Dengarlah Nyanyian Angin by Haruki Murakami
Dewi Anggraeni (Editor), Jonjon Johana (Translator)
My rating: 3 of 5 stars
Novel ini berjudul asli 風の歌を聴け (Kaze no uta o kike).
Bercerita tentang anak muda Jepang yang sedang mencari identitas diri. Tokoh utama "Aku" berusia 21 tahun, bersama temannya Nezumi seringkali membahas hal-hal yang menjadi pilihan hidup mereka. Tempat yang mereka pilih untuk berdiskusi adalah di bar. Tentu saja bersama rokok dan bir. Kegelisahan sahabatnya Nezumi yaitu karena ia kaya. Ada apa dengan kaya? bukankah itu suatu keuntungan? Nezumi memaknainya itu sebagai suatu ancaman. Suatu kali "Aku" menyelamatkan seorang wanita pingsan karena mabuk. Ia akhirnya bersahabat dengan wanita itu seraya menggali nilai dari persahabatan mereka. Namun akhirnya mereka juga berpisah dan memilih jalan mereka masing-masing.
Agak membingungkan membaca novel ini. Sepertinya tidak ada ketegangan atau membuat pembaca penasaran. Tokoh "Aku" pulang ke kampung halamannya, bertemu dengan teman lama, menghabiskan waktu dengan minum bir, serta mencari kesenangan dengan teman baru. Selain itu tokoh "Aku" membandingkan era sebelumnya dan apa yang akan menjadi pilihan untuk masa depannya.
Apa yang menarik dalam novel ini ialah Harumi menyampaikan bahwa menulis fiksi adalah suatu terapi. Narator "Aku" mengatakan demikian,
When you get right down to it, writing is not a method of self therapy. It's just the slightest attempt at a move in the direction of self therapy... And yet I find myself thinking that if everything goes well, sometime way ahead, years, maybe decades from now, I might discover myself saved Tetapi, menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Narator menceritakan kesulitannya untuk memulai menulis,
For me, writing is extremely hardwork. There are times when it takes me a whole month just to write one line. Other times I'll write three days and nights straight through, only to have it come out wrong.
Dalam novel ini banyak sekali referensi tentang jazz, rock and roll, artis Amerika dan Eropa, serta merk Amerika seperti Cocacola. Dan dalam novel ini, diceritakan bahwa "Aku" sangat menyukai "jukebox" yaitu semacam mesin yang bisa memainkan lagu yang dipilih dengan mengisi koin sebelumnya.
Novel ini tidak bercerita tentang kesuksesan. Tetapi suatu kegalauan. Anak muda yang harus berpikir bagaimana ia nantinya. Banyak sekali kata-kata bijak yang dikutip di novel ini. Bagi seorang anak muda itu, kata-kata bijak seperti itu penting, karena ia belum merasakan bagaimana menghadapi hidup yang sebenarnya, sehingga suatu saat ia sendiri yang membuat kata-kata bijak untuk dirinya sendiri. Secara keseluruhan novel ini sangat bagus, kita mendapat banyak wawasan mengenai lagu-lagu hit pada era 1960an sampai 1970an, nama artis-artis terkenal di Amerika dan Eropa, lirik lagu, dan sebagainya. Namun, terjemahan novel agak mengganggu saya, apakah karena bahasanya harus meng"anak muda"? Jadi agak aneh bila membaca terjemahan seperti, "kamu mau nggak?"
Jadi, saya memberikan lima bintang untuk novel ini. Minus satu bintang karena ceritanya yang kurang "rasa," serta minus satu bintang lagi karena terjemahannya.
Tentang Haruki Murakami
Ia lahir pada 12 Januari 1949, sejak kecil ia dipengaruhi kebudayaan barat, terutama musik dan literatur. Selama sepuluh tahun, ia tinggal di luar Jepang. Pertama di Yunani dan Itali, kemudian di Amerika Serikat. Ia bahkan mengatakan bahwa ia membuat gaya kepenulisan yang berbeda dengan menulis dalam bahasa Inggris terlebih dahulu kemudian diterjemahkan ke bahasa Jepang.
Penghargaan yang ia peroleh antara lain: Shinjin Bungaku Prize, 1974. Junichiro Tanizaki Prize, 1985. Yomiuri Literary Prize, 1996. Jerusalem Prize, 2009. Murakami belajar drama di Waseda University, dan pada September 2007, ia menerima Doktor Honoris dari University of Liege. ia sempat tinggal di Amerika pada awal tahun 1990an dan mengajar di Princeton University. Setelah gempa Hanshin dan serangan gas beracun di Tokyo Subway pada awal 1995, ia kembali lagi ke Jepang dan menulis karya nonfiksi, Underground (1995) .
Marukami memiliki sebuah bar jazz (1974-1981) yang dikelola bersama dengan istrinya, Yoko. Jadi, tidak heran novelnya ini banyak sekali bercerita tentang bar, bir, dan musik jazz. Murakami mengatakan bahwa ia terinspirasi menulis novel pertamanya ini ketika menonton pertandingan baseball. Saat itu tahun 1978, ia menonton pertandingan antara Yakult Swallows dan Hiroshima Carp, dan ketika Dave Hilton, seorang Amerika dari Yakult Swallow melakukan pukulan terbaik dan berlari ke base selanjutnya dengan kencang. Momen inilah yang membuat ia terinspirasi menulis novel untuk pertama kali. Dan novel ini yang mengantarkannya meraih The Gunzo Prize untuk penulis baru.
@hws19102010
Dewi Anggraeni (Editor), Jonjon Johana (Translator)
My rating: 3 of 5 stars
Novel ini berjudul asli 風の歌を聴け (Kaze no uta o kike).
Bercerita tentang anak muda Jepang yang sedang mencari identitas diri. Tokoh utama "Aku" berusia 21 tahun, bersama temannya Nezumi seringkali membahas hal-hal yang menjadi pilihan hidup mereka. Tempat yang mereka pilih untuk berdiskusi adalah di bar. Tentu saja bersama rokok dan bir. Kegelisahan sahabatnya Nezumi yaitu karena ia kaya. Ada apa dengan kaya? bukankah itu suatu keuntungan? Nezumi memaknainya itu sebagai suatu ancaman. Suatu kali "Aku" menyelamatkan seorang wanita pingsan karena mabuk. Ia akhirnya bersahabat dengan wanita itu seraya menggali nilai dari persahabatan mereka. Namun akhirnya mereka juga berpisah dan memilih jalan mereka masing-masing.
Agak membingungkan membaca novel ini. Sepertinya tidak ada ketegangan atau membuat pembaca penasaran. Tokoh "Aku" pulang ke kampung halamannya, bertemu dengan teman lama, menghabiskan waktu dengan minum bir, serta mencari kesenangan dengan teman baru. Selain itu tokoh "Aku" membandingkan era sebelumnya dan apa yang akan menjadi pilihan untuk masa depannya.
Apa yang menarik dalam novel ini ialah Harumi menyampaikan bahwa menulis fiksi adalah suatu terapi. Narator "Aku" mengatakan demikian,
When you get right down to it, writing is not a method of self therapy. It's just the slightest attempt at a move in the direction of self therapy... And yet I find myself thinking that if everything goes well, sometime way ahead, years, maybe decades from now, I might discover myself saved Tetapi, menulis bukanlah sesuatu yang mudah. Narator menceritakan kesulitannya untuk memulai menulis,
For me, writing is extremely hardwork. There are times when it takes me a whole month just to write one line. Other times I'll write three days and nights straight through, only to have it come out wrong.
Dalam novel ini banyak sekali referensi tentang jazz, rock and roll, artis Amerika dan Eropa, serta merk Amerika seperti Cocacola. Dan dalam novel ini, diceritakan bahwa "Aku" sangat menyukai "jukebox" yaitu semacam mesin yang bisa memainkan lagu yang dipilih dengan mengisi koin sebelumnya.
