Dan Damai Di Bumi!
Jumat, Juni 12, 2009Dan Damai Di Bumi! by Karl May Hendarto Setiadi (Translator)
My rating: 4 of 5 stars
592 pages
Published 2002 by Kepustakaan Populer Gramedia (first published 1958)
ISBN 9799023807
Dan Damai di Bumi.
Salah Kisah petualangan Karl May yang ditulis dalam bentuk Novel. Perjalanannya mulai dari Cairo, Ceylon (Sri Lanka), Penang, Atjeh, dan Tiongkok terangkum dalam novel ini. Bersama dengan pelayannya Sayyid Omar, ia menghadapi banyak peristiwa yang sangat mengejutkannya sebagai seorang manusia, penulis, dan sebagai petualang dunia. Perjalanannya ke Timur seperti layaknya perjalanan ziarah menyusuri awalnya peradaban manusia di dunia. Penulisan novel ini lebih tepatnya adalah perjalanan batin bukan perjalanan seperti "Jejak Petualang."
Menyingkirkan persepsi apalagi merubahnya, adalah pekerjaan yang sangat sulit. Apalagi selubung persepsi telah begitu lama menutupi seseorang. Jadi harap maklum, persepsi akan begitu membutakan seseorang dan boleh jadi membuat seseorang tidak dapat berpikiran jernih. Hal itu juga yang menghinggapi Karl May. Pada novel-novelnya yang lain, ia menggambarkan perjalanannya dengan begitu detil dengan topografinya. Namun, lewat novel ini ia tidak mementingkan hal itu. Pemicu utamanya adalah ketika perjalanannya ke Timur pada 1899-1900 yang hingga sampai ke Sumatra, ia menemukan kenyataan yang berbeda dengan khayalannya selama ini.
Dalam novel ini, ia disapa dengan Charley oleh seorang Gubernur Inggris dan keponakannya, John Raffley. Ia juga dipanggil Sihdi oleh pelayannya, Sayyid Omar, yang dibawanya dari Kairo.
Suatu kebetulan yang dianggap sebagai hal yang wajar dalam misteri kehidupan. Pertemuannya dengan misionaris Amerika, Waller dan putrinya Mary, menjadi rangkaian kisah yang menegangkan. Sang misionaris rupa-rupanya terjerumus dalam suatu problem yang sangat pelik. Sang misionaris melakukan tindakan yang hampir merenggut nyawanya. Di Mesir, ia hampir dijatuhi hukuman mati, namun akhirnya berhasil diselamatkan berkat kerjasama Karl May dan pelayannya, Sayyid Omar. Perjalanan selanjutnya adalah ke Srilanka dan ke Penang. Sebelumnya, pertemuannya dengan Ayah-Anak, Fu dan Tsi, menjadi modal besar untuk melakukan pekerjaan besar. Tak disangka, akhirnya ia harus "berurusan" lagi dengan sang misionaris ini, ketika ia bertemu dengan putri misionaris di sebuah bank di Penang. Mary sedang berusaha mengambil uang tebusan sebab ayahnya, Waller sedang ditawan oleh suku Melayu di pedalaman Aceh. Beruntungnya saat itu ia sedang bersama dengan Gubernur Inggris dan keponakannya, John Raffley. Berkat pengaruh Sang Gubernur, Mary memeroleh uang tebusan itu dan segera berangkat menuju Aceh. John Raffley menawarkan bantuan dengan kapalnya untuk berangkat ke Ulele, pelabuhan Aceh.
Kapal yang mereka tumpangi adalah kapal yang sangat bagus dan modern. kapal itu diberi nama "Yin." Nama itu ternyata adalah nama istri John Raffley, seorang wanita dari Tiongkok yang menuntut ilmunya di Eropa di bidang arsitektur. Dalam rombongan tersebut, ikut pula Tsi, seorang dokter muda lulusan Eropa, ia dan Ayahnya, Fu sempat bertemu dengan Karl May ketika di Kairo. Tsi dan ayahnya juga mengenal sang misionaris dan putrinya, ia sangat terbeban untuk ikut ambil bagian dalam pembebasan Sang Misionaris ke Sumatera.
