan anak-anak Belanda, hal ini terlihat ketika ia menggambarkan Oeroeg:
1. ia pandai berhadapan dengan binatang, menangkap dan membawa binatang itu tanpa cedera;
2. ia tidak suka mengurus binatang itu;
3.ia senang mengganggu kepiting dengan jerami;
4.ia paling suka perkelahian binatang berbeda jenis;
5. ia tidak memiliki perasaan orang Barat yang sering ingin menolong dan menghargai binatang karena merasakan kedekatan dengan binatang. (h.12)
Hal kedua adalah seorang anak kecil lebih mampu melihat nilai-nilai pertemanan yang tidak tunduk pada perbedaan bahasa dan bangsa, hal ini terlihat ketika narator berusaha meyakinkan ayahnya untuk ikut menyekolahkan Oeroeg, namun awalnya ditolak dengan alasan bahwa Oereog harus belajar Bahasa Belanda (yang santun).
Narator adalah seorang anak Administrateur perkebunan teh di sebuah wilayah di Sukabumi, Jawa Barat. Ia berteman dengan Oeroeg, pribumi, anak dari mandor yang bekerja di perkebunan teh tersebut. Ayah si narator mendatangkan guru bahasa Belanda khusus ke kediamannya sebelum masuk sekolah formal, namanya Mijnheer Bolinger. Ayahnya tidak memperbolehkan Oeroeg untuk ikut belajar bersama, sesekali ibunya mengusir Oeroeg bila sedang belajar, namun Oereoeg akan kembali lagi ke ruangan belajar sambil berdiri di antara pot-pot bunga. Suatu hari keluarga narrator kedatangan tamu. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar bertamasya ke Telaga Hideung, Telaga Hitam, yang letaknya di gunung. Pada saat itu Telaga Hideung disertai dengan mitos yang menyeramkan yaitu tempat berkumpul roh-roh jahat dan arwah-arwah. Nenek Gombel-vampir berwujud wanita tua yang mengintai anak-anak yang telah mati-menghuni tempat itu (h.23). Dalam imajinasi anak-anak, narator bersama Oeroeg berencana mendatangi Telaga Hideung untuk membasmi makhluk-makhluk itu. Akhirnya keluarga narator dan tamu-tamu tersebut pergi ke Telaga Hideung, namun, suatu insiden besar terjadi. Ketika mengantar rombongan tersebut, Deppoh, ayah Oeroeg meninggal karena tenggelam ketika berusaha menyelamatkan narator sewaktu tercebur di telaga itu.
Permasalahannya bukan sekedar Oeroeg dan ayahnya yang mandor itu, namun ketidakadilan yang berpangkal pada memandang rendah manusia lain. Hal ini terlihat pada saat Oeroeg yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan belajar Bahasa Belanda, lalu ikutnya ayah Oeroeg menemani rombonga tamu ke Telaga Hideung, namun hanya bertugas mempertaruhkan nyawa sebagai 'garda depan' untuk memastikan telaga tersebut aman dilalui rakit rombongan, lalu ketika insiden dimana orang-orang dewasa (Belanda) berlari-larian di rakit yang menyebabkan narator terlempar ke telaga tidak ada yang menolong dan dengan inisiatif, Deppoh menolong, namun ia sendiri terbelit tanaman air dan orang-orang (Belanda) itu melakukan pembiaran. Lalu berita kematian ayah Oeroeg adalah seolah berita biasa yang bukan matinya sumber kehidupan dan masa depan sebuah keluarga.
Mungkin karena itulah Oeroeg berusaha mengidentikkan diri dengan kaum Belanda, agar ia memperoleh hak-hak pendidikan dan akses ke kalangan pejabat Belanda lainnya. Bila melihat periode penulisan novel ini dapat diketahui bahwa isu politik etis sedang mengemuka di negeri Belanda. Politik itu menyerukan agar pemerintah kolonial memerhatikan hak-hak dan kemajuan negara jajahannya, jangan hanya sekedar mengambil kekayaan alamnya saja. Corak manajemen perkebunan dari dulu adalah pembedaan hak dan kedudukan antara staf perkebunan dengan buruh kebun. Dan hal itu sayangnya masih diwariskan hingga sekarang. Mungkin Anda tak perlu heran, ketika perkebunan-perkebunan peninggalan Belanda dinasionalisasi menjadi BUMN-BUMN perkebunan seperti PTPN, pemandangan tuan dan pembantu masih 'terlihat' Seorang teman bercerita kepada saya, ketika sedang memberikan workshop pengimplementasian Enterprise Resource Planning (ERP) pada BUMN perkebunan tersebut, masing-masing orang perwakilan dari BUMN tersebut 'didampingi' oleh satu orang yang bertugas membawa-bawa tasnya.