Novel ini tidak bercerita tentang kesuksesan. Tetapi suatu kegalauan. Anak muda yang harus berpikir bagaimana ia nantinya. Banyak sekali kata-kata bijak yang dikutip di novel ini. Bagi seorang anak muda itu, kata-kata bijak seperti itu penting, karena ia belum merasakan bagaimana menghadapi hidup yang sebenarnya, sehingga suatu saat ia sendiri yang membuat kata-kata bijak untuk dirinya sendiri. Secara keseluruhan novel ini sangat bagus, kita mendapat banyak wawasan mengenai lagu-lagu hit pada era 1960an sampai 1970an, nama artis-artis terkenal di Amerika dan Eropa, lirik lagu, dan sebagainya. Namun, terjemahan novel agak mengganggu saya, apakah karena bahasanya harus meng"anak muda"? Jadi agak aneh bila membaca terjemahan seperti, "kamu mau nggak?"
Jadi, saya memberikan lima bintang untuk novel ini. Minus satu bintang karena ceritanya yang kurang "rasa," serta minus satu bintang lagi karena terjemahannya.
Tentang Haruki Murakami
Ia lahir pada 12 Januari 1949, sejak kecil ia dipengaruhi kebudayaan barat, terutama musik dan literatur. Selama sepuluh tahun, ia tinggal di luar Jepang. Pertama di Yunani dan Itali, kemudian di Amerika Serikat. Ia bahkan mengatakan bahwa ia membuat gaya kepenulisan yang berbeda dengan menulis dalam bahasa Inggris terlebih dahulu kemudian diterjemahkan ke bahasa Jepang.
Penghargaan yang ia peroleh antara lain: Shinjin Bungaku Prize, 1974. Junichiro Tanizaki Prize, 1985. Yomiuri Literary Prize, 1996. Jerusalem Prize, 2009. Murakami belajar drama di Waseda University, dan pada September 2007, ia menerima Doktor Honoris dari University of Liege. ia sempat tinggal di Amerika pada awal tahun 1990an dan mengajar di Princeton University. Setelah gempa Hanshin dan serangan gas beracun di Tokyo Subway pada awal 1995, ia kembali lagi ke Jepang dan menulis karya nonfiksi, Underground (1995) .
Marukami memiliki sebuah bar jazz (1974-1981) yang dikelola bersama dengan istrinya, Yoko. Jadi, tidak heran novelnya ini banyak sekali bercerita tentang bar, bir, dan musik jazz. Murakami mengatakan bahwa ia terinspirasi menulis novel pertamanya ini ketika menonton pertandingan baseball. Saat itu tahun 1978, ia menonton pertandingan antara Yakult Swallows dan Hiroshima Carp, dan ketika Dave Hilton, seorang Amerika dari Yakult Swallow melakukan pukulan terbaik dan berlari ke base selanjutnya dengan kencang. Momen inilah yang membuat ia terinspirasi menulis novel untuk pertama kali. Dan novel ini yang mengantarkannya meraih The Gunzo Prize untuk penulis baru.
@hws19102010
Kicauan Burung by Anthony de Mello
My rating: 5 of 5 stars
Paperback, 232 pages
Published 2010 by Heart Voice Production (first published 1982)
ISBN 9786029640809
Inilah buku kedua de Mello yang saya baca setelah Doa Sang Katak. Review buku tersebut dapat dilihat di sini. Edisi yang saya baca ini adalah edisi grafis, sebelumnya diterbitkan oleh Yayasan Cipta Loka Caraka.
My rating: 5 of 5 stars
Paperback, 232 pages
Published 2010 by Heart Voice Production (first published 1982)
ISBN 9786029640809
Inilah buku kedua de Mello yang saya baca setelah Doa Sang Katak. Review buku tersebut dapat dilihat di sini. Edisi yang saya baca ini adalah edisi grafis, sebelumnya diterbitkan oleh Yayasan Cipta Loka Caraka.
Ular Keempat by Gus tf Sakai
My rating: 4 of 5 stars
196 pages
Published 2005 by KOMPAS Penerbit Buku Kompas
ISBN 0979709224
Ular Keempat ini memiliki cover yang boleh dibilang kurang menarik. Ini juga yang membuat saya awalnya tidak tergerak membacanya. Ada gambar ular, dan sebuah topeng (menurut saya). Versi elektronik novel ini tersedia di internet, walau dengan tampilan yang kurang menarik, dapat dilihat di situs ini.
Novel ini ditulis dengan menyertakan fakta peristiwa sejarah dan kemudian menjalinnya dengan kehidupan masyarakat. Peristiwa yang menjadi titik tolak adalah perjalanan haji Indonesia ke Saudi Arabia Januari 1970.
Ada apa di seputaran tahun tersebut?
Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Kapal Gambela. Bermula dari keinginan Pemerintah untuk menyatupintukan pelayanan haji nasional. Sebelumnya pelayanan haji dilakukan oleh pihak swasta. Namun ada ketidakpuasan dari para jemaah haji berkaitan dengan pelayanan yang diberikan. Hal yang memicunya adalah batalnya berangkat jemaah haji yang menggunakan jasa swasta terutama ICA dan Mukersa. Saat itu pihak swasta yang beroperasi adalah PT Arafat dengan kapal laut, ICA (International Civil Transport Asia) dengan pesawat udara dan Mukersa (Musyawarah Kerja Sama Haji). Hal itu memicu dikeluarkannya Kepres No. 22 Tahun 1969 yang menyatakan bahwa keseluruhan penyelenggaraan urusan haji hanya dilaksanakan oleh pemerintah.
HUSAMI (Himpunan Usahawan Muslim Indonesia) mempelopori penyelenggaraan haji murah. HUSAMI dikoordinir oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara, yang juga pernah menjabat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Koto Tinggi, Kabupaten Limopuluah Kota, Sumatra Barat. Lewat HUSAMI, diberangkatkan 712 calon haji ke Saudi Arabia pada Januari 1970. Paracalon haji dianggap ilegal. ketika calon haji sudah tiba di Singapura, dipaksa pulang ke Indonesia. Ketika kapal berbalik ke Indonesia, diplomasi dilakukan oleh tokoh agama akhirnya mereka diberangkatkan ke Jeddah dengan menggunakan Kapal Gambela yang berbendera Singapura. Sekembalinya ke tanah air 712 haji itu dipaksa menandatangani formulir permintaan maaf kepada pemerintah. Gus tf Sakai melampirkan kliping berita media cetak yang berkaitan dengan peristiwa tersebut pada akhir buku ini (hlm 187-191).
Novel ini sebelumnya dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Media Indonesia pada tahun 2005. Bercerita sebagai tokoh sentral adalah Aku, Haji Janir. Haji Janir adalah seorang pengusaha lepau (rumah makan) padang yang berkesempatan untuk berangkat ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Seperti yang dikatakan oleh McCormick (1994) bahwa Spiritualitas adalah sebuah pengalaman batin dari seorang individu yang bisa dibuktikan dari perilaku-perilaku (keseharian)nya. Selain itu, McCormick mengatakan bahwa ada kontribusi yang besar tentang pentingnya spiritual seseorang yang berpengaruh pada psikis seseorang dalam bekerja. Hal inilah yang sedang dialami oleh Janir dan dengan ratusan calon haji yang berangkat ke Tanah Suci. Ada perjalanan spiritual yang tidak hanya ternyata tidak hanya urusan pribadi antara masing-masing individu dan Sang Pencipta. Tetapi juga pihak lain, keluarga, guru, sahabat, rekan sejawat, dan tak ketinggalan pemerintah dalam hal ini Departemen yang terkenal dengan urusan perjalanan haji.
Gus tf Sakai menampilkan spiritualisme yang dilakoni oleh Janir. Terlahir dari keluarga yang cukup kuat di bidang agama, punya masa kecil yang menyenangkan dan bahagia. Beruntung ia mendapatkan pelajaran agama yang kuat sejak kecil, karena ia dikelilingi lingkungan yang sangat mendukung. Mengaji dan sholat, dua jenis aktivitas itu tidak luput dari kehidupannya.
