Seperti Seri Selamat lainnya, buku Selamat Bercinta ini merupakan permenungan atas suatu istilah: cinta. Istilah Cinta yang diulas dalam buku ini bukan semata-mata cinta yang biasa ditulis oleh para penyair, namun cinta yang di dalamnya ada komitmen, perbuatan nyata, berkomunikasi serta hal-hal lain. Dalam salah satu tulisannya, Andar kembali menuliskan pengalaman terburuk selama ia masih anak-anak adalah ketakutannya pada kelaparan. Baginya, lapar merupakan monster yang sangat mengerikan. Selain itu, ia mengulas juga tentang Raja Pontas Lumbantobing, seorang pemimpin suku Batak yang sangat sedikit diceritakan peran dan teladannya dalam khasanah perkembangan sosial masyarakat Batak.
Tidak sengaja saya temukan buku ini di aplikasi iJak, ketika sedang mencari-cari buku/artikel tentang sertifikat tanah. Saya yang bukan Sarjana Hukum merasa perlu sedikit mengetahui tentang apa dan bagaimana terkait pertanahan ini. Banyak kasus sengketa tanah di Indonesia, yang bermula dari administrasi pertanahan yang kacau.
Pensertipikatan Tanah Bekas Hak Eigendom
Penulis: Elza Syarief
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tanggal terbit: 3 Februari 2014
Intinya, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria mengamanatkan supaya seluruh tanah Republik ini terdaftar, apalagi pada saat sebelum UUPA itu diterbitkan ada beberapa ketentuan dari Pemerintah Belanda yang masih 'hidup' mengatur hak-hak atas tanah. Eigendom sendiri merupakan warisan Belanda dan karena kemerdekaan Indonesia, ditinggalkan oleh pemiliknya (notabene orang/perusahaan Belanda).
Buku ini merupakan thesis Elza Syarief ketikan menempuh pendidikan magister di Univeristas Padjadjaran, Bandung. Hal yang patut ditiru oleh para pembuat thesis yaitu membukukan karya tulisnya pada sebuah buku, sehingga ilmu itu bukan hanya dinikmati/dikonsumsi di kampus saja, tetapi pada masyarakat luas.
Jakarta, 4 Nov 2016
Kurang lebih setahun setelah terbitnya novel ini, sudah cukup banyak review atau resensinya. Sekilas dari review yang saya baca, banyak pembaca yang mengaitkan atau berharap novel ini berisi kalimat puitis indah seperti halnya puisi Hujan Bulan Juni yang termasyhur itu. Inti ceritanya bisa dikatakan cukup biasa ditemukan dalam novel lainnya. Namun, proses dan kisah ceritanya tentu berbeda. Justru disitu letak kepiawaian pengarang mengolah serta meramu kisah menjadi suatu cerita.Saya hanya membatasi poin-poin terkait dengan puisi dan situasi sosial tokoh-tokoh utama novel ini yaitu Aarwono, Pingkan Pelenkahu, abangnya Pingkan,Toar Pelenkahu, dan Hartini, ibu Pelenkahu bersaudara.
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.
sumber: kompas.com |
Novel Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono
Editor: Mirna Yulistianti
Desainer Cover: Iwan Gunawan
Gramedia, 2015
ISBN 978-602-03-1843-1
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Misal
Misalkan Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(Jokpin, 2016)
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
/1/
Bayang-bayang hanya berhak setia
Menyusur partitur ginjal
Suaranya angin tumbang
Agar bisa perpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang-bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, air mata itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan-anganku
Luka itu, muara itu
/2/
Di jantungku
Sayup terdengar
Debarmu hening
Di langit-langit
Tempurung kepalaku
Terbit silau
Cahayamu
Dalam intiku
Kau terbenam
/3/
Kita tak akan pernah bertemu:
Aku alam dirimu
Tiadakah pilihan lain
Kecuali di situ?
Kau terpencil dalam diriku
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.
Istilah di atas muncul berdasarkan tulisan Anindita S. Thayf di harian Republika, Mei 2016 lalu. Tulisan tersebut mendapat sambutan hangat baik dari sastrawan, sastrawati, sosialitawan, maupun sosialitwati.Tulisan tersebut menarik direspon karena menulis berbagai fenomena yang ditangkap penulis dengan kacamata 'seharusnya sastrawan seperti...' dan 'kenyataannya sastrawan seperti....'. Dari perjalanan kesusastraan Indonesia, telah terjadi perkembangan perdebatan bahkan berujung polemik.
Sejarahnya, riwayat sastra Indonesia zaman dulu berpusat pada Balai Pustaka. Semua karya sastra yang 'mendapat stempel' Balai Pustaka dianggap berkelas sastra tinggi, elit, terpelajar. Akibatnya, karya sastra di luar Balai Pustaka tak dikenal, bahkan dianggap liar oleh Balai Pustaka. Nota Rinkes (1910) menyebutkan tiga syarat naskah Balai Pustaka: 1) tidak mengandung unsur antipemerintah kolonial, 2) tidak menyinggung perasaaan dan etika golongan masyarakat tertentu, 3) tidak menyinggung suatu agama tertentu. Dari zaman Balai Pustaka, kita telah 'disetir' bacaannya, agar memiliki keseragaman.
Kemunculan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), pada tahun 1950an membuka polemik sastra baru di Indonesia. Lekra memiliki konsep ideologi bahwa soal pengaruh asing yang dimasukkan ke Indonesia kemudian diindonesiakan. Tokoh utama Lekra yang terkenal adalah Pramoedya, sangat deras mengkritik kubu Jassin. Sebagai contoh, Jassin mengkritik Iwan Simatupang, dengan mengatakan bahwa Iwan Simatupang terlalu asyik dengan Albert Camus, dan menyangka dunia saat ini absurd. Dengan judul yang lebih 'keras', Pram membalas tulisan Jassin tersebut dalam tulisannya Offensif Kesusasteraan 1953, dengan subjudul "H.B. Jassin sudah lama mati sebelum gantung-diri" dengan cuplikan di dalamnya yang menyatakan bahwa Jassin tidak berani mengakui, bahwa ia pernah jadi seniman, jadi pengarang yang telah mati sebelum dilahirkan...Tetapi sungguh aneh mengapa Jassin sendiri mencari duit dengan mengumpulkan dan menerbitkan karangan dari pengarang-pengarang yang mulai tahun 1953 ini dicacimakinya. Syukurnya, apa yang mereka pertentangkan itu dalam bentuk tulisan, sehingga warisan tulisan tersebut masih bisa kita pelajari hingga saat ini. Sayang, bukunya tidak dicetak ulang (sampai sekarang).
Meninjau tulisan Anindita ini masih jauh dari mempersoalkan isi karya. atau berpolemik secara argumentatif. Sebagian besar mempersoalkan gaya hidup dan fenomena penulis Indonesia yang berbeda dengan keidealan seharusnya. Namun, hal ini merupakan bukti adanya denyut kehidupan dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Meninjau tulisan Anindita ini masih jauh dari mempersoalkan isi karya. atau berpolemik secara argumentatif. Sebagian besar mempersoalkan gaya hidup dan fenomena penulis Indonesia yang berbeda dengan keidealan seharusnya. Namun, hal ini merupakan bukti adanya denyut kehidupan dalam dunia kesusastraan Indonesia.
