Sebuah kejutan di tengah Pandemi ini, adalah tidak berhentinya semangat berliterasi. Meski terpisah jarak, gairah manusia untuk terus terhubung dengan sesama maupun lingkungannya seolah terus berontak minta dibebaskan. Buku ini hadir pada awal 2020, tahun yang bernomor kembar, kabisat, tetapi sangat tidak terduga. Sampai kini, virus bermahkota cantik masih mengintai manusia di seluruh dunia. Baru-baru ini ada berkabar tentang vaksin yang sudah masuk fase uji coba. Kita hanya berharap, akses terhadap vaksin tersebut haruslah berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Pergumulan saat ini bukan hanya sehat dan sembuh, tetapi keberlangsungan kehidupan yang saat ini sedang terancam kemiskinan secara masif.
Judul: Keadaan Jakarta Tempo Doeloe: Sebuah Kenangan 1882-1959
Penulis: Tio Tek Hong
Editor: David Kwa
Tebal: 129 halaman
Penerbit: Masup Jakarta Desember 2007 (pertama kali 2006)
ISBN: 9792572910
Sebuah kisah dapat mengalir oleh karena ingatan yang tajam. Saya masih ingat ketika ibu saya menceritakan masa kecilnya. Ibu saya juga menceritakan bagaimana ketika beliau berteman dengan seorang laki-laki yang sekarang menjadi ayah saya. Bagi saya yang mendengarkan cerita, hanya bisa membayangkan suasana peristiwa itu terjadi seraya (mungkin) menyusuri kembali tempat-tempat dimana terjadi peristiwa tersebut.
Tio Tek Hong, seorang pria Tionghoa yang pernah hidup di Jakarta pada akhir abad 19 dan awal abad 20 menceritakan masa kecil hingga dewasanya pada pembaca. Kisah perjalanan hidupnya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Ia adalah saksi keindahan kota Jakarta tempo dulu serta surutnya kekuasaan penjajah kolonial.
Tio Tek Hong dibesarkan dalam keluarga Tionghoa. Ia dilahirkan pada 7 Januari 1877, di Pasar Baru. Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Agustus 1883 sebagai pembuka bab buku ini. Hujan abu serta banyaknya batu apung banyak sekali di sekitar tempat tinggal mereka. Satu hal menarik, ia mencatat bahwa akibat bencana yang menelan banyak korban jiwa itu diciptakan nyanyian Gambang Kromong Kramat Karem.
Penulis: Tio Tek Hong
Editor: David Kwa
Tebal: 129 halaman
Penerbit: Masup Jakarta Desember 2007 (pertama kali 2006)
ISBN: 9792572910
Tio Tek Hong, seorang pria Tionghoa yang pernah hidup di Jakarta pada akhir abad 19 dan awal abad 20 menceritakan masa kecil hingga dewasanya pada pembaca. Kisah perjalanan hidupnya berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat pada waktu itu. Ia adalah saksi keindahan kota Jakarta tempo dulu serta surutnya kekuasaan penjajah kolonial.
Tio Tek Hong dibesarkan dalam keluarga Tionghoa. Ia dilahirkan pada 7 Januari 1877, di Pasar Baru. Letusan dahsyat Gunung Krakatau pada Agustus 1883 sebagai pembuka bab buku ini. Hujan abu serta banyaknya batu apung banyak sekali di sekitar tempat tinggal mereka. Satu hal menarik, ia mencatat bahwa akibat bencana yang menelan banyak korban jiwa itu diciptakan nyanyian Gambang Kromong Kramat Karem.