Guru Muqri, tokoh yang ia temui di tanah suci, memberikan tiga kisah. Seperti janji sebelumnya pada Janir, bahwa ia akan memberikan tiga kisah pada Janir, jika ia berhaji tahun depannya. Ia mendapat tiga kisah itu, satu demi satu lewat peristiwa yang tidak ia duga. Sepotong kisah yang ditulis dalam surat, ternyata membawa imajinasi ke alam mimpi Janir. Apa yang mengusiknya selama di tanah suci adalah mimpinya akan kedatangan seekor ular dan seorang guru yang membenci murid-muridnya,
aku tersentak. aku tersentak dari mimpi yang sangat ganjil. ular? ya, ular. tetapi bukan ular seperti ular sebenarnya di dunia nyata. melainkan ular yang ...
berpuluh-puluh tahun beratus-ratus tahun mendesis menjalar, menggoda manusia!
beribu-ribu tahun berjuta-juta tahun menjalar dan melata, menipu, membelit,
menyesatkan manusia! tubuhku basah. berpeluh ....
...setelah kuulang dan kuulangi lagi, aku hanya tahu bahwa bagian terakhir cerita menggambarkan bagaimana inginnya sekelompok murid memperoleh malam yang mulia:malam lailatulkadar, malam seribu bulan. tetapi, di bagian penutup, guru mereka merasa benci. kenapa guru mereka benci?
kuulang dan kuulangi lagi. tetapi tetap aku tak paham. kuulangi lagi. dan mataku tertumpu pada:
... "inilah aku, yang akan datang lebih dulu." dan bagai kesurupan, serupa kesetanan, masing-masing mereka kian memacu tunggangan .... berhari-hari, berminggu-minggu mereka berpacu. berbulan-bulan, bertahun-tahun mereka berpacu.hanya berpacu. serupa kesurupan. seperti kesetanan. ada air ada makanan, tetapi mereka bagai tak haus juga tak lapar. tak pernah mereka singgah. ada halte ada stasiun, tetapi mereka terus. ada kehidupan ada kematian, tetapi mereka ngebut di kesendirian ....
tidakkah bagian ini menggambarkan bahwa, murid-murid itu ternyata sangat egois? demi dan untuk diri mereka, mereka bahkan tak peduli pada apa pun. ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian. di kesendirian. murid-murid itu a-sosial. mereka tak mementingkan hubungan antarmanusia. bahkan sebelumnya disebutkan pula bagai kesurupan serupa kesetanan. apakah dugaanku benar? hal itukah yang membuat sang guru menjadi benci? (Hlm 113-114)
Mimpi itu menyentak Janir, dan membuat pertanyaan dalam dirinya kembali, hingga datang lagi dalam mimpinya seekor ular.
...dan coba ingat, di lorong kepalamu, apakah yang pertama mengesankanmu tentang haji? ya! kau dibawa ibumu mengantarkan saudara jauh ayahmu melepas si saudara jauh ayah ke teluk bayur pergi haji. betapa membanggakan! biasanya hanya famili-famili terpilih, hanya saudara-saudara terpilih, yang diajak si keluarga calon haji
melepas si calon haji beramai-ramai ke pelabuhan. dan ke teluk bayur! ke padang! itulah perjalanan pertamamu melihat kota, melihat tempat yang begitu banyak gedung, rumah-rumah bulek, bangunan-bangunan yang terbuat dari tembok, yang membuat kau terkagum-kagum tercengang-cengang.
bangga. alangkah bangganya melihat kota. bangga. alangkah bangganya kalau kelak di kemudian hari juga bisa berhaji! hanya itu, hanya itu isi benakmu...
Dan apakah itu suatu kebetulan dan apakah itu bentuk komunikasi antara Yang Mahakuasa? hal itu tidak dapat dipahami oleh Janir, kala ia menemukan bahwa Gur Muqri mengetahui suatu warisan budaya Minangkabau, "tambo". Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud dengan sejarah, hikayat atau riwayat. Maknanya sama dengan kata babad dalam bahasa Jawa atau Sunda (Wikipedia). Dimana Didasarkan pada salah satu entri yang hilang tentang permainan layang-layang yang seharusnya masuk dalam bab permainan rakyat tapi anehnya ada dalam bab kepemimpinan.
apa yang perlu saya sampaikan juga adalah, mungkin tuan tak mendapat gambaran yangtepat tentang negara tuan. tetapi ke depan, dalam pandangan saya, akan seperti itulah negara tuan. dan bukan tak ada alasan saya mengambil cerita dari tradisi di kampung tuan, tetapi memang kisah yang tersembunyi dalam tambo itulah yang menurut
saya paling tepat untuk dicontohkan.
ada pelajaran penting disana tentang permainan layang-layang. Tidak sesederhana menaikkan atau mengulur benang pada layang-layang, namun ada nilai disana.
kayu-kayu galah yang menghubungkan aku dengan layang-layang, takhta keabadianku. kau lihatkah mereka kemudian memperebutkannya? hua-ha-ha... semua merasa berhak, semua ingin memiliki.
Janir dan rombongan kembali pulang. Pulang dengan serangkaian pertanyaan di benak Janir. Namun, kehidupan terus berjalan. Ia kembali lagi pada usaha rumah makannya. Ia kembali mempekerjakan orang-orang yang tadinya harus ikut kehilangan pekerjaan karena rumah makannya tutup.
...langganan yang selama dua bulan lebih entah makan di mana, kini telah kembali ke tempat kami.
Tentunya tidak hanya langganan yang tidak makan. Anak-anak semangnya juga.
Dalam novel ini diceritakan bahwa ada sifat-sifat yang jahat, yang merusak, dan yang berbahaya pada perjalanan spiritual seseorang. Dalam hal ini, Sakai mencontohkan perjalanan seorang pemuda Minang yang berhasil naik haji. Gus tf Sakai tentunya tidak sulit mengamati apa yang terjadi pada spiritualisme yang di daerah sendiri dibandingkan dengan daerah lain. Ia dengan pintar meramu haji, masa kecil, peradatan minang, serta nilai-nilai yang dianut orang Minang dalam sebuah novel.
Gustafrizal Busra, lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, 13 Agustus 1965. Untuk puisi ia menuliskan nama Gus tf. Ketika datanyakan oleh sebuah mass media mengapa ia memakai dua nama, Gus tf untuk puisi dan Gustf Sakai untuk prosa, ia berkata pendek, “Untuk sugesti biar keduanya serius pada bidangnya.” Walaupun ia hidup tidak berkecukupan, namun ia sangat menikmati profesinya. Ia pun mejadi sastrawan yang menonjol di generasinya. ” Ayahnya bernama Bustamam dan ibunya Ranjuna. Ayahnya yang petani meninggal ketika sastrawan ini masih kanak-kanak dan bersama sembilan saudaranya ia kemudian dibesarkan oleh ibunya yang hidup sebagai pedagang kecil dengan berjualan makanan tradisional. Saat ini ia menetap di Payakumbuh bersama istri dan ketiga anaknya.
Novel beliau ini banyak memuat kutipan yang saya sendiri tidak tahu darimana namun bagus. Sangat terasa kutipan tersebut bersumber dari pemikiran dan refleksi diri terhadap Sang Pencipta. Walau saya dibingungkan dengan banyaknya kutipan-kutipan yang terdapat di buku ini, Akhirnya saya memberikan empat bintang.
@hws20092010
My rating: 4 of 5 stars
196 pages
Published 2005 by KOMPAS Penerbit Buku Kompas
ISBN 0979709224
Ular Keempat ini memiliki cover yang boleh dibilang kurang menarik. Ini juga yang membuat saya awalnya tidak tergerak membacanya. Ada gambar ular, dan sebuah topeng (menurut saya). Versi elektronik novel ini tersedia di internet, walau dengan tampilan yang kurang menarik, dapat dilihat di situs ini.