Menolak mati
Anindita membuka tulisannya dengan membandingkan kutipan dari Roland Barthes bahwa pengarang telah mati setelah karya tercipta, tidak berlaku pada kondisi kesusastraan Indonesia termutakhir. Menurut Anindita, Penulis (Indonesia) menolak mati. Sastrawan (penulis) sekarang tetap hidup menyiarkan karyanya yang telah tercipta sembari membuat dirinya terus-menerus muncul di depan umum. Pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa penulis tidak perlu menyiarkan karyanya dan tidak perlu terkenal. Menurut saya, kunci terakhir penilai ada di sidang pembaca. Pembaca saat inpun tentu terbagi segmennya. Ada juga pembaca yang menilai secara diam-diam dan mendiskusikannya dalam diskusi terbatas, ada juga yang secara terbuka menilainya dan menyebarkannya melalui saluran media sosial.
Tidak dapat dipungkiri, bahwa sastrawan atau penulispun berasal dari masyarkat, hidup bersama masyakat sosial, mengamati kehidupan sosial. Didalam proses kekreatifan penulisan, gagasan atau ide tersebut, tidak dapat terlepas dari kehidupan yang ia amati, dan rasakan. Pada dasarnya ia memiliki otoritas penuh dalam menulis, dan pembaca memiliki otoritas memaknai. Justru dalam kebebasan keberkaryaannya, penulis mempunyai tanggung jawab sosial mengabarkan dan menceritakan, dan pembaca dapat memperoleh pemaknaan (baru) Disitulah suatu karya berinteraksi dengan masyarakat sosialnya, untuk dikritisi dan didiskusikan, untuk mempertajam dan meningkatkan kepekaan (sosial). Apakah pembaca dapat berdiskusi dengan teks-teks yang mati?
Selanjutnya, Anindita, mempersoalkan suatu keadaan yang menurutnya ideal, yaitu seharusnya Sastrawan bersunyi dalam ruang menghasilkan karya (dengan pena), berbeda dengan keadaan yang terjadi saat ini, yaitu sastrawan unjuk diri agar keberadaannya terjaga lewat gawai (dalam tulisan tersebut gadget). Zaman berubah, teknologi berubah, dan manusia berubah. Peristilahan menulis pun berubah. Jika dulu seseorang menulis menggunakan pena, pensil, kapur 'menggambar' huruf-huruf, saat ini menulis menggunakan papan ketik (keyboard) PC atau laptop. Apakah seluruh penulis saat ini tidak ada yang menggunakan PC/laptop dalam menulis? Masih relevankan penyebutan penulis? apakah lebih tepat pengetik? hal ini akibat perubahan zaman, dimana masyarakat termasuk penulis ikut berubah. Sebagai bagian dari masyarakat, penulis tidak dapat melepaskan diri dari perkembangan teknologi termasuk gawai. Perihal penulis terus unjuk diri adalah perubahan posisi/peran penulis selaku masyarakat. Penggunaan gawai untuk agar terus unjuk diri, sesungguhnya pernyataan berbahaya serta tidak ada korelasi kuat dengan karya yang dihasilkan. Zaman kini dimana sastra tidak melulu dalam tertuang bentuk cetakan pada kertas, perlu saluran alternatif untuk mempromosikan karya, salah satunya lewat perangkat teknologi informasi. Tentunya ajang unjuk diri tersebut punya aturan main, bila menabrak norma sosial, maka sastrawan/penulis tersebut harus siap menerima konsekwensi (sosial)nya.
Event Internasional
Perihal penamaan beberapa event literasi di Indonesia yang menggunakan Bahasa Inggris, saya sependapat dengan Anindita, bahwa alih-alih menggunakan bahasa Inggris untuk mendapat label "internasional", mengapa kita tidak menginternasionalkan (Bahasa) Indonesia? Ada Ubud Writer and Reader Festival, Makassar Internasional Writers Festival, Borobudur Writers and Cultural Festival, Salihara Literary Biennale, dan Asean Literary Festival. Namun, hal yang jauh lebih substansif adalah hasil dari event tersebut. Sila baca liputan Maman Suherman tentang pustaka bergerak. di Mandar, Sulawesi Barat.Ada gerakan gerakan #ArmadaPustaka yang dikelola Muhammad Ridwan Alimuddin (yang bukan sastrawan) bersemangat untuk menghadirkan buku di lingkungan mereka yang menggunakan moda perahu, becak, motor, dan bendi. Pun ketika terjadi perahu pustaka terbalik di lautan Maret 2016 lalu, masyarakat langsung membantu mengeringkan buku-buku dengan menggunakan kipas angin atau dengan menyetrikanya, serta menyatakan bahwa buku yang mereka yang selamatkan adalah bentuk menjaga amanah.
“Buku-buku ini isinya ilmu sekaligus amanah, titipan orang kota yang mau melihat anak-anak pantai di pulau terpencil juga bisa sepintar anak-anak kota. Karena amanah, dia harus sampai pada tujuannya.”
Selain itu, dalam ajang Makassar Internasional Writers Festival, berkumpul ratusan komunitas pegiat literasi di wilayah Sulawesi Selatan untuk berbagi ide dan inspirasi menggerakkan literasi di lingkungannya. Visi besar untuk membebaskan anak-anak Indonesia dari rabun literasi adalah cita-cita yang mulia dan patut didukung. Kita dapat melihat bahwa negara pun gagal melindungi warganegaranya dari kebodohan dengan penyediaan fasilitas literasi publik yang terjangkau masyarakat pedalaman.
Apakah ini hanya event buat sastrawan? saya rasa (seharusnya) tidak. Bahwa terjadi perjumpaan antara penulis dan pembaca, itu betul. Namun, kehadiran penulis bukan saja bicara tentang karya yang sudah dan akan tecipta, namun seharusnya bicara tentang isu-isu yang lebih substantif. Akses terhadap buku, buku yang terjangkau harganya, penciptaan karya sastra yang berbobot untuk anak-anak, adalah isu besar, dan butuh perjuangan banyak pihak untuk mewujudkannya.
sumber: http://societyandstyle.com/ |
Sastrawan sosialita
menurut wikipedia, asal kata sosialita, berasal dari kata "sosial" dan "elit" dimana secara bahasa atau makna aslinya, para kaum "sosialita" adalah sebagai orang-orang yang memiliki derajat tinggi atau terpandang, dan mereka memiliki jiwa sosial terhadap orang-orang yang kurang mampu. Kemudian makna kata sosialita di Indonesia terjadi pergeseran makna yang sangat berbeda dengan makna aslinya.
Untuk menjawab pertanyaan mendasar: kepada siapakah sastra dipersembahkan?