Akhirnya narator menutup kisah dengan bertemunya dirinya dengan Oeroeg. Pertemuan mereka yang sudah menginjak dewasa, tetapi Oeroeg berubah. Oeroeg tidak mengenali dirinya sebagai teman bermain kecil, tetapi bangsa Belanda dan Inlander. Inlander yang melawan.....
Yogyakarta, 15 July 2013
backdated to 30 June 2013 #bacabarengBBI #sastraeropa
Penulis: Hella S. Haasae
Alih Bahasa: Indira Ismail
Editor: Dini Pandia
Desain sampul: Martin Dima
Penerbit: GPU (Oktober 2009)
Novel ini dibuka dengan kalimat: "Oeroeg kawanku." atau dalam Bahasa Belanda: “Oeroeg was mijn vriend." Sepertinya kata-kata itu tidak begitu lazim sebagai pembuka. Namun, kata pertama itu begitu penting karena saat itu karena Hella akan memulai menceritakan dirinya sendiri melalui Oeroeg. Novel ini awalnya dibuat karena Hella diminta berpartisipasi dalam kontes novel yang diadakan oleh Commissie voor de Propaganda van het Nederlandse Boek (CPNB) pada tahun 1947. Dari situsnya diketahui bahwa CPNB ini bertujuan untuk mendorong kebiasaan membaca buku dan membeli buku.
Draft oeroeg |
ada satu keterikatan Hella dengan tokoh Oeroeg ini, ada suatu permaknaan kembali akan pengalaman masa kecil dan pengalaman itu sangat terekam kuat dalam benak Hella, hal itu terlihat pada cuplikan kalimat berikut:
Bisa kukatakan, Oeroeg melekat pada kehidupanku seperti segel, cap: terlebih sekarang ini, karena setiap hubungan dan kebersamaan sudah menjadi masa lalu untuk selamanya. Aku tak tahu mengapa aku ingin benar-benar memaknai hubunganku dengan Oeroeg, memaknai segala hal yang merupakan arti dirinya bagiku dulu, dan sampai sekarang. Mungkin jarak yang tak terlampaui dan tak terpahami antara dia dan aku yang menyentuh hatiku. Misteri jiwa dan darah itu bagi anak-anak dan remaja bukan merupakan masalah, namun kini semakin terasa menyiksa (h.6).
Analisis sudut pandang Hella
Hella tidak berdiri sebagai orang Barat yang selalu membela atau sepaham dengan orang-orang Belanda pada umumnya. Pertama, dari sudut pandang anak-anak, kemanusiaan dapat dilihat secara jernih dan tulus. Tidak seperti orang dewasa (Belanda) pada umumnya yang sudah punya persepsi tentang bagaimana berkehidupan yang baik (ala mereka), ia menggemari kegiatan-kegiatan yang mungkin pada saat itu tidak lazim dilakukan anak-anak Belanda, hal ini terlihat ketika ia menggambarkan Oeroeg:
1. ia pandai berhadapan dengan binatang, menangkap dan membawa binatang itu tanpa cedera;
2. ia tidak suka mengurus binatang itu;
3.ia senang mengganggu kepiting dengan jerami;
4.ia paling suka perkelahian binatang berbeda jenis;
5. ia tidak memiliki perasaan orang Barat yang sering ingin menolong dan menghargai binatang karena merasakan kedekatan dengan binatang. (h.12)
Hal kedua adalah seorang anak kecil lebih mampu melihat nilai-nilai pertemanan yang tidak tunduk pada perbedaan bahasa dan bangsa, hal ini terlihat ketika narator berusaha meyakinkan ayahnya untuk ikut menyekolahkan Oeroeg, namun awalnya ditolak dengan alasan bahwa Oereog harus belajar Bahasa Belanda (yang santun).