Novel ini ditulis dengan menyertakan fakta peristiwa sejarah dan kemudian menjalinnya dengan kehidupan masyarakat. Peristiwa yang menjadi titik tolak adalah perjalanan haji Indonesia ke Saudi Arabia Januari 1970.
Ada apa di seputaran tahun tersebut?
Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Kapal Gambela. Bermula dari keinginan Pemerintah untuk menyatupintukan pelayanan haji nasional. Sebelumnya pelayanan haji dilakukan oleh pihak swasta. Namun ada ketidakpuasan dari para jemaah haji berkaitan dengan pelayanan yang diberikan. Hal yang memicunya adalah batalnya berangkat jemaah haji yang menggunakan jasa swasta terutama ICA dan Mukersa. Saat itu pihak swasta yang beroperasi adalah PT Arafat dengan kapal laut, ICA (International Civil Transport Asia) dengan pesawat udara dan Mukersa (Musyawarah Kerja Sama Haji). Hal itu memicu dikeluarkannya Kepres No. 22 Tahun 1969 yang menyatakan bahwa keseluruhan penyelenggaraan urusan haji hanya dilaksanakan oleh pemerintah.
HUSAMI (Himpunan Usahawan Muslim Indonesia) mempelopori penyelenggaraan haji murah. HUSAMI dikoordinir oleh Mr. Syafrudin Prawiranegara, yang juga pernah menjabat sebagai Presiden PRRI yang berbasis di Koto Tinggi, Kabupaten Limopuluah Kota, Sumatra Barat. Lewat HUSAMI, diberangkatkan 712 calon haji ke Saudi Arabia pada Januari 1970. Paracalon haji dianggap ilegal. ketika calon haji sudah tiba di Singapura, dipaksa pulang ke Indonesia. Ketika kapal berbalik ke Indonesia, diplomasi dilakukan oleh tokoh agama akhirnya mereka diberangkatkan ke Jeddah dengan menggunakan Kapal Gambela yang berbendera Singapura. Sekembalinya ke tanah air 712 haji itu dipaksa menandatangani formulir permintaan maaf kepada pemerintah. Gus tf Sakai melampirkan kliping berita media cetak yang berkaitan dengan peristiwa tersebut pada akhir buku ini (hlm 187-191).
Novel ini sebelumnya dimuat sebagai cerita bersambung di Harian Media Indonesia pada tahun 2005. Bercerita sebagai tokoh sentral adalah Aku, Haji Janir. Haji Janir adalah seorang pengusaha lepau (rumah makan) padang yang berkesempatan untuk berangkat ke tanah suci untuk menunaikan rukun Islam kelima.
Seperti yang dikatakan oleh McCormick (1994) bahwa Spiritualitas adalah sebuah pengalaman batin dari seorang individu yang bisa dibuktikan dari perilaku-perilaku (keseharian)nya. Selain itu, McCormick mengatakan bahwa ada kontribusi yang besar tentang pentingnya spiritual seseorang yang berpengaruh pada psikis seseorang dalam bekerja. Hal inilah yang sedang dialami oleh Janir dan dengan ratusan calon haji yang berangkat ke Tanah Suci. Ada perjalanan spiritual yang tidak hanya ternyata tidak hanya urusan pribadi antara masing-masing individu dan Sang Pencipta. Tetapi juga pihak lain, keluarga, guru, sahabat, rekan sejawat, dan tak ketinggalan pemerintah dalam hal ini Departemen yang terkenal dengan urusan perjalanan haji.
Gus tf Sakai menampilkan spiritualisme yang dilakoni oleh Janir. Terlahir dari keluarga yang cukup kuat di bidang agama, punya masa kecil yang menyenangkan dan bahagia. Beruntung ia mendapatkan pelajaran agama yang kuat sejak kecil, karena ia dikelilingi lingkungan yang sangat mendukung. Mengaji dan sholat, dua jenis aktivitas itu tidak luput dari kehidupannya.
Guru Muqri, tokoh yang ia temui di tanah suci, memberikan tiga kisah. Seperti janji sebelumnya pada Janir, bahwa ia akan memberikan tiga kisah pada Janir, jika ia berhaji tahun depannya. Ia mendapat tiga kisah itu, satu demi satu lewat peristiwa yang tidak ia duga. Sepotong kisah yang ditulis dalam surat, ternyata membawa imajinasi ke alam mimpi Janir. Apa yang mengusiknya selama di tanah suci adalah mimpinya akan kedatangan seekor ular dan seorang guru yang membenci murid-muridnya,
aku tersentak. aku tersentak dari mimpi yang sangat ganjil. ular? ya, ular. tetapi bukan ular seperti ular sebenarnya di dunia nyata. melainkan ular yang ...
berpuluh-puluh tahun beratus-ratus tahun mendesis menjalar, menggoda manusia!
beribu-ribu tahun berjuta-juta tahun menjalar dan melata, menipu, membelit,
menyesatkan manusia! tubuhku basah. berpeluh ....
...setelah kuulang dan kuulangi lagi, aku hanya tahu bahwa bagian terakhir cerita menggambarkan bagaimana inginnya sekelompok murid memperoleh malam yang mulia:malam lailatulkadar, malam seribu bulan. tetapi, di bagian penutup, guru mereka merasa benci. kenapa guru mereka benci?
kuulang dan kuulangi lagi. tetapi tetap aku tak paham. kuulangi lagi. dan mataku tertumpu pada:
... "inilah aku, yang akan datang lebih dulu." dan bagai kesurupan, serupa kesetanan, masing-masing mereka kian memacu tunggangan .... berhari-hari, berminggu-minggu mereka berpacu. berbulan-bulan, bertahun-tahun mereka berpacu.hanya berpacu. serupa kesurupan. seperti kesetanan. ada air ada makanan, tetapi mereka bagai tak haus juga tak lapar. tak pernah mereka singgah. ada halte ada stasiun, tetapi mereka terus. ada kehidupan ada kematian, tetapi mereka ngebut di kesendirian ....
tidakkah bagian ini menggambarkan bahwa, murid-murid itu ternyata sangat egois? demi dan untuk diri mereka, mereka bahkan tak peduli pada apa pun. ada kehidupan ada kematian tetapi mereka ngebut di kesendirian. di kesendirian. murid-murid itu a-sosial. mereka tak mementingkan hubungan antarmanusia. bahkan sebelumnya disebutkan pula bagai kesurupan serupa kesetanan. apakah dugaanku benar? hal itukah yang membuat sang guru menjadi benci? (Hlm 113-114)
Mimpi itu menyentak Janir, dan membuat pertanyaan dalam dirinya kembali, hingga datang lagi dalam mimpinya seekor ular.
...dan coba ingat, di lorong kepalamu, apakah yang pertama mengesankanmu tentang haji? ya! kau dibawa ibumu mengantarkan saudara jauh ayahmu melepas si saudara jauh ayah ke teluk bayur pergi haji. betapa membanggakan! biasanya hanya famili-famili terpilih, hanya saudara-saudara terpilih, yang diajak si keluarga calon haji
melepas si calon haji beramai-ramai ke pelabuhan. dan ke teluk bayur! ke padang! itulah perjalanan pertamamu melihat kota, melihat tempat yang begitu banyak gedung, rumah-rumah bulek, bangunan-bangunan yang terbuat dari tembok, yang membuat kau terkagum-kagum tercengang-cengang.
bangga. alangkah bangganya melihat kota. bangga. alangkah bangganya kalau kelak di kemudian hari juga bisa berhaji! hanya itu, hanya itu isi benakmu...