Mengingat Bung Karno, 6 Juni 1901 - 6 Juni 2016
Helvry Sinaga
Buku ini merupakan kumpulan esei sastra oleh Katrin Bandel tentang sastra di Indonesia. St. Sunardi menyatakan bahwa buku ini hadir sebagai respon atas ketidakadilan para pengamat dan penikmat sastra di Indonesia atas karya-karya yang ditulis oleh pengarang perempuan. St. Sunardi menambahkan bahwa kekuatan tulisan Katrin adalah bobot kritik yang cukup kuat, bahkan mendekati polemik. Tentu kita sebagai penikmat sastra, perlu belajar kritik sastra untuk berdiri pada argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan, agar kita berlatih untuk adil berpendapat.
Politik Sastra
Politik sastra sudah ada sejak zaman dahulu. Adanya komisi untuk Bacaan Sekolah dan Rakyat Pribumi (Commissie voor de Inlandsche Acholl-en Volkslectuur) yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka, memilih dan memilah jenis bacaan untuk masyarakat eliti yang jumlahnya terbatas. Pada saat itu sudah bermunculan penerbit swasta milik peranakan Tionghoa, antara 1903-1928 yang telah menerbitkan seratusan novel. Bandingkan dengan Balai Pustaka hanya menerbitkan 20an novel dalam periode yang sama.Sebut saja sastra seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Nyanyi Sunyi. Novel-novel seperti itu dianggap berkelas sastra tinggi untuk dibaca. Direktur Balai Pustaka saat itu, Dr. D.A. Rinkes telah menyadari 'bahaya' bacaaan yang mencerdaskan masyarakat, mengultimatum bahwa bacaan diluar Balai Pustaka adalah bacaan liar. Ini merupakan politik sastra Indonesia dari zaman dulu, dengan pendekatan kekuasaan membatasi masuk dan beredarnya bacaan-bacaan di luar paham/ideologi penguasa.
Pramoedya Ananta Toer telah menggugat kemapanan angkatan-angkatan pujangga seperti Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka. Menurutnya, aliran sastra yang lebih realis adalah aliran sastra seperti yang ia majukan pada saat itu. Namun, kompilasi karya ‘tandingan’ Pramoedya baru muncul setelah ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sebut saja karangan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia serta kumpulan Cerita Dari Digul. Selain itu barubelakangan dikenal Student Hidjo karangan Mas Marco Kartodikromo, dan novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.
Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Savitri dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi, bahwa ada 'pertentangan' antara kelompok kritikus sastra yang menamakan dirinya Gelanggang serta lembaga kebudayaan bentukan PKI: Lekra. Kelompok Gelanggang umumnya terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi dan pemikirannya berorientasi ke barat, sementara Lekra sebaliknya, terdiri dari orang yang tidak berkecukupan dan tulisan-tulisannya mencerminkan kebudayaan lokal. Dalam buku ini, Katrin membandingkan penceritaan tentang Nyai berdasarkan buku Novel Nyai Dasima karangan G. Francis dan Nyai Ontosoroh berdasarkan Bumi Manusia dan lanjutannya. Peran Nyai dalam kedua novel tersebut sangat berbeda. Bahwa berdasarkan Pramoedya, pengalaman hidup Nyai Ontosoroh yang keras, ia memanfaatkan hal-hal baru untuk mencerdaskan kehidupan dan masa depannya. serta sebagai simbol perlawanan konstruksi sosial masyarakat kolonial. sementara berdasarkan G. Francis, Nyai Dasima memiliki stigma sebagai orang yang terpinggirkan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Sastra Koran
Sastra koran merupakan fenomena yang dilihat oleh Katrin sebagai suatu ajang apresiasi seni sastra di koran minggu nasional. Seperti ada kesepakatan bersama, banyak koran nasional yang menyiapkan rubrik sastra pada media koran cetak setiap hari minggu secara serentak. Persoalannya adalah terlihat esei-esei sastra dalam koran minggu tersebut ditujukan pada komunitas sastra, bukan pada pembaca umum. Katrin membandingkan dengan situasi di Jerman. Koran Jerman umumnya tetap menampilkan rubrik sastra, namun dikemas dalam tulisan menarik dan perlu dibaca, sementara bacaan sastra sendiri tetap berlangsung. Persoalan lain yang diutarakan Katrin adalah bahwa redaktur halaman sastra di koran umumnya tidak memiliki kriteria yang jelas dan baku untuk 'meloloskan' karya yang diterbitkan di koran. Tidak ada kemampuan khusus menjadi seorang redaktur untuk menyeleksi banyaknya karya yang masuk untuk diterbitkan di koran.
Bila ditelusuri ke sejarah penerbitan di Indonesia, terbitnya surat kabar pada zaman kolonial merupakan kebutuhan penduduk golongan Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka membutuhkan informasi seperti daftar harga komoditas, jadwal kedatangan dan keberangkatan dalam rangka memperlancar usaha mereka. Selanjutnya, perkembangan bahasa Melayu yang cukup signifikan menuntut tersedianya bahan bacaan untuk memperlancar kemahiran berbahasa Melayu. Muncullah surat kabar, majalah yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa dan mendorong munculnya perkembangan sastra yang didominasi para pengarang Tionghoa, dan salah satu media penulisannya melalui surat kabar.
Situasi tersebut berlangsung hingga saat ini, sepertinya tinggal melanjutkan tradisi. Namun, bila dahulu yang disasar adalah pembaca umum (yang dianggap tidak berkelas tinggi), sekarang pembacanya adalah masyarakat umum. Persoalannya adalah saat ini teknologi digital sepertinya belum menjadi wadah alternatif bagi sastrawan untuk berkreasi lewat tulisannya, koran masih menjadi pilihan favorit. Hal ini sesungguhnya dapat diwadahi dengan membuat suatu portal sastra, dimana tulisan-tulisan dapat diposting dalam website atau forum yang dapat dibaca semua orang dan didiskusikan. Memang, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila suatu cerpen, puisi, atau esei dapat dimuat di koran. Hal itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa koran lebih 'terkenal' daripada jurnal sastra, dan lagi jalur pembacanya adalah pembaca umum. Namun, keterbatasan halaman koran membuat banyak tulisanyang 'tidak layak terbit' tidak perlu menjadi 'tidak layak baca'. Dengan adanya media teknologi alternatif, semua karya patut diketahui banyak orang, dan didiskusikan. Persoalan ini seperti masih dan terus berlangsung. Saya sendiri mengamati, bahwa tulisan/esei sastra di koran seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, tidak dibuat dalam suatu wadah khusus secara bersama-sama, sepertinya benar apa yang dikatakan Katrin, bahwa pembacanya adalah komunitas tertentu saja, bukan pembaca awam-yang patut diedukasi.
Pascakolonialitas
Persoalan pascakolonialitas turut mempengaruhi pengarang Indonesia. Kesimpulan Katrin bahwa pengarang perempuan Indonesia tidak tertarik pada isu pascakolonialitas. Secara sederhana, teori pascakolonial adalah dampak kolonial yang dirasakan masyarakat jajahan. Dengan sastra, struktur kolonialisme menunjukkan dominasi bangsa penjajah pada bangsa terjajah melalui pendidikan, imperialisme, rasisme seharusnya dapat dibongkar.