Judul: Nyai Dasima
Penulis: S.M. Ardan dan G. Francis
Tebal: 138 hlm
Penerbit: Masup Jakarta 2007 (pertama kali 1965)
ISBN13: 9789791570619
Batavia pada awal abad 19. Belanda dikuasai Prancis pada 1806, Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Daendels untuk mereformasi Batavia pada 1808. Daendels mengubah perilaku orang Eropa dahulu (Belanda) yang melarang orang Eropa memperkerjakan orang-orang pribumi tanpa dibayar. Selanjutnya yang paling mengerikan adalah kerja paksa membangun jalan Anyer-Panarukan untuk mengantisipasi kekuatan laut Inggris yang hebat.Selanjutnya, Daendels digantikan oleh Sir Thomas Stanford Raffles pada 1811. Raffles membawa perubahan dalam kehidupan sosial Batavia. Orang Inggris mencatat pengamatan mereka dengan orang Batavia (pribumi) sebagai berikut:
Penulis: S.M. Ardan dan G. Francis
Tebal: 138 hlm
Penerbit: Masup Jakarta 2007 (pertama kali 1965)
ISBN13: 9789791570619
Batavia pada awal abad 19. Belanda dikuasai Prancis pada 1806, Napoleon Bonaparte menunjuk Herman Daendels untuk mereformasi Batavia pada 1808. Daendels mengubah perilaku orang Eropa dahulu (Belanda) yang melarang orang Eropa memperkerjakan orang-orang pribumi tanpa dibayar. Selanjutnya yang paling mengerikan adalah kerja paksa membangun jalan Anyer-Panarukan untuk mengantisipasi kekuatan laut Inggris yang hebat.Selanjutnya, Daendels digantikan oleh Sir Thomas Stanford Raffles pada 1811. Raffles membawa perubahan dalam kehidupan sosial Batavia. Orang Inggris mencatat pengamatan mereka dengan orang Batavia (pribumi) sebagai berikut:
Banyak orang Inggris yang melihat warisan rasial yang bercampur aduk dari para isteri teman-teman Belanda mereka. Kurangnya pendidikan berakibat tidak adanya bahasa penghubung yang dapat digunakan untuk berkomunikasi (Jean Gelman Taylor, Kehidupan Sosial di Batavia, Masup Jakarta, 2009)
Mayor Jantje: Cerita Tuan Tanah Batavia Abad Ke-19
by Johan Fabricius
Paperback, 188 pages
Published February 2008 by Masup Jakarta (first published 1979)
ISBN 9793731230
Mayor Jantje. Itulah gelarnya. Nama aslinya adalah Augustin Michele, sementara Mbok Sita-pembantu yang sudah tinggal lama bersamanya- dan budak-budaknya memanggilnya Sinto Sten. Perjalanan sang tuan tanah sekaligus pemimpin pasukan kaum Papang ini menjadi menarik, karena ia adalah pencetus kesenian daerah betawi. Kecintaannya pada pesta dan musik membuat banyak orang senang, sekaligus mencibir. Senang datang dari teman-temannya yang diundangnya untuk menginap di Villa Citrap, sedangkan yang mencibir datang dari Mbok Sita, pembantunya, dan dari Agraphina, putrinya.
by Johan Fabricius
Paperback, 188 pages
Published February 2008 by Masup Jakarta (first published 1979)
ISBN 9793731230
Mayor Jantje. Itulah gelarnya. Nama aslinya adalah Augustin Michele, sementara Mbok Sita-pembantu yang sudah tinggal lama bersamanya- dan budak-budaknya memanggilnya Sinto Sten. Perjalanan sang tuan tanah sekaligus pemimpin pasukan kaum Papang ini menjadi menarik, karena ia adalah pencetus kesenian daerah betawi. Kecintaannya pada pesta dan musik membuat banyak orang senang, sekaligus mencibir. Senang datang dari teman-temannya yang diundangnya untuk menginap di Villa Citrap, sedangkan yang mencibir datang dari Mbok Sita, pembantunya, dan dari Agraphina, putrinya.
Medan Merdeka-Jantung Ibukota RI
Penyusun: Adolf Heuken, SJ
Penerbit: Yayasan Cipta Loka Caraka (2008)
Buku ini diterbitkan dengan dukungan Hanns Seidel Foundation Jakarta.
Memori-memori tertentu tetap tinggal dalam ingatan. Itu semua bersifat pribadi dan menjadi simbol-simbol yang tidak dapat terhapus sehingga dapat membantu kita untuk memahami apa yang terjadidi masa lalu. Masing-masing kita hidup dengan sebuah arsip berisikan memori-memori tertentu. Kadang kala, kita menarik kembali wilayah itu, menyusun kembali berbagai percakapan dan masa-masa kritis, membuatnya terlihat hidup sehingga sepertinya itu semua baru saja terjadi kemarin. Dengan kata lain, kekuatan memori itu tetap terasa ada bersama kita.