Dan apakah itu suatu kebetulan dan apakah itu bentuk komunikasi antara Yang Mahakuasa? hal itu tidak dapat dipahami oleh Janir, kala ia menemukan bahwa Gur Muqri mengetahui suatu warisan budaya Minangkabau, "tambo". Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud dengan sejarah, hikayat atau riwayat. Maknanya sama dengan kata babad dalam bahasa Jawa atau Sunda (Wikipedia). Dimana Didasarkan pada salah satu entri yang hilang tentang permainan layang-layang yang seharusnya masuk dalam bab permainan rakyat tapi anehnya ada dalam bab kepemimpinan.
apa yang perlu saya sampaikan juga adalah, mungkin tuan tak mendapat gambaran yangtepat tentang negara tuan. tetapi ke depan, dalam pandangan saya, akan seperti itulah negara tuan. dan bukan tak ada alasan saya mengambil cerita dari tradisi di kampung tuan, tetapi memang kisah yang tersembunyi dalam tambo itulah yang menurut
saya paling tepat untuk dicontohkan.
ada pelajaran penting disana tentang permainan layang-layang. Tidak sesederhana menaikkan atau mengulur benang pada layang-layang, namun ada nilai disana.
kayu-kayu galah yang menghubungkan aku dengan layang-layang, takhta keabadianku. kau lihatkah mereka kemudian memperebutkannya? hua-ha-ha... semua merasa berhak, semua ingin memiliki.
Janir dan rombongan kembali pulang. Pulang dengan serangkaian pertanyaan di benak Janir. Namun, kehidupan terus berjalan. Ia kembali lagi pada usaha rumah makannya. Ia kembali mempekerjakan orang-orang yang tadinya harus ikut kehilangan pekerjaan karena rumah makannya tutup.
...langganan yang selama dua bulan lebih entah makan di mana, kini telah kembali ke tempat kami.
Tentunya tidak hanya langganan yang tidak makan. Anak-anak semangnya juga.
Dalam novel ini diceritakan bahwa ada sifat-sifat yang jahat, yang merusak, dan yang berbahaya pada perjalanan spiritual seseorang. Dalam hal ini, Sakai mencontohkan perjalanan seorang pemuda Minang yang berhasil naik haji. Gus tf Sakai tentunya tidak sulit mengamati apa yang terjadi pada spiritualisme yang di daerah sendiri dibandingkan dengan daerah lain. Ia dengan pintar meramu haji, masa kecil, peradatan minang, serta nilai-nilai yang dianut orang Minang dalam sebuah novel.
Gustafrizal Busra, lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, 13 Agustus 1965. Untuk puisi ia menuliskan nama Gus tf. Ketika datanyakan oleh sebuah mass media mengapa ia memakai dua nama, Gus tf untuk puisi dan Gustf Sakai untuk prosa, ia berkata pendek, “Untuk sugesti biar keduanya serius pada bidangnya.” Walaupun ia hidup tidak berkecukupan, namun ia sangat menikmati profesinya. Ia pun mejadi sastrawan yang menonjol di generasinya. ” Ayahnya bernama Bustamam dan ibunya Ranjuna. Ayahnya yang petani meninggal ketika sastrawan ini masih kanak-kanak dan bersama sembilan saudaranya ia kemudian dibesarkan oleh ibunya yang hidup sebagai pedagang kecil dengan berjualan makanan tradisional. Saat ini ia menetap di Payakumbuh bersama istri dan ketiga anaknya.
Novel beliau ini banyak memuat kutipan yang saya sendiri tidak tahu darimana namun bagus. Sangat terasa kutipan tersebut bersumber dari pemikiran dan refleksi diri terhadap Sang Pencipta. Walau saya dibingungkan dengan banyaknya kutipan-kutipan yang terdapat di buku ini, Akhirnya saya memberikan empat bintang.
@hws20092010
The Professor and The Madman: Sebuah Dongeng tentang Pembunuhan, Kegilaan, dan Pembuatan Oxford English Dictionary by Simon Winchester
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 342 pages
Published 2006 by Serambi (first published 1998)
ISBN 9791112533
Saya sampai lupa dimana buku ini dibeli, sempat mengintip review dari teman GRI, saya baca reviewnya Pak Tanzil, dan memutuskan membaca buku ini. Saya salah. Tadinya saya mengira buku ini adalah novel, ternyata buku ini adalah semacam "pengantar" pada suatu kisah besar penciptaan kamus yang dianggap termashyur abad ini, yaitu The Oxford English Dictionary (OED).
Ditulis oleh Simon Winchester, Ia lahir di London Utara pada 28 September 1944, terlahir sebagai anak tunggal Bernard and Andrée Winchester (née deWael). Ia adalah seorang jurnalis yang juga alumni dari Oxford University dari jurusan Geologi. Selepas dari Oxford, ia bekerja di perusahaan pertambangan Kanada, Falconbridge dan bertugas sebagai geologist lapangan di pertambangan Uganda, Afrika. Selanjutnya ia menjadi junior reporter di The Journal. Kegemarannya traveling dan profesi sebagai jurnalis membawanya pada tempat-tempat menarik di dunia. Dari situs Wikipedia diketahui, bahwa selama kurun waktu 1980 hingga 1990 an ia menulis beberapa buku travel di Asia Pasifik.
Buku kecil ini memceritakan secara singkat apa dan bagaimana Kamus yang tersohor di seluruh dunia, The Oxford English Dictionary ada. Sejarah penulisan kamus ini terbilang sangat panjang. Revolusi industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, tampaknya berpengaruh pada suatu bentuk identitas Inggris sebagai muara ilmu pengetahuan, termasuk diantaranya di bidang linguistik. Pada awal abad 19, hanya Inggris yang di negara Eropa yang belum memiliki kamus bahasa. Negara Eropa lain seperti Jerman, Italia, Perancis, sudah lebih dulu "mengawetkan" bahasa mereka, bahkan sampai mendirikan institusi untuk mengontrol integritas bahasa (Hlm 133).
Mungkin hampir mirip dengan yang kita kenal sekarang semacam standar operasi atau standar profesi. Kebutuhan kamus tersebut muncul karena pada masa akhir abad 17, penulis menulis tanpa panduan sama sekali. Penulis sekaliber Shakespeare pun tidak punya argumentasi logis mengapa ia menggunakan kata "In the south suburbs at the Elephant/Is best to lodge" (Hlm 124) pada karya Twelfth Night.
Singkatnya, tidak ada panduan yang tercetak mengenai bahasa, tidak ada vade mecum linguistik, tidak ada satu buku pun yang bisa dijadikan referensi oleh Shakespeare atau Martin Frobisher, Francis Drake, Walter Raleigh, Francis Bacon, Edmund Spencer, Christopher Marlowe, Thomas Nash, John Donne, Ben Johnson, Izaak Walton, atau siapapun pada masa itu (Hlm 123).
Namun, bukan berarti tidak ada kamus pada zaman itu. Jika ada kata yang digunakan oleh sastrawan di atas, belum ada kamus yang bisa pada tahap menetapkan, mendefinisikan, dan memapankan penggunaan kata tersebut. Ada berbagai buku yang berfungsi kurang lebih sebagai kamus, antara lain Dictionarius pada tahun 1225. Di tahun 1538, kamus Latin-Inggris disusun oleh Tomas Elyot, A Shorte Dictionaire for Yonge Beginners disusun oleh Withal, A Table Alphabeticall ... of hard unusual English Words, disusun oleh Robert Cawdrey. Definisi yang diberikan buku tersebut kurang memuaskan, beberapa kamus menyadurkan satu kata sinonim atau sinonim yang kurang memberikan penjelasan yang memadai (Hlm 131).