Selain itu, adanya represi sosial yang dialami pengarang perempuan dalam persoalan budaya lokal, seperti dalam judul esei Ince** Wayan Artika, ia dikeluarkan dari desa adat selama lima tahun, karena dianggap menyinggung desa lokal dimana setting cerita novelnya. Mengkritisi kembali budaya atau adat yang sudah mapan dalam suatu masyarakat adalah bentuk sastrawan dalam mewujudkan idealismenya. Namun, sastrawan entah disadari atau tidak, harus pintar menggiring pesan kepada pembaca dengan cerita yang mulus, seperti Ahmad Tohari.
Terkait dengan perempuan dan seks, esei panjang Religisiutas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia, Vagina yang haus sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, dan Nayla: Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti merupakan 'makanan' bacaan bergizi tinggi untuk melihat sejauh apa tema perempuan dan seks menjadi pilihan oleh pengarang perempuan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sensasi seputar perempuan dan seks merugikan sastra Indonesia. Kenapa? saya anjurkan untuk membaca lebih lengkap.
Hal lain yang dibahas oleh Katrin adalah kaitan antara literatur dan dunia kesehatan. Hal itu menjadi perhatian Katrin bahwa terdapat perbedaan pandangan antara tradisional dengan modernitas di Eropa dan di Indonesia. Katrin mengulas karya sastra yang mempersoalkan pandangan tradisional dan dunia medis modern terkait dengan kesehatan. Ia membandingkan Novel Lourdes karangan ...dengan beberapa karangan di Indonesia yang menceritakan tentang praktik perdukunan. Novel yang dimaksud antara lain Ni Rawit,Jalan Lain ke Roma. Dilihat dari fenomena adalah karangan lourdes berhasil mengusik gereja (pada saat itu) dan novel :ourdes dinyatkaan ‘menang’ karena lebih mengedepankan fakta dibanding imajinasi. Sedangkan karya sastra Indonesia terkesan tidak mempersoalkan secara mendasar kekurangan praktik perdukunan (atau kesehatan). Catatan menarik dari Katrin adalah bahwa mantra-mantra merupakan karya sastra juga.
Sesungguhnya, semangat apa yang dapat kita ambil? yaitu kekritisan akan bacaan. Katrin menawarkan cara pandang berbeda dalam memaknai suatu karya. Pada dasarny, sastrawan-pembaca-penerbit-redaktur surat kabar- merupakan bagian dari masyarakat yang bergiat. Ditilik dari sejarah masa lalu-hingga sekarang-disadari bahwa gerakan melawan pembodohan sangat diwaspadai pihak penguasa, seharusnya tidak meninabobokan kita dengan bacaan-bacaan yang dilabeli best seller, sastra tinggi, sastra rendahan, buku yang diakui, dan sebagainya. Tugas pembaca adalah memaknai kembali setiap bacaan dengan pengalaman berbeda. Pada dasarnya, tulisan yang baik tak akan lekang dimakan waktu, seiring dengan pengalaman membaca dan mengkritisi, kita akan dapat membedakannya. Dan Katrin menawarkan pengalaman baru yang patut kita ketahui.
Judul: Sastra, Perempuan, dan Seks oleh Katrin Bandel
Pengantar: St Sunardi (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
Penerbit Jalasutra, 2006
tebal xxii+146 hlm
Politik Sastra
Politik sastra sudah ada sejak zaman dahulu. Adanya komisi untuk Bacaan Sekolah dan Rakyat Pribumi (Commissie voor de Inlandsche Acholl-en Volkslectuur) yang menjadi cikal bakal Balai Pustaka, memilih dan memilah jenis bacaan untuk masyarakat eliti yang jumlahnya terbatas. Pada saat itu sudah bermunculan penerbit swasta milik peranakan Tionghoa, antara 1903-1928 yang telah menerbitkan seratusan novel. Bandingkan dengan Balai Pustaka hanya menerbitkan 20an novel dalam periode yang sama.Sebut saja sastra seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Sengsara Membawa Nikmat, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Belenggu, Nyanyi Sunyi. Novel-novel seperti itu dianggap berkelas sastra tinggi untuk dibaca. Direktur Balai Pustaka saat itu, Dr. D.A. Rinkes telah menyadari 'bahaya' bacaaan yang mencerdaskan masyarakat, mengultimatum bahwa bacaan diluar Balai Pustaka adalah bacaan liar. Ini merupakan politik sastra Indonesia dari zaman dulu, dengan pendekatan kekuasaan membatasi masuk dan beredarnya bacaan-bacaan di luar paham/ideologi penguasa.
Pramoedya Ananta Toer telah menggugat kemapanan angkatan-angkatan pujangga seperti Angkatan Pujangga Baru, Angkatan Balai Pustaka. Menurutnya, aliran sastra yang lebih realis adalah aliran sastra seperti yang ia majukan pada saat itu. Namun, kompilasi karya ‘tandingan’ Pramoedya baru muncul setelah ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sebut saja karangan Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia serta kumpulan Cerita Dari Digul. Selain itu barubelakangan dikenal Student Hidjo karangan Mas Marco Kartodikromo, dan novel Hikayat Kadiroen karya Semaoen.
Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Savitri dalam buku Pramoedya Ananta Toer: Luruh Dalam Ideologi, bahwa ada 'pertentangan' antara kelompok kritikus sastra yang menamakan dirinya Gelanggang serta lembaga kebudayaan bentukan PKI: Lekra. Kelompok Gelanggang umumnya terdiri dari orang-orang berpendidikan tinggi dan pemikirannya berorientasi ke barat, sementara Lekra sebaliknya, terdiri dari orang yang tidak berkecukupan dan tulisan-tulisannya mencerminkan kebudayaan lokal. Dalam buku ini, Katrin membandingkan penceritaan tentang Nyai berdasarkan buku Novel Nyai Dasima karangan G. Francis dan Nyai Ontosoroh berdasarkan Bumi Manusia dan lanjutannya. Peran Nyai dalam kedua novel tersebut sangat berbeda. Bahwa berdasarkan Pramoedya, pengalaman hidup Nyai Ontosoroh yang keras, ia memanfaatkan hal-hal baru untuk mencerdaskan kehidupan dan masa depannya. serta sebagai simbol perlawanan konstruksi sosial masyarakat kolonial. sementara berdasarkan G. Francis, Nyai Dasima memiliki stigma sebagai orang yang terpinggirkan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat kolonial.
Sastra Koran
Sastra koran merupakan fenomena yang dilihat oleh Katrin sebagai suatu ajang apresiasi seni sastra di koran minggu nasional. Seperti ada kesepakatan bersama, banyak koran nasional yang menyiapkan rubrik sastra pada media koran cetak setiap hari minggu secara serentak. Persoalannya adalah terlihat esei-esei sastra dalam koran minggu tersebut ditujukan pada komunitas sastra, bukan pada pembaca umum. Katrin membandingkan dengan situasi di Jerman. Koran Jerman umumnya tetap menampilkan rubrik sastra, namun dikemas dalam tulisan menarik dan perlu dibaca, sementara bacaan sastra sendiri tetap berlangsung. Persoalan lain yang diutarakan Katrin adalah bahwa redaktur halaman sastra di koran umumnya tidak memiliki kriteria yang jelas dan baku untuk 'meloloskan' karya yang diterbitkan di koran. Tidak ada kemampuan khusus menjadi seorang redaktur untuk menyeleksi banyaknya karya yang masuk untuk diterbitkan di koran.