(Gary M Burge dalam "Palestina Milik Siapa")
Banyak berjalan, banyak dilihat. Begitu kata pepatah. Rasanya tidak lengkap kalau ke Jakarta, tidak melalui kawasan ini. Sebab tempat inilah yang menjadi saksi bisu pasang surutnya pergolakan melawan penjajah, hingga merdeka, hingga saat ini.
Penyusun: Adolf Heuken, SJ
Penerbit: Yayasan Cipta Loka Caraka (2008)
Buku ini diterbitkan dengan dukungan Hanns Seidel Foundation Jakarta.
Memori-memori tertentu tetap tinggal dalam ingatan. Itu semua bersifat pribadi dan menjadi simbol-simbol yang tidak dapat terhapus sehingga dapat membantu kita untuk memahami apa yang terjadidi masa lalu. Masing-masing kita hidup dengan sebuah arsip berisikan memori-memori tertentu. Kadang kala, kita menarik kembali wilayah itu, menyusun kembali berbagai percakapan dan masa-masa kritis, membuatnya terlihat hidup sehingga sepertinya itu semua baru saja terjadi kemarin. Dengan kata lain, kekuatan memori itu tetap terasa ada bersama kita.
(Gary M Burge dalam "Palestina Milik Siapa")
Banyak berjalan, banyak dilihat. Begitu kata pepatah. Rasanya tidak lengkap kalau ke Jakarta, tidak melalui kawasan ini. Sebab tempat inilah yang menjadi saksi bisu pasang surutnya pergolakan melawan penjajah, hingga merdeka, hingga saat ini.
Batavia Kota Hantu by Alwi Shahab
My rating: 4 of 5 stars
234 pages
Published February 2010 by Penerbit Republika
ISBN 9789791102742
Ditulis oleh seorang wartawan senior pemerhati serius masalah sosial budaya kota Jakarta. Alwi Shabab lahir di Kwitang, Jakarta Pusat 31 Agustus 1936. Catatan Kwitang, konon berasal dari nama seorang Cina, Kwee Tiang Kam, yaitu penjual obat tradisional yang masyhur. Saking terkenalnya, kediaman penjual obat ini disebut Kwitang. ia telah menjalani profesi sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun. Tahun 1960 ia bekerja kantor berita Arabian Press Board di Jakarta. Sejak Agustus 1963 ia bekerja di Kantor Berita Antara. Selama sembilan tahun (1969-1978), ia menjadi wartawan Istana. setelah pensiun dari Antara tahun 1993, ia bergabung dengan Harian Umum Republika.
My rating: 4 of 5 stars
234 pages
Published February 2010 by Penerbit Republika
ISBN 9789791102742
Ditulis oleh seorang wartawan senior pemerhati serius masalah sosial budaya kota Jakarta. Alwi Shabab lahir di Kwitang, Jakarta Pusat 31 Agustus 1936. Catatan Kwitang, konon berasal dari nama seorang Cina, Kwee Tiang Kam, yaitu penjual obat tradisional yang masyhur. Saking terkenalnya, kediaman penjual obat ini disebut Kwitang. ia telah menjalani profesi sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun. Tahun 1960 ia bekerja kantor berita Arabian Press Board di Jakarta. Sejak Agustus 1963 ia bekerja di Kantor Berita Antara. Selama sembilan tahun (1969-1978), ia menjadi wartawan Istana. setelah pensiun dari Antara tahun 1993, ia bergabung dengan Harian Umum Republika.
Gereja-gereja Tua di Jakarta by Adolf Heuken
My rating: 4 of 5 stars
Gereja-gereja Tua di Jakarta
Seri: Gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta
Yayasan Cipta Loka Caraka
2003
240 hlm
inilah kalimat dalam pembuka buku ini. Adolf Heuken, seorang pastor berkebangsaan Jerman, sangat menyukai sejarah. Baginya, tempat dimana ia tinggal, ia harus mengetahui asal muasalnya. Sewaktu ia tinggal di Mangga Besar, ia bertanya pada orang di sekitarnya tentang latar belakang Mangga Besar. Ia tidak puas, karena jawabannya macam-macam dan bervariasi.
Akhirnya, ia melakukan riset sendiri. Mengumpulkan buku-buku dan artikel dan menelusuri kembali Jakarta, ia menulis buku tentang Jakarta tempo dulu. Akhirnya ia sendiri lebih terkenal sebagai seorang penulis dibandingkan sebagai seorang pastur.