Samuel Johnson (September 1709 December 1784)) menerbitkan A Dictionary of the English pada Tahun 1746, yang dianggap sudah berhasil memotret bahasa Inggris dengan segala kemegahan, keindahan, dan kerumitannya. Kamus ini cukup terkenal di Inggris hingga ke Amerika. Inilah karya yang menjadi titik tolak bagi sejarah bahasa Inggris untuk menerbitkan suatu standar bahasa nasional Inggris. Para pakar bahasa menyatakan pentingnya bahasa harus diberi martabat dan penghormatan yang setara dengan standar lain. Pada masa itu, di dunia sains para ilmuwan sedang bertanya, seberapa panas air mendidih? Para musisi sedang mendefinisikan bagaimana standar C mayor atau C minor. Selain itu, Pemerintah Inggris membentuk suatu badan yang bertugas membuat garis bujur untuk kepentingan pelayaran dan perdagangan. Badan itu dinamakan The Board of Longitude yang lebih populer dengan nama The Commissioners for the Discovery of the Longitude at Sea (1714-1828). Para tokoh sastra menganggap, jika garis bujur saja pemerintah begitu berkepentingan, pendefinisian warna, panjang, massa itu vital, mengapa bahasa nasional tidak diberi tempat yang sama?
Berbagai perdebatan muncul. Ada yang mengkritik, tetapi ada yang berinisiatif bekerja keras mulai menyusun mimpi itu. Johnson membentuk tim untuk mulai bekerja mengumpulkan kata demi kata dari seluruh karya sastra yang bertitik tolak pada terbitan tahun 1586 karena dianggap sastrawan pertama yang terbaik pada saat itu, Sir Philip Sidney meninggal pada 1586. Metodologi yang digunakan oleh Johnson adalah sebagai berikut: Membaca buku-buku, menggarisbawahi serta melingkari kata-kata, membubuhi kata-kata dengan catatan, dan menyuruh pembantunya untuk menyalin di atas slip kertas kalimat lengkap berisi kata yang diseleksi (Hlm 145).
Siapa yang disebut The Professor?
The Professor adalah James Murray (7 February 1837 – 26 July 1915). Ia adalah seorang Scottish lexicographer and philologist. Pada usia 17 tahun sudah mengajar bahasa Inggris di Hawick Grammar School dan tiga tahun kemudian menjadi kepala sekolah di sana. Dalam usia 32 tahun di 1869, ia menjadi anggota Philological Society, suatu organisasi yang beranggotakan ahli bahasa (filologist). James Murray melanjutkan proyek pembuatan kamus yang sudah digagas oleh Richard Chevenix Trench. Idenya adalah merekrut ratusan ribu amatir yang semuanya bekerja sebagai voluntir, yang bekerja mencatat setiap kata dari sumber manapun untuk diseleksi oleh tim editor yang sudah ditentukan. Trench berfilosofi bahwa setiap kamus besar yang baru harus merupakan produk demokrasi, buku yang memperlihatkan unggulnya kebebasan individu, pengertian bahwa seseorang dapat memakai kata-kata secara merdeka, tanpa ditundukkan aturan leksikal yang kaku (Hlm 159). Berikut ini gambar Murray di Scriptorium di Banbury Road, tahun 1880-an. Perhatikan banyak sekali kertas-kertas yang ada dilemari.
Sebelum James Murray sudah ada nama-nama seperti Frederick Furnivalll dan Herbert Coleridge. James Murray ditunjuk oleh Furnivall untuk menjadi kepala editor. Ia membuat tempat yang bisa menampung ribuan slip kertas dari voluntir, untuk diklasifikasikan dan diseleksi. Selanjutnya hasil seleksi tersebut dibuat secara alfabet dan ditawarkan ke penerbit, antara lain ke Macmillan dan Oxford. Oxford saat itu dinilai pelit, sok intelek, dan sering merendahkan orang (Hlm 165). Bagaimana bisa sampai ke Oxford, silahkan dibaca lebih lanjut pada bagian "Konsep Kamus Besar".
Lalu Siapa yang disebut The Mad Man?
Tokoh inilah yang "sengaja" diangkat oleh Simon Winchester, karena namanya tenggelam oleh nama besar Sang Founding Father. Yang dimaksud adalah seorang leksigrafer amatir yang terpelajar namun mengalami gangguan jiwa. Ia bernama Dokter (Purnawirawan) Kapt. US Army, William Chester Minor (Juni 1834 - 26 Maret 1920). Penelusuran pada tokoh ini sangat mengejutkan, ia adalah seorang ahli bedah tentara Amerika yang banyak memberikan kontribusi ilmiah ke OED, sementara ia ada di rumah sakit jiwa. Inilah foto beliau, yang bersumber dari Wikipedia, sama dengan foto yang ada di cover buku.
Mengapa ia menderita sakit jiwa, itu dipaparkan oleh Winchester di bagian "Sarjana di Blok Muda." Secara ringkas, Minor adalah seorang anak dari keluarga misionaris, belajar kedokteran di Yale university, dan selanjutnya masuk US Army. Pengalaman buruk ketika bertugas di Wilderness, ia membubuhkan cap dari besi panas pada seorang serdadu Irlandia yang diduga desersi. Ia begitu frustasi bila mengingat hal itu, dan itu mempengaruhi kejiwaannya. Ia keluar dari ketentaraan dan memilih pergi ke Inggris, ke tempat nenek moyangnya. Suatu saat ia membunuh George Merret, seorang buruh di Inggris, karena Minor merasa terancam ketika melihat Merret. Artikel Simon Winchester mengenai William Minor dapat dilihat disini
Hukumanpun dijatuhkan, namun berhubung Minor mengidap penyakit kejiwaan-yang saat itu belum dapat diidentifikasi-, ia mendekam di rumah sakit jiwa (asylum) di Broadmoor. Namun, ada kalanya ia bersikap santun dan waras. Berhubung ia adalah pensiunan tentara Amerika, ia mempunya uang yang cukup untuk membangun perpustakaan pribadi di kamar di Rumah Sakit Jiwa tersebut. Suatu hari ia menerima selebaran yang meminta kesediaan sebagai voluntir OED. Ia menyambut baik, koleksi bukunya sangat banyak dan sangat beragam. Ia menjadi kontributor yang paling setia dan kata-kata yang dikirimkannya selalu lolos dari editor.
James Murray merasa perlu bertemu langsung dengan kontributornya itu. Sebab selama ini hanya surat dan goresan pena yang diterimanya dari Minor. Ada suatu kisah pertemuan mereka yang (masihkah?) menjadi mitos, ditulis pada awal buku ini.
Hasilnya bisa dilihat sekarang, ternyata Kamus yang legendaris sepanjang masa itu dibuat oleh kumpulan orang-orang yang rela dan gigih, terlebih mencintai pekerjaannya. Dan untuk itu, kerja keras mereka dapat dinikmati oleh pengguna ilmu pengetahuan bahasa hingga kini.
Penutup
Seperti yang ditulis oleh Simon Winchester pada kata pengantarnya, bahwa ia tertarik menulis buku ini, karena ia membaca buku karangan Elizabeth Murray, Caught in the Web of Words. Mungkin karena ia seorang jurnalis, ia akan menghubungkan tokoh dan peristiwa, seperti halnya buku di atas, bahwa James Murray adalah Founding Father-nya OED.
Buku ini sangat bagus, terutama penyajiannya yang ringan khas reportase jurnalis modern. Dari kisah ini ada nilai-nilai yang bisa dijadikan pelajaran,
1. Minor menebus rasa bersalahnya karena membunuh George Meret dengan menyantuni jandanya. Apa dampaknya? Nilai meminta maaf dan mengampuni memiliki dampak besar. Mrs. Merret mengunjungi Minor secara teratur di Broadmoor, dan juga membawakan Minor buku-buku dari pedagang antik di London. Bisa dikatakan, Mrs. Herret turut berandil dalam penyusunan kamus Oxford.