Narator adalah seorang anak Administrateur perkebunan teh di sebuah wilayah di Sukabumi, Jawa Barat. Ia berteman dengan Oeroeg, pribumi, anak dari mandor yang bekerja di perkebunan teh tersebut. Ayah si narator mendatangkan guru bahasa Belanda khusus ke kediamannya sebelum masuk sekolah formal, namanya Mijnheer Bolinger. Ayahnya tidak memperbolehkan Oeroeg untuk ikut belajar bersama, sesekali ibunya mengusir Oeroeg bila sedang belajar, namun Oereoeg akan kembali lagi ke ruangan belajar sambil berdiri di antara pot-pot bunga. Suatu hari keluarga narrator kedatangan tamu. Salah seorang dari mereka mengusulkan agar bertamasya ke Telaga Hideung, Telaga Hitam, yang letaknya di gunung. Pada saat itu Telaga Hideung disertai dengan mitos yang menyeramkan yaitu tempat berkumpul roh-roh jahat dan arwah-arwah. Nenek Gombel-vampir berwujud wanita tua yang mengintai anak-anak yang telah mati-menghuni tempat itu (h.23). Dalam imajinasi anak-anak, narator bersama Oeroeg berencana mendatangi Telaga Hideung untuk membasmi makhluk-makhluk itu. Akhirnya keluarga narator dan tamu-tamu tersebut pergi ke Telaga Hideung, namun, suatu insiden besar terjadi. Ketika mengantar rombongan tersebut, Deppoh, ayah Oeroeg meninggal karena tenggelam ketika berusaha menyelamatkan narator sewaktu tercebur di telaga itu.
Telaga Hideung sumber: http://www.hellahaassemuseum.nl/ |
Permasalahannya bukan sekedar Oeroeg dan ayahnya yang mandor itu, namun ketidakadilan yang berpangkal pada memandang rendah manusia lain. Hal ini terlihat pada saat Oeroeg yang tidak diikutsertakan dalam kegiatan belajar Bahasa Belanda, lalu ikutnya ayah Oeroeg menemani rombonga tamu ke Telaga Hideung, namun hanya bertugas mempertaruhkan nyawa sebagai 'garda depan' untuk memastikan telaga tersebut aman dilalui rakit rombongan, lalu ketika insiden dimana orang-orang dewasa (Belanda) berlari-larian di rakit yang menyebabkan narator terlempar ke telaga tidak ada yang menolong dan dengan inisiatif, Deppoh menolong, namun ia sendiri terbelit tanaman air dan orang-orang (Belanda) itu melakukan pembiaran. Lalu berita kematian ayah Oeroeg adalah seolah berita biasa yang bukan matinya sumber kehidupan dan masa depan sebuah keluarga.
Mungkin karena itulah Oeroeg berusaha mengidentikkan diri dengan kaum Belanda, agar ia memperoleh hak-hak pendidikan dan akses ke kalangan pejabat Belanda lainnya. Bila melihat periode penulisan novel ini dapat diketahui bahwa isu politik etis sedang mengemuka di negeri Belanda. Politik itu menyerukan agar pemerintah kolonial memerhatikan hak-hak dan kemajuan negara jajahannya, jangan hanya sekedar mengambil kekayaan alamnya saja. Corak manajemen perkebunan dari dulu adalah pembedaan hak dan kedudukan antara staf perkebunan dengan buruh kebun. Dan hal itu sayangnya masih diwariskan hingga sekarang. Mungkin Anda tak perlu heran, ketika perkebunan-perkebunan peninggalan Belanda dinasionalisasi menjadi BUMN-BUMN perkebunan seperti PTPN, pemandangan tuan dan pembantu masih 'terlihat' Seorang teman bercerita kepada saya, ketika sedang memberikan workshop pengimplementasian Enterprise Resource Planning (ERP) pada BUMN perkebunan tersebut, masing-masing orang perwakilan dari BUMN tersebut 'didampingi' oleh satu orang yang bertugas membawa-bawa tasnya.
Akhirnya narator menutup kisah dengan bertemunya dirinya dengan Oeroeg. Pertemuan mereka yang sudah menginjak dewasa, tetapi Oeroeg berubah. Oeroeg tidak mengenali dirinya sebagai teman bermain kecil, tetapi bangsa Belanda dan Inlander. Inlander yang melawan.....
Yogyakarta, 15 July 2013
backdated to 30 June 2013 #bacabarengBBI #sastraeropa
6 komentar
nyaaaa, aku pernah baca ini 3 tahun yang lalu dan rasanya hampa karena sedih rasanya ;_;
BalasHapus@Mide:
BalasHapusiya..sedih sekali...
terima kasih sudah berkunjung ya :)
memang semua bisa berubah karena waktu,sedih sekali...nice post ,ditunggu kunjungannya ke http://antologisi.tk :D
BalasHapusthanks for sharing
BalasHapussudah punya buku ini tapi belum sempat baca..
@rati: sama-sama mbak...:a
BalasHapusBehh jadi kepengen baca.. Boleh nih dipinjem.. :p
BalasHapus