Bila ditelusuri ke sejarah penerbitan di Indonesia, terbitnya surat kabar pada zaman kolonial merupakan kebutuhan penduduk golongan Tionghoa yang berprofesi sebagai pedagang. Mereka membutuhkan informasi seperti daftar harga komoditas, jadwal kedatangan dan keberangkatan dalam rangka memperlancar usaha mereka. Selanjutnya, perkembangan bahasa Melayu yang cukup signifikan menuntut tersedianya bahan bacaan untuk memperlancar kemahiran berbahasa Melayu. Muncullah surat kabar, majalah yang dikelola oleh golongan peranakan Tionghoa dan mendorong munculnya perkembangan sastra yang didominasi para pengarang Tionghoa, dan salah satu media penulisannya melalui surat kabar.
Situasi tersebut berlangsung hingga saat ini, sepertinya tinggal melanjutkan tradisi. Namun, bila dahulu yang disasar adalah pembaca umum (yang dianggap tidak berkelas tinggi), sekarang pembacanya adalah masyarakat umum. Persoalannya adalah saat ini teknologi digital sepertinya belum menjadi wadah alternatif bagi sastrawan untuk berkreasi lewat tulisannya, koran masih menjadi pilihan favorit. Hal ini sesungguhnya dapat diwadahi dengan membuat suatu portal sastra, dimana tulisan-tulisan dapat diposting dalam website atau forum yang dapat dibaca semua orang dan didiskusikan. Memang, menjadi suatu kebanggaan tersendiri bila suatu cerpen, puisi, atau esei dapat dimuat di koran. Hal itu merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Memang, tidak dapat dipungkiri bahwa koran lebih 'terkenal' daripada jurnal sastra, dan lagi jalur pembacanya adalah pembaca umum. Namun, keterbatasan halaman koran membuat banyak tulisanyang 'tidak layak terbit' tidak perlu menjadi 'tidak layak baca'. Dengan adanya media teknologi alternatif, semua karya patut diketahui banyak orang, dan didiskusikan. Persoalan ini seperti masih dan terus berlangsung. Saya sendiri mengamati, bahwa tulisan/esei sastra di koran seperti Kompas dan Pikiran Rakyat, tidak dibuat dalam suatu wadah khusus secara bersama-sama, sepertinya benar apa yang dikatakan Katrin, bahwa pembacanya adalah komunitas tertentu saja, bukan pembaca awam-yang patut diedukasi.
Pascakolonialitas
Persoalan pascakolonialitas turut mempengaruhi pengarang Indonesia. Kesimpulan Katrin bahwa pengarang perempuan Indonesia tidak tertarik pada isu pascakolonialitas. Secara sederhana, teori pascakolonial adalah dampak kolonial yang dirasakan masyarakat jajahan. Dengan sastra, struktur kolonialisme menunjukkan dominasi bangsa penjajah pada bangsa terjajah melalui pendidikan, imperialisme, rasisme seharusnya dapat dibongkar.
Selain itu, adanya represi sosial yang dialami pengarang perempuan dalam persoalan budaya lokal, seperti dalam judul esei Ince** Wayan Artika, ia dikeluarkan dari desa adat selama lima tahun, karena dianggap menyinggung desa lokal dimana setting cerita novelnya. Mengkritisi kembali budaya atau adat yang sudah mapan dalam suatu masyarakat adalah bentuk sastrawan dalam mewujudkan idealismenya. Namun, sastrawan entah disadari atau tidak, harus pintar menggiring pesan kepada pembaca dengan cerita yang mulus, seperti Ahmad Tohari.
Terkait dengan perempuan dan seks, esei panjang Religisiutas dalam Novel Tiga Pengarang Perempuan Indonesia, Vagina yang haus sperma: Heteronormatifitas dan Falosentrisme Ayu Utami, dan Nayla: Potret Sang Pengarang Perempuan sebagai Selebriti merupakan 'makanan' bacaan bergizi tinggi untuk melihat sejauh apa tema perempuan dan seks menjadi pilihan oleh pengarang perempuan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sensasi seputar perempuan dan seks merugikan sastra Indonesia. Kenapa? saya anjurkan untuk membaca lebih lengkap.
Hal lain yang dibahas oleh Katrin adalah kaitan antara literatur dan dunia kesehatan. Hal itu menjadi perhatian Katrin bahwa terdapat perbedaan pandangan antara tradisional dengan modernitas di Eropa dan di Indonesia. Katrin mengulas karya sastra yang mempersoalkan pandangan tradisional dan dunia medis modern terkait dengan kesehatan. Ia membandingkan Novel Lourdes karangan ...dengan beberapa karangan di Indonesia yang menceritakan tentang praktik perdukunan. Novel yang dimaksud antara lain Ni Rawit,Jalan Lain ke Roma. Dilihat dari fenomena adalah karangan lourdes berhasil mengusik gereja (pada saat itu) dan novel :ourdes dinyatkaan ‘menang’ karena lebih mengedepankan fakta dibanding imajinasi. Sedangkan karya sastra Indonesia terkesan tidak mempersoalkan secara mendasar kekurangan praktik perdukunan (atau kesehatan). Catatan menarik dari Katrin adalah bahwa mantra-mantra merupakan karya sastra juga.
Sesungguhnya, semangat apa yang dapat kita ambil? yaitu kekritisan akan bacaan. Katrin menawarkan cara pandang berbeda dalam memaknai suatu karya. Pada dasarny, sastrawan-pembaca-penerbit-redaktur surat kabar- merupakan bagian dari masyarakat yang bergiat. Ditilik dari sejarah masa lalu-hingga sekarang-disadari bahwa gerakan melawan pembodohan sangat diwaspadai pihak penguasa, seharusnya tidak meninabobokan kita dengan bacaan-bacaan yang dilabeli best seller, sastra tinggi, sastra rendahan, buku yang diakui, dan sebagainya. Tugas pembaca adalah memaknai kembali setiap bacaan dengan pengalaman berbeda. Pada dasarnya, tulisan yang baik tak akan lekang dimakan waktu, seiring dengan pengalaman membaca dan mengkritisi, kita akan dapat membedakannya. Dan Katrin menawarkan pengalaman baru yang patut kita ketahui.
Setahun setelah menulis tentang Hari Buku Nasional pada setiap 17 Mei, saya kembali menulis dengan topik yang sama. Kalau tulisan yang lalu lebih mempersoalkan aksesibilitas terhadap buku di Indonesia, kali ini saya ingin mengulas dari sudut pandang berbeda. Mari sejenak kita simak data-data tentang literasi di Indonesia.
Pada 2012, menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Menurut Perpusnas, Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Bila dibandingkan dengan masyarakat Amerika Serikat, terbiasa membaca 10-20 buku per tahun dan masyarakat Jepang membaca 10-15 buku setahun.