2. Keadaan ironis, dimana karya besar dilahirkan dari tempat yang tidak kondusif, yakni rumah sakit jiwa. Penyakit jiwa yang dialami Minor, tentunya dulu tidak ditangani dengan ilmu psikiatri modern. Bila ia dirawat dengan benar, niscaya ia tidak akan menghasilkan sumbangan bermutu terhadap kamus Oxford. Dalam sudut pandang tertentu, Minor menggarap kamus tersebut sebagai terapi atas penyakit jiwa yang dideritanya. Ini menunjukkan suatu perjuangan Minor yang tidak menyerah pada keadaan yang paling sulit sekalipun untuk tetap berkarya,
Terjemahannya juga relatif bagus, namun ada juga beberapa kalimat yang kurang enak dibaca, dan karena itu saya kurangi bintangnya satu.
regulasi Kanto Pos (hlm 201)
Pada akhir buku, Simon menambahkan beberapa buku lain yang menjadi rujukan:
- Chasing the sun: dictionary makes and the dictionaries they made oleh Jonhattan Green
- MURRAY, K. M. ELISABETH: Caught In The Web Of Words: James Murray And - The Oxford English Dictionary. Yale University Press. New Haven and London: 1978.
- Empire of Words_The Reign of the OED oleh John Willinsky
- The Battle of Wilderness oleh Gordon C Rhea
- The American Heritage of the Civil War oleh Brice Catton dan James M. Macpherson.
- London: A Social History oleh Roy Porter
Buku yang berkaitan dengan kejiwaan:
Origin of Mental Illness oleh Gordon Claridge
Master of Bedlam oleh Andrew Scull
Bagi saya, buku Winchester ini adalah pengantar yang menggoda.
@HWS01092010
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 342 pages
Published 2006 by Serambi (first published 1998)
ISBN 9791112533
Saya sampai lupa dimana buku ini dibeli, sempat mengintip review dari teman GRI, saya baca reviewnya Pak Tanzil, dan memutuskan membaca buku ini. Saya salah. Tadinya saya mengira buku ini adalah novel, ternyata buku ini adalah semacam "pengantar" pada suatu kisah besar penciptaan kamus yang dianggap termashyur abad ini, yaitu The Oxford English Dictionary (OED).
Ditulis oleh Simon Winchester, Ia lahir di London Utara pada 28 September 1944, terlahir sebagai anak tunggal Bernard and Andrée Winchester (née deWael). Ia adalah seorang jurnalis yang juga alumni dari Oxford University dari jurusan Geologi. Selepas dari Oxford, ia bekerja di perusahaan pertambangan Kanada, Falconbridge dan bertugas sebagai geologist lapangan di pertambangan Uganda, Afrika. Selanjutnya ia menjadi junior reporter di The Journal. Kegemarannya traveling dan profesi sebagai jurnalis membawanya pada tempat-tempat menarik di dunia. Dari situs Wikipedia diketahui, bahwa selama kurun waktu 1980 hingga 1990 an ia menulis beberapa buku travel di Asia Pasifik.
Buku kecil ini memceritakan secara singkat apa dan bagaimana Kamus yang tersohor di seluruh dunia, The Oxford English Dictionary ada. Sejarah penulisan kamus ini terbilang sangat panjang. Revolusi industri yang ditandai dengan penemuan mesin uap oleh James Watt, tampaknya berpengaruh pada suatu bentuk identitas Inggris sebagai muara ilmu pengetahuan, termasuk diantaranya di bidang linguistik. Pada awal abad 19, hanya Inggris yang di negara Eropa yang belum memiliki kamus bahasa. Negara Eropa lain seperti Jerman, Italia, Perancis, sudah lebih dulu "mengawetkan" bahasa mereka, bahkan sampai mendirikan institusi untuk mengontrol integritas bahasa (Hlm 133).
Mungkin hampir mirip dengan yang kita kenal sekarang semacam standar operasi atau standar profesi. Kebutuhan kamus tersebut muncul karena pada masa akhir abad 17, penulis menulis tanpa panduan sama sekali. Penulis sekaliber Shakespeare pun tidak punya argumentasi logis mengapa ia menggunakan kata "In the south suburbs at the Elephant/Is best to lodge" (Hlm 124) pada karya Twelfth Night.
Singkatnya, tidak ada panduan yang tercetak mengenai bahasa, tidak ada vade mecum linguistik, tidak ada satu buku pun yang bisa dijadikan referensi oleh Shakespeare atau Martin Frobisher, Francis Drake, Walter Raleigh, Francis Bacon, Edmund Spencer, Christopher Marlowe, Thomas Nash, John Donne, Ben Johnson, Izaak Walton, atau siapapun pada masa itu (Hlm 123).
Namun, bukan berarti tidak ada kamus pada zaman itu. Jika ada kata yang digunakan oleh sastrawan di atas, belum ada kamus yang bisa pada tahap menetapkan, mendefinisikan, dan memapankan penggunaan kata tersebut. Ada berbagai buku yang berfungsi kurang lebih sebagai kamus, antara lain Dictionarius pada tahun 1225. Di tahun 1538, kamus Latin-Inggris disusun oleh Tomas Elyot, A Shorte Dictionaire for Yonge Beginners disusun oleh Withal, A Table Alphabeticall ... of hard unusual English Words, disusun oleh Robert Cawdrey. Definisi yang diberikan buku tersebut kurang memuaskan, beberapa kamus menyadurkan satu kata sinonim atau sinonim yang kurang memberikan penjelasan yang memadai (Hlm 131).
Samuel Johnson (September 1709 December 1784)) menerbitkan A Dictionary of the English pada Tahun 1746, yang dianggap sudah berhasil memotret bahasa Inggris dengan segala kemegahan, keindahan, dan kerumitannya. Kamus ini cukup terkenal di Inggris hingga ke Amerika. Inilah karya yang menjadi titik tolak bagi sejarah bahasa Inggris untuk menerbitkan suatu standar bahasa nasional Inggris. Para pakar bahasa menyatakan pentingnya bahasa harus diberi martabat dan penghormatan yang setara dengan standar lain. Pada masa itu, di dunia sains para ilmuwan sedang bertanya, seberapa panas air mendidih? Para musisi sedang mendefinisikan bagaimana standar C mayor atau C minor. Selain itu, Pemerintah Inggris membentuk suatu badan yang bertugas membuat garis bujur untuk kepentingan pelayaran dan perdagangan. Badan itu dinamakan The Board of Longitude yang lebih populer dengan nama The Commissioners for the Discovery of the Longitude at Sea (1714-1828). Para tokoh sastra menganggap, jika garis bujur saja pemerintah begitu berkepentingan, pendefinisian warna, panjang, massa itu vital, mengapa bahasa nasional tidak diberi tempat yang sama?
Berbagai perdebatan muncul. Ada yang mengkritik, tetapi ada yang berinisiatif bekerja keras mulai menyusun mimpi itu. Johnson membentuk tim untuk mulai bekerja mengumpulkan kata demi kata dari seluruh karya sastra yang bertitik tolak pada terbitan tahun 1586 karena dianggap sastrawan pertama yang terbaik pada saat itu, Sir Philip Sidney meninggal pada 1586. Metodologi yang digunakan oleh Johnson adalah sebagai berikut: Membaca buku-buku, menggarisbawahi serta melingkari kata-kata, membubuhi kata-kata dengan catatan, dan menyuruh pembantunya untuk menyalin di atas slip kertas kalimat lengkap berisi kata yang diseleksi (Hlm 145).
Siapa yang disebut The Professor?
The Professor adalah James Murray (7 February 1837 – 26 July 1915). Ia adalah seorang Scottish lexicographer and philologist. Pada usia 17 tahun sudah mengajar bahasa Inggris di Hawick Grammar School dan tiga tahun kemudian menjadi kepala sekolah di sana. Dalam usia 32 tahun di 1869, ia menjadi anggota Philological Society, suatu organisasi yang beranggotakan ahli bahasa (filologist). James Murray melanjutkan proyek pembuatan kamus yang sudah digagas oleh Richard Chevenix Trench. Idenya adalah merekrut ratusan ribu amatir yang semuanya bekerja sebagai voluntir, yang bekerja mencatat setiap kata dari sumber manapun untuk diseleksi oleh tim editor yang sudah ditentukan. Trench berfilosofi bahwa setiap kamus besar yang baru harus merupakan produk demokrasi, buku yang memperlihatkan unggulnya kebebasan individu, pengertian bahwa seseorang dapat memakai kata-kata secara merdeka, tanpa ditundukkan aturan leksikal yang kaku (Hlm 159). Berikut ini gambar Murray di Scriptorium di Banbury Road, tahun 1880-an. Perhatikan banyak sekali kertas-kertas yang ada dilemari.