Bersama Yayasan Cipta Loka Karya yang didirikannya, ia menulis serta menerbitkan buku buku antara lain Kamus Dwibahasa Indonesia-Jerman (ditulis bersama E.R.T. Sinaga; buku ini sangat populer dan bajakannya dapat dijumpai di mana-mana) dan kebalikannya, Deutsch-Indonesisch Wörterbuch, serta buku mengenai sejarah Jakarta: Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Selain itu ia juga membuat bibliografi mengenai sejarah Jakarta berjudul Sumber-sumber asli sejarah Jakarta. Ia juga menulis buku sejarah mengenai gereja dan masjid tua di Jakarta. Untuk kalangan internal katolik ia menulis pula Ensiklopedia Katolik dan Jungen für Christus: Ein Buben-Buch yang ditulisnya bersama Roman Bleistein.
Buku ini adalah buku pertama dari trilogi seri Gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta. Dalam buku ini, kita mengetahui mengapa ada Gereja Portugis di Batavia kala itu,padahal yang berkuasa adalah Belanda. Salah satu peninggalan gereja Portugis ada di Jalan Pangeran Jayakarta, Mangga Besar.
Dari bacaan ini kita juga diajak untuk menghargai bangunan-bangunan kuno di Jakarta, karena pemerintah sendiripun tidak memberi perhatian untuk itu. Dicetak di atas kertas lux, sehingga enak dibaca. pembaca juga diajak berimajinasi dengan melihat lukisan-lukisan kuno (sebagai pengganti foto) Batavia.
Pada penutup kata pengantarnya, Adolf Heuken mengatakan,
My rating: 4 of 5 stars
Gereja-gereja Tua di Jakarta
Seri: Gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta
Yayasan Cipta Loka Caraka
2003
240 hlm
Orang yang tidak mengenal masa lalu, akan kehilangan masa depannya
inilah kalimat dalam pembuka buku ini. Adolf Heuken, seorang pastor berkebangsaan Jerman, sangat menyukai sejarah. Baginya, tempat dimana ia tinggal, ia harus mengetahui asal muasalnya. Sewaktu ia tinggal di Mangga Besar, ia bertanya pada orang di sekitarnya tentang latar belakang Mangga Besar. Ia tidak puas, karena jawabannya macam-macam dan bervariasi.
Akhirnya, ia melakukan riset sendiri. Mengumpulkan buku-buku dan artikel dan menelusuri kembali Jakarta, ia menulis buku tentang Jakarta tempo dulu. Akhirnya ia sendiri lebih terkenal sebagai seorang penulis dibandingkan sebagai seorang pastur.
Bersama Yayasan Cipta Loka Karya yang didirikannya, ia menulis serta menerbitkan buku buku antara lain Kamus Dwibahasa Indonesia-Jerman (ditulis bersama E.R.T. Sinaga; buku ini sangat populer dan bajakannya dapat dijumpai di mana-mana) dan kebalikannya, Deutsch-Indonesisch Wörterbuch, serta buku mengenai sejarah Jakarta: Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta. Selain itu ia juga membuat bibliografi mengenai sejarah Jakarta berjudul Sumber-sumber asli sejarah Jakarta. Ia juga menulis buku sejarah mengenai gereja dan masjid tua di Jakarta. Untuk kalangan internal katolik ia menulis pula Ensiklopedia Katolik dan Jungen für Christus: Ein Buben-Buch yang ditulisnya bersama Roman Bleistein.
Buku ini adalah buku pertama dari trilogi seri Gedung-gedung ibadat yang tua di Jakarta. Dalam buku ini, kita mengetahui mengapa ada Gereja Portugis di Batavia kala itu,padahal yang berkuasa adalah Belanda. Salah satu peninggalan gereja Portugis ada di Jalan Pangeran Jayakarta, Mangga Besar.
Dari bacaan ini kita juga diajak untuk menghargai bangunan-bangunan kuno di Jakarta, karena pemerintah sendiripun tidak memberi perhatian untuk itu. Dicetak di atas kertas lux, sehingga enak dibaca. pembaca juga diajak berimajinasi dengan melihat lukisan-lukisan kuno (sebagai pengganti foto) Batavia.
Pada penutup kata pengantarnya, Adolf Heuken mengatakan,
semoga sajian ini merangsang orang untuk menggiatkan penyelidikan sejarah. Siapa tahu, fakta baru mungkin ditemukan