Pada 2012, menurut Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca.
Menurut Perpusnas, Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Kondisi ini lebih rendah dibandingkan penduduk di negara-negara anggota ASEAN, selain Indonesia, yang membaca dua sampai tiga buku dalam setahun. Bila dibandingkan dengan masyarakat Amerika Serikat, terbiasa membaca 10-20 buku per tahun dan masyarakat Jepang membaca 10-15 buku setahun.
Ketika mendengar kata membaca, apakah yang terbayang di benak kita? Apakah suatu kegiatan yang membosankan dimana menjadi seorang yang penyendiri sejenak dengan buku di tangan? atau mendadak dihinggapi rasa kebosanan karena membaca bahan pelajaran yang begitu banyak? atau membuat suasana menarik dengan mempersiapkan sofa baca dengan sepiring makanan ringan dan alunan musik lembut? atau identik dengan kacamata nan tebal? Sebuah penelitian pada pembaca muda pada tahun akhir tahun 2007 yang dilakukan oleh National Literacy Trust (NLT) untuk menjawab: pertama, apa definisi membaca dan apa yang dirasakan oleh pembaca muda ketika mereka dianjurkan untuk membaca. Kedua, peran penting keluarga pada persepsi orang muda mengenai diri mereka sebagai pembaca.
Kembali ke penelitian tadi, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa antara lain bahwa mereka yang menamakan dirinya bukan pembaca sesungguhnya sudah melakukan aktivitas membaca, aktivitas tersebut antara lain adalah membaca majalah, website atau blog. Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa membaca itu adalah sesuatu yang sifatnya buku, akademis, sekolahan, demi masa depan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peran keluarga membentuk budaya membaca? hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga adalah poin penting dalam pembentukan budaya membaca bagi anak muda. 22,4% responden menjawab bahwa tidak ada satupun orang di rumah yang mendorong untuk membaca dan 13% responden percaya bahwa tidak ada satupun di rumah yang merupakan pembaca yang baik. Kesimpulan penelitian ini memperlihatkan bahwa umumnya orang muda (baca: anak-anak) menolak kebiasaan membaca dikarenakan orang di rumah tidak mempromosikan kegiatan membaca dan kemampuan mempelajari kepada mereka.
Tentu saja membuat sebuah aktivitas membaca menjadi menarik bukan persoalan mudah. Namun hal itu menjadi sebuah tantangan baru bagi para orang tua maupun pendidik bagaimana konsep membaca bukan lagi sesuatu yang serius ataupun semata-mata berkaitan dengan dunia akademis, namun menjadi sesuatu kegiatan yang mengasyikkan. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain: pertama, membaca sebuah buku yang memiliki filmnya. Sebagai contoh buku Kate di Camillo, The Tale of Desperaux dapat dibaca secara bersama-sama sebelum menonton filmnya. Contoh buku lokal seperti Laskar Pelangi. Kedua, membaca buku yang memuat cerita dan tempat yang hendak dikunjungi. Sebagai contoh, membaca buku Gereja-gereja Tua di Jakarta karangan Adolf Heuken, SJ sebelum mengunjungi gereja-gereja tersebut dapat menambah pengetahuan anak-anak tentang tempat-tempat bersejarah yang ada di sekitar mereka. Ketiga, membacakan dongeng/bercerita yang bersumber dari buku. Pada dasarnya manusia lebih mengingat cerita dibandingkan nasihat, bercerita sudah dikenal dari zaman dulu sebagai media komunikasi. Membacakan majalah anak atau buku cerita bergambar dapat dilakukan secara kreatif untuk memancing ketertarikan anak pada cerita, selanjutnya terus mencari sumber-sumber cerita baru. Keempat, mengajak anak-anak ke perpustakaan untuk mengenal buku-buku bacaan yang lain, disamping mencari tempat membaca yang nyaman dan tenang. Permasalahan selanjutnya adalah kita dapat mengajar pada anak-anak bagaimana caranya membaca, namun belum ke tahap bagaimana menjadi pembaca, apalagi untuk menyukai genre tertentu. Namun paling tidak, kita sudah membentuk budaya. Ketika budaya telah terbentuk, selanjutnya tinggal memodifikasi/mengubah jenis bacaan yang sesuai dengan anak-anak kita.
Komunitas
Data-data tentang tradisi membaca Indonesia, masih rendah dibanding negara lain, mari kita lihat data-data berikut:
Saya pernah mengikuti sebuah diskusi bertema “Think Global Act Social” di Institut Teknologi Bandung, salah satu pembicaranya adalah Marco Wijaya, salah seorang arsitek, dari diskusi itu saya mendapat pencerahan bahwa acapkali negara belum hadir secara total dalam kebutuhan warganegaranya, antara lain dalam perkotaan serta kehidupan sosial di dalamnya. Karena itu, perlu digagas ruang untuk bersolidaritas dan ruang menciptakan keadilan dalam wadah komunitas.
Saat ini isu dunia literasi adalah tingkat antara lain tingkat membaca yang rendah, gulung tikarnya penerbit-penerbit kecil, serbuan buku elektronik yang murah, rendahnya akses masyarakat terhadap perpustakaan umum, daya beli masyarakat yang rendah terhadap buku, dan serangkaian permasalahan lainnya.
Kita bisa mengintip isu di Korea Selatan. Di Seoul memiliki 3.000 penerbit, kita-kira setiap tahun ada 20.000 judul buku baru di Korea. Khusus buku sastra, sebuah penerbit Munhakdongne Publishing, menerbitkan 250 judul setiap tahun. Setiap kali terbit, dicetak 2.000 eksemplar hingga 1000.000 eksemplar, dan dalam dua bulan buku-buku tersebut habis terjual. Tradisi membaca negara ini sudah teruji. Di tengah perang Korea pun, mereka menyempatkan diri untuk membaca buku. Saat ini, terdapat 200-300 penulis produktif, dimana diantaranya sekitar 50 orang yang bisa hidup dari menulis, selebihnya masih menjadikan menulis sebagai pekerjaan sambilan. Yang menarik adalah, penerbitpun berkolaborasi untuk berinvestasi. Tidak semua penerbit membangun pabrik atau gedung, mereka bisa berbagi dengan pabrik-pabrik lain. Inilah salah satu cara bertahan dalam industri buku yang sedang mengalami tekanan.
Salah satu contoh menarik dari Heni Wardatur Rohmah, ia meminjamkan koleksi buku perpustakaan keluarganya kepada sekolah-sekolah yang membutuhkan di daerah Yogyakarta. Koleksi bukunya dari tahun 2002 hingga 2014 berjumlah 600 eksemplar, ia meminjamkan koleksinya tersebut di beberapa sekolah dasar di Kabupaten Sleman. Sebelumnya ia melakukan survey dan mendapati bahwa umumnya sekolah tidak memiliki buku bacaan bermutu yang menarik minat anak-anak. Saat ini perpustakaannya telah menjadi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Aksara dan mendapat sumbangan dari Pemerintah Kab Sleman berupa motor untuk menjangkau masyarakat yang selama ini mengalami keterbatasan akses terhadap beragam buku bacaan.
