Kurang lebih setahun setelah terbitnya novel ini, sudah cukup banyak review atau resensinya. Sekilas dari review yang saya baca, banyak pembaca yang mengaitkan atau berharap novel ini berisi kalimat puitis indah seperti halnya puisi Hujan Bulan Juni yang termasyhur itu. Inti ceritanya bisa dikatakan cukup biasa ditemukan dalam novel lainnya. Namun, proses dan kisah ceritanya tentu berbeda. Justru disitu letak kepiawaian pengarang mengolah serta meramu kisah menjadi suatu cerita.Saya hanya membatasi poin-poin terkait dengan puisi dan situasi sosial tokoh-tokoh utama novel ini yaitu Aarwono, Pingkan Pelenkahu, abangnya Pingkan,Toar Pelenkahu, dan Hartini, ibu Pelenkahu bersaudara.
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.
sumber: kompas.com |
Novel Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono
Editor: Mirna Yulistianti
Desainer Cover: Iwan Gunawan
Gramedia, 2015
ISBN 978-602-03-1843-1
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Misal
Misalkan Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(Jokpin, 2016)
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
/1/
Bayang-bayang hanya berhak setia
Menyusur partitur ginjal
Suaranya angin tumbang
Agar bisa perpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang-bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, air mata itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan-anganku
Luka itu, muara itu
/2/
Di jantungku
Sayup terdengar
Debarmu hening
Di langit-langit
Tempurung kepalaku
Terbit silau
Cahayamu
Dalam intiku
Kau terbenam
/3/
Kita tak akan pernah bertemu:
Aku alam dirimu
Tiadakah pilihan lain
Kecuali di situ?
Kau terpencil dalam diriku
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.