Sudah lama mengetahui karya Iwan Simatupang yang banyak dibicarakan ini. Namun, memperoleh bukunya sangat-sangat sulit. Sama seperti nasib buku-buku karangan bagus yang lama, sepertinya belum ada cetak ulang dari penerbit tersebut, agar diketahui oleh generasi sekarang. Suatu kebetulan (atau suatu takdir?) saya dipertemukan dengan buku ini melalui proses yang panjang, terutama kisah perjalanan saya menemukan buku ini di Perpustakaan Daerah Provinsi Sumatera Selatan (many thanks to Fitria Mayrani).
Merahnya Merah
Pengarang: Iwan Simatupang
cetakan 11
Penerbit Haji Masagung, 1993, Jakarta
124 hlm; 21 cm
ISBNM 979-412-052-9
Merahnya Merah menceritakan Tokoh Kita (namanya memang dibuat demikian), yaitu seorang laki-laki yang meinggalkan panggilannya sebaga calon pastor untuk menjadi komandan kompi dan algojo pada masa revolusi. Setelah revolusi selesai, ia menjadi gelandangan. Maria, seorang perempuan yang digambarkan berambut ikal, berbadan besar, memiliki empat gigi emas. Maria juga menjadi gelandangan. Fifi, perempuan 14 tahun yatim piatu karena orangtuanya dibunuh perampok. Fifi ditolong oleh Tokoh Kita dan sama-sama menjadi gelandangan. Pak Centeng, orang yang dianggap jagoan di kampung gelandangan.
Dialog-dialog yang dibangun oleh Iwan Simatupang dalam novelnya ini sangat memukau. Dialog antar tokoh maupun dialog antara tokoh dengan dirinya sendiri seolah mempertanyakan kembali 'kemapanan' yang sudah ada. Terlihat bagaimana Iwan memberikan suatu pengandaian tentang doa yang ditengadahkan ke "atas" lewat pemandangan yang dilihat Fifi. Dia tengadahkan mukanya ke atas. Kemana lagi kalau bukan ke atas? Atas adalah arah dari segala derita. Tetapi juga, arah dari segala harap dan doa.
Tokoh Kita, sebelum menjadi gelandangan adalah seorang yang terhormat, yaitu sebagai komandan kompi yang disegani pada zaman revolusi. Sebelum menjadi komandan kompi, ia adalah seorang calon pastor. Terlihat dari sebagian besar novel ini, Tokoh kita ini berpengaruh dalam pemikiran 'tingkat tinggi'. Sebagai contoh, Ketika menjadi gelandangan, Tokoh kita ini mengalami luka borok yang cukup parah. Tokoh kita tidak mau berobat ke dokter, dengan satu prinsip bahwa pergi ke dokter, berarti berontak terhadap statusnya sebagai gelandangan. Bahwa menjadi gelandang atau tidak merupakan kedaulatannya sendiri. Suatu percakapan dengan bekas anakbuahnya yang menemukan ia dalam keadaan terluka parah karena borok itu, membawa ke pemikiran apakah makna kehidupannya. Bahwa keputusannya memilih meninggalkan panggilan menjadi seorang rahib untuk mengikuti panggilan negara merupakan keputusan sendiri. Pertanyaan seperti: Apa yang penting dari ibadah? perbuatan sembahyangnyakah, atau hidup beribadah itu sendiri?, tidak dijawab oleh Tokoh kita secara gamblang. Pengalaman hidupnya menunjukkan bahwa dibalik segala tragedi hidupnya, ia memilih satu bentuk hidup sendiri yang membuatnya berbahagia-sebagai gelandangan.
Iwan menulis sisi lain dari kehidupan gelandangan. Hal-hal kecil seperti tertawa, dibahas serius oleh Tokoh kita. Meski perut kerempeng tak berisi, bukan merupakan alasan untuk tidak tertawa. Tertawa untuk hari-hari yang tak pasti dan derita yang tidak kenal ujung. Selanjutnya Iwan juga menjelaskan lewat suara hati Tokoh kita terkait eksistensi gelandang yang menyebabkan banyak walikota yang dibuat susah oleh persoalan ini, dokter-dokter yang berhasil bereksperimen dengan mayat gelandangan yang tidak dikenal, tanpa gelandangan maka tidak banyak dokter-dokter di dunia berkembang, adanya hadiah-hadiah perdamaian karena adanya ketegangan antara dunia berkembang dan dunia maju-dunia berkembang di belakangnya adalah gelandangan-.
Fifi, dibawa oleh Tokoh Kita ke kampung gelandangan. Pada Maria, Tokoh kita menitipkan gadis kecil ini. Setelah itu Tokoh kita pergi entah kemana dan selanjutnya ia kembali ke kampung gelandangan tersebut. Maria merupakan tokoh yang disegani di kampung gelandangan tersebut, karena ia adalah "ibu" bagi mereka yang tidak punya tempat tinggal. Maria terbuka tangannya untuk menampung mereka. Demikian juga Fifi. Maria sendiri adalah calon perawat, yang kemudian mengalami nasib tragis, diperkosa. Selanjutnya Maria menjalani profesi sebagai perempuan penghibur. Lewat cerita Fifi pada Maria, Tokoh kita mengetahui bahwa Fifi sangat menyukai Tokoh kita, dan memiliki mimpi untuk keluar dari hidup sebagai gelandangan. Hal yang sangat mengusik pikiran Tokoh kita.
Selanjutnya diceritakan bahwa suatu ketika Fifi hilang dari kampung gelandangan. Semua warga kampung ikut mencari. Pak Centeng, jagoan di kampung itu gagal menemukannya. Kemudian belum juga Fifi ditemukan, Tokoh kita menghilang. Hal ini menggusarkan Maria. Pak Centeng beserta anak buahnya mencari ke seluruh kota. Hasilnya nihil. Fifi dan Tokoh kita tidak ditemukan. Pak Centeng sebagai orang yang disegani karena keberaniannya (dan ia juga suka dengan Maria), tambah pusing karena Maria ikut menghilang.
Bagaimana dan kemana hilangnya orang-orang tadi, tidaklah diceritakan seperti cerita ala detektif. Tidak ada pemecahan kasus berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan. Dengan dialog bernuansa filsafat, Iwan mengemas cerita ini dengan memukau. Hampir mirip dengan Kooong, bahwa ada sesuatu hal penting yang hilang. Persoalannya bukanlah apakah yang hilang akan ketemu, tetapi cerita-cerita yang menyertai kehilangan tersebut.
Novel ini patut dan sangat direkomendasikan untuk dibaca. Namun sayang sekali, barangkali ketersediaannya di pasaran sudah tidak ada lagi. Saya sendiri punya kisah menarik, ketika jam berkunjung perpustakaan ini sudah habis, saya memfoto kurang lebih 30 halaman terakhir untuk saya baca kembali ketika sudah pulang.
Apa yang penting dari ibadah? Perbuatan sembahyangnyakah, atau hidup beribadah itu sendiri? Upacara mengikat janji itu adalah hanya upacara saja, hanya basa basi. Yang penting adalah hikmah keibadahan sebelum dan sesudah janji itu.
Palembang, 31 Agustus 2014
Helvry