Kita lirik komunitas di Bandung, pada diskusi "Jiwa Muda Koleksi Tua" pada pertengahan Januari lalu, Ryzki Wiryawan, salah seorang penikmat buku tua menyatakan bahwa buku-buku tua miliknya ikut membantu merampungkan studi hingga penelitian ilmiah. Indra Prayana, pemilik koleksi buku lawaas Bandung di perpustakaan ukuran 4x6 meter di kawasan Antapani, Bandung, menyatakan bahwa ia sudah dihubungi oleh pihak perpustakaan lain untuk mendigitalisasi koleksi bukunya yang ingin mendalami masalah kesundaan. Deny Rahman, penjual buku lawas di Balubur Town Square menyatakan bahwa dokumen dan buku lawas akan lebih berguna jika banyak orang bisa belajar. bahwa hal itulah yang diinginkan para penulis buku terdahulu agar isi dalam buku berguna untuk generasi selanjutnya. Selanjutnya dengan buku lawas, banyak komunitas jalan-jalan sejarah tumbuh. Deny menjadi satu dari 30 orang yang menapaki jejak sejarah penanam teh asal Belanda, RE Kerkhoven, di Gambung, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. Diinisiasi kelompok jalan-jalan sejarah, Balad Junghuhn dan Tjimahi Heritage, acara itu mengambil referensi dari buku Sang Juragan Teh karya Hella S Haasse. komunitas jalan-jalan lainnya, mooibandoeng, yang diprakarsai Ridwan Hutagalung, juga menggelar perjalanan serupa ke Garut. Acara ini adalah rangkaian kegiatan ”Mengenal Riwayat Preangerplanters” yang digelar bersama Komunitas Aleut.
Menjadi Komunitas yang Berkarya
Apa yang dapat kita petik dari pengalaman di atas. Pertama, adalah kesadaran komunal. Sebuah kegelisahan akan situasi yang tidak menguntungkan di sekitar kita diwujudkan dalam tindakan. Kedua, tindakan nyata. Bercermin pada apa yang dilakukan Heni adalah suatu terobosan luar biasa. Menyalakan sebatang lilin di tengah kegelapan. Anda bisa hitung berapa koleksi anda, dan sejauh apa koleksi buku anda berguna bagi orang lain? Ketiga, berbagi sumber daya. Dalam situasi sulit maupun senang, kita haruslah berbagi. Dari penerbit di atas yang berbagi sumber daya, pembaca yang berbagi koleksi buku, dan tentu saja berbagi kehidupan. Akankah kita terus mengutuki harga buku yang mahal di tengah orang-orang yang tidak mampu membelinya?
Hari ini komunitas Blogger Buku Indonesia merayakan ulang tahun kelima. Tentu bagi kita bukan perkara yang mudah untuk menjaga terus komitmen dengan jam baca dan jam menulis yang konsisten. Namun, kita masih punya sahabat-sahabat yang memberi semangat serta tugas kita menyemangatinya, agar terus berkarya. komunitas inipun terus berkembang dengan mewadahi kebutuhan berbagi sumber daya dan informasi seperti aggregator, forum, dan media sosial lainnya. Saya sendiri pernah ditanya, bagaimana BBI mendanai kegiatannya? darimana sumber dananya? saya hanya tersenyum menyatakan bahwa BBI mendanai diri sendiri dari kecintaan teman-teman terhadap komunitas ini. BBI sendiri mengalami evolusi naik-turun dalam perkembangannya, namun satu tujuan yang mempersatukan: mewujudkan kecintaan pada buku dengan menyebarkannya pada orang-orang. Itu saja.
Saya pribadi berharap dari BBI akan bermunculan penulis-penulis buku. Karena buku harus terus ditulis, untuk pewaris kelak.
Dirgahayu komunitas Blogger Buku Indonesia kelima.
Salam,
Helvry Sinaga
BBI 1301041
Bed Time Reading | sumber: cartoonstock.com |
Kembali ke penelitian tadi, hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa antara lain bahwa mereka yang menamakan dirinya bukan pembaca sesungguhnya sudah melakukan aktivitas membaca, aktivitas tersebut antara lain adalah membaca majalah, website atau blog. Hal ini dikarenakan adanya persepsi bahwa membaca itu adalah sesuatu yang sifatnya buku, akademis, sekolahan, demi masa depan. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana peran keluarga membentuk budaya membaca? hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga adalah poin penting dalam pembentukan budaya membaca bagi anak muda. 22,4% responden menjawab bahwa tidak ada satupun orang di rumah yang mendorong untuk membaca dan 13% responden percaya bahwa tidak ada satupun di rumah yang merupakan pembaca yang baik. Kesimpulan penelitian ini memperlihatkan bahwa umumnya orang muda (baca: anak-anak) menolak kebiasaan membaca dikarenakan orang di rumah tidak mempromosikan kegiatan membaca dan kemampuan mempelajari kepada mereka.
Tentu saja membuat sebuah aktivitas membaca menjadi menarik bukan persoalan mudah. Namun hal itu menjadi sebuah tantangan baru bagi para orang tua maupun pendidik bagaimana konsep membaca bukan lagi sesuatu yang serius ataupun semata-mata berkaitan dengan dunia akademis, namun menjadi sesuatu kegiatan yang mengasyikkan. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain: pertama, membaca sebuah buku yang memiliki filmnya. Sebagai contoh buku Kate di Camillo, The Tale of Desperaux dapat dibaca secara bersama-sama sebelum menonton filmnya. Contoh buku lokal seperti Laskar Pelangi. Kedua, membaca buku yang memuat cerita dan tempat yang hendak dikunjungi. Sebagai contoh, membaca buku Gereja-gereja Tua di Jakarta karangan Adolf Heuken, SJ sebelum mengunjungi gereja-gereja tersebut dapat menambah pengetahuan anak-anak tentang tempat-tempat bersejarah yang ada di sekitar mereka. Ketiga, membacakan dongeng/bercerita yang bersumber dari buku. Pada dasarnya manusia lebih mengingat cerita dibandingkan nasihat, bercerita sudah dikenal dari zaman dulu sebagai media komunikasi. Membacakan majalah anak atau buku cerita bergambar dapat dilakukan secara kreatif untuk memancing ketertarikan anak pada cerita, selanjutnya terus mencari sumber-sumber cerita baru. Keempat, mengajak anak-anak ke perpustakaan untuk mengenal buku-buku bacaan yang lain, disamping mencari tempat membaca yang nyaman dan tenang. Permasalahan selanjutnya adalah kita dapat mengajar pada anak-anak bagaimana caranya membaca, namun belum ke tahap bagaimana menjadi pembaca, apalagi untuk menyukai genre tertentu. Namun paling tidak, kita sudah membentuk budaya. Ketika budaya telah terbentuk, selanjutnya tinggal memodifikasi/mengubah jenis bacaan yang sesuai dengan anak-anak kita.
Komunitas
Data-data tentang tradisi membaca Indonesia, masih rendah dibanding negara lain, mari kita lihat data-data berikut:
- hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 5-6 September 2015. Hasilnya, rata-rata lama membaca buku warga Indonesia hanya 6 jam per minggu (Kompas 15/9/2015).