Sang Gubernur adalah sosok orang Eropa pada umumnya, dalam benaknya ia menganggap bahwa orang Timur itu adalah orang bodoh dan sepatutnya tunduk pada ras kulit putih. Baginya, kepercayaan orang Timur adalah kekafiran. Satu-satunya yang benar di dunia ini adalah kristen. Namun, perkenalannya dengan Sayyid Omar, Tsi, dan pemuka suku Melayu di Aceh membuatnya berubah. Ia melihat bahwa yang dalam dunia ini ada suatu hal yang mempersatukan umat manusia. Kasih, cinta, dan perdamaian. Itulah agama universal. Itulah yang dilihatnya dalam diri Sayyid Omar, Tsi, dan pemuka suku Melayu. Sungguh, baru kali itu ia bertemu dengan sesuatu hal diluar dirinya yang membuatnya mengubah pandangannya akan dunia secara total.
Pembebasan Sang Misionaris ternyata tidak sampai harus menebusnya dengan sejumlah uang yang dibawa dari Penang. Namun pembebasan yang sesungguhnya adalah pembebasan akan "sesuatu" dalam diri Misionaris itu. Sepulang dari Aceh, mereka melanjutkan perjalanan ke Tiongkok sembari menyembuhkan penyakit si Misionaris. Penyakit disentrinya berangsur sembuh berkat pengetahuan kedokteran yang baik dari dokter Tsi. Namun yang paling utama adalah penyembuhan jiwa misionaris itu. Perilakunya tak ubah seperti orang tidak waras. Berbagai rupa "roh" merasuki jiwanya. Tsi yang juga penggemar ilmu psikologi menceritakan tentang legenda cina, bahwa ada baju selam yang digunakan penyelam agar bisa digunakan menyelam di laut. Baju selam itu punya masing-masing tugas khusus. Ada baju selam untuk mencari mutiara, ada baju selam buat mencari ikan, dan sebagainya. Penyelam akan menggunakan baju selam yang sudah ditentukan sebelumnya. Jika ia tidak berhasil menunaikan tugasnya dengan baju selam itu, maka ia harus menanggalkan baju selamnya, dan beralih ke baju selam lain sesuai dengan tugasnya. Kejadian yang menimpa misionaris, ibarat baju selamnya ditinggalkan sang penyelamnya. Selama ini misionaris berjuang untuk menyebarkan ajaran kristen, tapi bukan menyebarkan kasih. Pekerjaan misionarisnya adalah pembuktian untuk mempertaruhkan nama baik keluarga, bukan karena ingin menciptakan perdamaian. Ia menganggap semua orang Timur dengan segala kebudayaannya adalah suatu yang kafir dan najis. Namun ia sendiri tidak menyadari siapa yang sebenarnya tidak punya hati nurani.
Perjalanan ke Timur bukan saja berdampak pada Waller,namun pada sang Gubernur Inggris. Persepsinya tentang dunia timur yang kuno dan tidak bersahabat, menjadi luluh. Apalagi ketika mengetahui bahwa keponakannya John Raffley menikahi Yin. Ia sangat mengagumi spiritualitas orang Melayu dan Tiongkok, dimana sangat menghargai persahabatan dan perdamaian manusia, kerendahan hati, dan ketulusan sangat dijunjung tinggi.
Novel klasik karya pengarang yang dikagumi Hitler ini sangat baik dibaca. Didalamnya terdapat nilai-nilai spiritual yang membuat manusia seharusnya tidak menjadi "penguasa" sesamanya.Novel ini menjadi agak berat, karena pengetahuan saya yang terbatas mengenai konteks sosial budaya masyarakat Tiongkok dan Melayu. Syair-syair yang dibuat sangat indah, membawa pesan kemanusiaan dan perdamaian. Namun mengapa syairnya tidak dapat membawa pesan perdamaian itu pada Adolf Hitler, yang notabene sama-sama orang Jerman?
1 komentar
Keren banget ya novel ini, must read nih :a Saya ngefans nih ama karya Karl May yg lain saat masih kecil, itu si Old Shutterhand dan Winetou. Banyak sekali filosofi kehidupan yg dipaparkan May secara implisit pada karya-karyanya.
BalasHapusOya, tentang kenapa perdamaian itu tak masuk ke jiwa Hitler, saya mau koreksi ya. Hitler bukan orang Jerman. Dia orang Austria :d Beneran, klo gak percaya gugling aja. Gara2 kelakuan dia, tak ada orang Jerman yg bangga memiliki nama depan Adolf. Suatu fakta yg baru saya ketahui saat saya berbincang dg teman saya yg orang sana *eh malah oot :c