Nak, Belajarlah Soal Uang | Jeong Seon Yong (Jeong Story)

Jumat, September 16, 2022

 Nak, jangan bertemu dengan penipu. Untuk mencegahnya, janganlah menjadi orang yang srakah. Jangan juga menjadi orang yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan, tetapi jangan pula menjadi orang yang terlalu tahu sehingga bisa ikut menipu bersama mereka. Nak, senjata yang bisa melawan dunia yang begitu kejam ini adalah "pengetahuan ekonomi". Karena itulah aku selalu tekankan padamu dan saudaramu untuk belajar ekonomi. Mari kita belajar ekonomi bersama dan berusaha untuk tidak menjadi orang yang terlalu lugu ataupun orang jahat. (Hlm 156).

 

Judul Asli: Son, you need to study money

Penulis: Joong Seon-yeong 2021

Alih bahasa: Citra Ananda Lestari

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2022

Isi: 306 halaman

Mengapa kita tidak begitu tertarik membahas uang dari kecil? mengapa seolah-olah uang adalah benda yang diklasifikasikan dengan ketamakan? tidak salah sih, tetapi akhirnya kita mendapat pemahaman yang tidak lengkap. Cerita tentang uang sering juga didramatisir menjadi cerita sedih, karena tidak ada uang tidak bisa sekolah, tidak bisa memenuhi keinginan, dan tidak bisa lainnya. Sementara bagaimana mengelola uang terlebih mendapatkan uang lebih, tidak pernah diajarkan secara khusus oleh orang tua atau guru kita.

Membaca buku ini saya teringat dengan ibu saya. Sebetulnya prinsip-prinsip ekonomi telah ia ajarkan dari kecil. Seperti tidak membeli video game, tidak menggunakan parabola, bahkan tidak membeli beras yang berkualitas bagus. Sementara itu dari kecil kami cukup terbiasa membeli pakaian bekas dari toko Namboru di kota kami di Takengon. Bahkan, untuk berlibur seringkali membawa bekal sendiri. Mungkin ibu saya paham, bahwa anak-anaknya harus ditempa kehidupan keras yang tidak mudah. 

Kembali ke buku ini, penulis memberi nasihat kepada anaknya untuk memiliki pengetahuan akan ekonomi, pengetahuan uang, pengetahuan bagaimana uang didapat dan bekerja. Hal itu ia beritakan kepada anaknya dalam bentuk surat-surat pendek. Ia bercermin pada kondisi yang ia alami setelah selepas pensiun dari Perusahaannya setelah 25 tahun bekerja. Ia memberi nasihat agar lebih bijaksana dengan cara memahami dan mengenali uang. Pada dasarnya uang diperoleh dari pekerjaan, dari uang yang dipinjam dan dari uang yang bekerja. Konsep dasar ini yang tampaknya tidak pernah saya terima sejak dari sekolah. Bahwa pada etnis tertentu seperti suku Cina dan Padang, tampaknya sudah mendidik anak-anaknya untuk mandiri bekerja dengan dengan bertanggung jawab mencari uang sejak dini.

Hidup menabung dan berhemat. Hal itu itu penting, namun tidak akan membuat kaya. Menurut Penulis, kaya itu penting, agar di masa kemudian, tidak hanya menyusahkan generasi penerus, namun memberikan kehidupan berkualitas bagi anak-cucu. Karena itu, memahami cara uang bekerja sendiri dan mulai mengarahkan sumber daya ke sana, menjadi poin penulis. Bagaimanapun, fisik akan terus melemah, karena itu pekerjaan dari mengandalkan fisik juga akan berakhir. Penulis menggambarkan dua penyanyi Korea yang pada masa jayanya sangat kaya raya, namun pada usia lanjutnya, yang satu tetap sejahtera yang satu merana. Karena penyanyi yang satu telah "menyimpan" kekayaannya dalam bentuk lagu dan hak cipta, bukan sekedar manggung dari konser ke konser. 

Demikian juga pernikahan. Bahwa cinta itu penting. Namun tidak cukup. Bagaimanapun setiap pernikahan berdiri di atas pondasi ekonomi. Pernikahan yang berkualitas didukung dengan kemapanan ekonomi yang cukup. Karena itu, tak sekedar menikahi yang rupawan/rupawati, tetapi menelisik lebih jauh mengenai keberlangsungan pernikahan itu sendiri dari faktor-faktor logis yang membiayai kehidupan  pernikahan beserta ikutannya. 

Selanjutnya dalam buku ini tidak hanya membahas tentang uang atau ekonomi. Penulis memberi tahu perbedaan restoran Jepang, Korea dan Cina. Orang Korea mementingkan memasak dengan cinta dan perasaan. Karena itu, Orang Korea bisa dikatakan lebih suka makan di rumah, karena bagi mereka penting memakan masakan yang disiapkan oleh orang yang dicintai. Masakan Jepang kental dengan pedang. Karena itu, masakan Jepang terkenal dengan potongan, sayatan pisau. Tak heran modelnya adalah sayatan ikan yang diisi macam-macam makanan. Sementara Cina, masakannya identik dengan api. Karena itu, makanannya banyak tumis-tumisan dengan api berlebih. Panas dan banyak. Jadi cara mereka berbisnis makanan juga terlihat seperti itu. Restoran Cina banyak dan murah, restoran Korea lebih mahal namun jarang, sementara Jepang, ada unsur teknik tinggi. 

Tampaknya tak ada yang baru di dunia ini. Dunia terus berjalan dengan takdirnya, namun takdir itu berdiri atas pilihan-pilihan yang kita buat di masa lalu maupun masa kini. Penulis menggambarkannya seperti koordinat. Sumbu x menggambarkan waktu, dan sumbu y menggambarkan pilihan. Maka koordinat pilihan dan waktu itulah yang menjadi takdir kita. Saya hanya berpikir betapa berbahayanya jika terjadi kita salah memilih atau tidak memilih, karena pengetahuan yang tidak ada.  Saya membayangkan ketika waktu menuntut pilihan, jika kita cukup asal-asalan, maka kita bisa bayangkan takdir seperti apa yang akan dihadapi.

Kembali saya mengingat pilihan-pilihan dulu. Tetapi entahkah takdir saya dipilihkan atau ada tangan Tuhan lewat orang lain yang menyelamatkan saya. Tugas saya harus mengingatkan anak-anak saya tentang pelajaran yang dulu tidak saya terima: betapa waktu tidak akan kembali.

Mangga besar, 16092022

Helvryws 

You Might Also Like

0 komentar