- warga India yang rata-rata membaca buku 10 jam per minggu, Thailand 9 jam per minggu, dan Tiongkok 8 jam per minggu.
- Survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO) 2012 menunjukkan, hanya satu dari 1.000 orang di Indonesia yang memiliki minat baca serius. Rata-rata, kurang dari satu buku yang dibaca per tahun.
Saya pernah mengikuti sebuah diskusi bertema “Think Global Act Social” di Institut Teknologi Bandung, salah satu pembicaranya adalah Marco Wijaya, salah seorang arsitek, dari diskusi itu saya mendapat pencerahan bahwa acapkali negara belum hadir secara total dalam kebutuhan warganegaranya, antara lain dalam perkotaan serta kehidupan sosial di dalamnya. Karena itu, perlu digagas ruang untuk bersolidaritas dan ruang menciptakan keadilan dalam wadah komunitas.
Saat ini isu dunia literasi adalah tingkat antara lain tingkat membaca yang rendah, gulung tikarnya penerbit-penerbit kecil, serbuan buku elektronik yang murah, rendahnya akses masyarakat terhadap perpustakaan umum, daya beli masyarakat yang rendah terhadap buku, dan serangkaian permasalahan lainnya.
Kita bisa mengintip isu di Korea Selatan. Di Seoul memiliki 3.000 penerbit, kita-kira setiap tahun ada 20.000 judul buku baru di Korea. Khusus buku sastra, sebuah penerbit Munhakdongne Publishing, menerbitkan 250 judul setiap tahun. Setiap kali terbit, dicetak 2.000 eksemplar hingga 1000.000 eksemplar, dan dalam dua bulan buku-buku tersebut habis terjual. Tradisi membaca negara ini sudah teruji. Di tengah perang Korea pun, mereka menyempatkan diri untuk membaca buku. Saat ini, terdapat 200-300 penulis produktif, dimana diantaranya sekitar 50 orang yang bisa hidup dari menulis, selebihnya masih menjadikan menulis sebagai pekerjaan sambilan. Yang menarik adalah, penerbitpun berkolaborasi untuk berinvestasi. Tidak semua penerbit membangun pabrik atau gedung, mereka bisa berbagi dengan pabrik-pabrik lain. Inilah salah satu cara bertahan dalam industri buku yang sedang mengalami tekanan.
Salah satu contoh menarik dari Heni Wardatur Rohmah, ia meminjamkan koleksi buku perpustakaan keluarganya kepada sekolah-sekolah yang membutuhkan di daerah Yogyakarta. Koleksi bukunya dari tahun 2002 hingga 2014 berjumlah 600 eksemplar, ia meminjamkan koleksinya tersebut di beberapa sekolah dasar di Kabupaten Sleman. Sebelumnya ia melakukan survey dan mendapati bahwa umumnya sekolah tidak memiliki buku bacaan bermutu yang menarik minat anak-anak. Saat ini perpustakaannya telah menjadi Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Mata Aksara dan mendapat sumbangan dari Pemerintah Kab Sleman berupa motor untuk menjangkau masyarakat yang selama ini mengalami keterbatasan akses terhadap beragam buku bacaan.
Kita lirik komunitas di Bandung, pada diskusi "Jiwa Muda Koleksi Tua" pada pertengahan Januari lalu, Ryzki Wiryawan, salah seorang penikmat buku tua menyatakan bahwa buku-buku tua miliknya ikut membantu merampungkan studi hingga penelitian ilmiah. Indra Prayana, pemilik koleksi buku lawaas Bandung di perpustakaan ukuran 4x6 meter di kawasan Antapani, Bandung, menyatakan bahwa ia sudah dihubungi oleh pihak perpustakaan lain untuk mendigitalisasi koleksi bukunya yang ingin mendalami masalah kesundaan. Deny Rahman, penjual buku lawas di Balubur Town Square menyatakan bahwa dokumen dan buku lawas akan lebih berguna jika banyak orang bisa belajar. bahwa hal itulah yang diinginkan para penulis buku terdahulu agar isi dalam buku berguna untuk generasi selanjutnya. Selanjutnya dengan buku lawas, banyak komunitas jalan-jalan sejarah tumbuh. Deny menjadi satu dari 30 orang yang menapaki jejak sejarah penanam teh asal Belanda, RE Kerkhoven, di Gambung, Kecamatan Pasir Jambu, Kabupaten Bandung. Diinisiasi kelompok jalan-jalan sejarah, Balad Junghuhn dan Tjimahi Heritage, acara itu mengambil referensi dari buku Sang Juragan Teh karya Hella S Haasse. komunitas jalan-jalan lainnya, mooibandoeng, yang diprakarsai Ridwan Hutagalung, juga menggelar perjalanan serupa ke Garut. Acara ini adalah rangkaian kegiatan ”Mengenal Riwayat Preangerplanters” yang digelar bersama Komunitas Aleut.
Menjadi Komunitas yang Berkarya
Apa yang dapat kita petik dari pengalaman di atas. Pertama, adalah kesadaran komunal. Sebuah kegelisahan akan situasi yang tidak menguntungkan di sekitar kita diwujudkan dalam tindakan. Kedua, tindakan nyata. Bercermin pada apa yang dilakukan Heni adalah suatu terobosan luar biasa. Menyalakan sebatang lilin di tengah kegelapan. Anda bisa hitung berapa koleksi anda, dan sejauh apa koleksi buku anda berguna bagi orang lain? Ketiga, berbagi sumber daya. Dalam situasi sulit maupun senang, kita haruslah berbagi. Dari penerbit di atas yang berbagi sumber daya, pembaca yang berbagi koleksi buku, dan tentu saja berbagi kehidupan. Akankah kita terus mengutuki harga buku yang mahal di tengah orang-orang yang tidak mampu membelinya?
Hari ini komunitas Blogger Buku Indonesia merayakan ulang tahun kelima. Tentu bagi kita bukan perkara yang mudah untuk menjaga terus komitmen dengan jam baca dan jam menulis yang konsisten. Namun, kita masih punya sahabat-sahabat yang memberi semangat serta tugas kita menyemangatinya, agar terus berkarya. komunitas inipun terus berkembang dengan mewadahi kebutuhan berbagi sumber daya dan informasi seperti aggregator, forum, dan media sosial lainnya. Saya sendiri pernah ditanya, bagaimana BBI mendanai kegiatannya? darimana sumber dananya? saya hanya tersenyum menyatakan bahwa BBI mendanai diri sendiri dari kecintaan teman-teman terhadap komunitas ini. BBI sendiri mengalami evolusi naik-turun dalam perkembangannya, namun satu tujuan yang mempersatukan: mewujudkan kecintaan pada buku dengan menyebarkannya pada orang-orang. Itu saja.
Saya pribadi berharap dari BBI akan bermunculan penulis-penulis buku. Karena buku harus terus ditulis, untuk pewaris kelak.
Dirgahayu komunitas Blogger Buku Indonesia kelima.
Salam,
Helvry Sinaga
BBI 1301041