Sebelum James Murray sudah ada nama-nama seperti Frederick Furnivalll dan Herbert Coleridge. James Murray ditunjuk oleh Furnivall untuk menjadi kepala editor. Ia membuat tempat yang bisa menampung ribuan slip kertas dari voluntir, untuk diklasifikasikan dan diseleksi. Selanjutnya hasil seleksi tersebut dibuat secara alfabet dan ditawarkan ke penerbit, antara lain ke Macmillan dan Oxford. Oxford saat itu dinilai pelit, sok intelek, dan sering merendahkan orang (Hlm 165). Bagaimana bisa sampai ke Oxford, silahkan dibaca lebih lanjut pada bagian "Konsep Kamus Besar".
Lalu Siapa yang disebut The Mad Man?
Tokoh inilah yang "sengaja" diangkat oleh Simon Winchester, karena namanya tenggelam oleh nama besar Sang Founding Father. Yang dimaksud adalah seorang leksigrafer amatir yang terpelajar namun mengalami gangguan jiwa. Ia bernama Dokter (Purnawirawan) Kapt. US Army, William Chester Minor (Juni 1834 - 26 Maret 1920). Penelusuran pada tokoh ini sangat mengejutkan, ia adalah seorang ahli bedah tentara Amerika yang banyak memberikan kontribusi ilmiah ke OED, sementara ia ada di rumah sakit jiwa. Inilah foto beliau, yang bersumber dari Wikipedia, sama dengan foto yang ada di cover buku.
Mengapa ia menderita sakit jiwa, itu dipaparkan oleh Winchester di bagian "Sarjana di Blok Muda." Secara ringkas, Minor adalah seorang anak dari keluarga misionaris, belajar kedokteran di Yale university, dan selanjutnya masuk US Army. Pengalaman buruk ketika bertugas di Wilderness, ia membubuhkan cap dari besi panas pada seorang serdadu Irlandia yang diduga desersi. Ia begitu frustasi bila mengingat hal itu, dan itu mempengaruhi kejiwaannya. Ia keluar dari ketentaraan dan memilih pergi ke Inggris, ke tempat nenek moyangnya. Suatu saat ia membunuh George Merret, seorang buruh di Inggris, karena Minor merasa terancam ketika melihat Merret. Artikel Simon Winchester mengenai William Minor dapat dilihat disini
Hukumanpun dijatuhkan, namun berhubung Minor mengidap penyakit kejiwaan-yang saat itu belum dapat diidentifikasi-, ia mendekam di rumah sakit jiwa (asylum) di Broadmoor. Namun, ada kalanya ia bersikap santun dan waras. Berhubung ia adalah pensiunan tentara Amerika, ia mempunya uang yang cukup untuk membangun perpustakaan pribadi di kamar di Rumah Sakit Jiwa tersebut. Suatu hari ia menerima selebaran yang meminta kesediaan sebagai voluntir OED. Ia menyambut baik, koleksi bukunya sangat banyak dan sangat beragam. Ia menjadi kontributor yang paling setia dan kata-kata yang dikirimkannya selalu lolos dari editor.
James Murray merasa perlu bertemu langsung dengan kontributornya itu. Sebab selama ini hanya surat dan goresan pena yang diterimanya dari Minor. Ada suatu kisah pertemuan mereka yang (masihkah?) menjadi mitos, ditulis pada awal buku ini.
Hasilnya bisa dilihat sekarang, ternyata Kamus yang legendaris sepanjang masa itu dibuat oleh kumpulan orang-orang yang rela dan gigih, terlebih mencintai pekerjaannya. Dan untuk itu, kerja keras mereka dapat dinikmati oleh pengguna ilmu pengetahuan bahasa hingga kini.
Penutup
Seperti yang ditulis oleh Simon Winchester pada kata pengantarnya, bahwa ia tertarik menulis buku ini, karena ia membaca buku karangan Elizabeth Murray, Caught in the Web of Words. Mungkin karena ia seorang jurnalis, ia akan menghubungkan tokoh dan peristiwa, seperti halnya buku di atas, bahwa James Murray adalah Founding Father-nya OED.
Buku ini sangat bagus, terutama penyajiannya yang ringan khas reportase jurnalis modern. Dari kisah ini ada nilai-nilai yang bisa dijadikan pelajaran,
1. Minor menebus rasa bersalahnya karena membunuh George Meret dengan menyantuni jandanya. Apa dampaknya? Nilai meminta maaf dan mengampuni memiliki dampak besar. Mrs. Merret mengunjungi Minor secara teratur di Broadmoor, dan juga membawakan Minor buku-buku dari pedagang antik di London. Bisa dikatakan, Mrs. Herret turut berandil dalam penyusunan kamus Oxford.
2. Keadaan ironis, dimana karya besar dilahirkan dari tempat yang tidak kondusif, yakni rumah sakit jiwa. Penyakit jiwa yang dialami Minor, tentunya dulu tidak ditangani dengan ilmu psikiatri modern. Bila ia dirawat dengan benar, niscaya ia tidak akan menghasilkan sumbangan bermutu terhadap kamus Oxford. Dalam sudut pandang tertentu, Minor menggarap kamus tersebut sebagai terapi atas penyakit jiwa yang dideritanya. Ini menunjukkan suatu perjuangan Minor yang tidak menyerah pada keadaan yang paling sulit sekalipun untuk tetap berkarya,
Terjemahannya juga relatif bagus, namun ada juga beberapa kalimat yang kurang enak dibaca, dan karena itu saya kurangi bintangnya satu.
regulasi Kanto Pos (hlm 201)
Pada akhir buku, Simon menambahkan beberapa buku lain yang menjadi rujukan:
- Chasing the sun: dictionary makes and the dictionaries they made oleh Jonhattan Green
- MURRAY, K. M. ELISABETH: Caught In The Web Of Words: James Murray And - The Oxford English Dictionary. Yale University Press. New Haven and London: 1978.
- Empire of Words_The Reign of the OED oleh John Willinsky
- The Battle of Wilderness oleh Gordon C Rhea
- The American Heritage of the Civil War oleh Brice Catton dan James M. Macpherson.
- London: A Social History oleh Roy Porter
Buku yang berkaitan dengan kejiwaan:
Origin of Mental Illness oleh Gordon Claridge
Master of Bedlam oleh Andrew Scull
Bagi saya, buku Winchester ini adalah pengantar yang menggoda.
@HWS01092010
Snow Country: Daerah Salju by Yasunari Kawabata
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 188 pages
Published 2009 by gagasmedia (first published 1947)
ISBN 9789797803681
Pernahkah kau mencuri pandang lewat pantulan kaca, entah itu di pintu kaca, jendela kaca, kaca pada jendela mobil, kaca spion, kaca lemari, atau apapun yang bisa memantulkan bayangan? Apa yang kau lihat dan rasakan?
Peristiwa ini adalah kisah awal novel ini. Dalam perjalanan ke suatu tempat yang indah alamnya, Shimamura memerhatikan seorang gadis yang ada di depannya dengan melihat melalui pantulan jendela kaca kereta api. Kecantikan gadis itu sungguh memesonanya. Bisa dibayangkan ketika Shimamura melihat ke luar, seharusnya pemandangan pohon-pohon dan pegunungan yang ia lihat, tetapi hal itu masih kalah menariknya dibanding wajah sang gadis. Kawabata menulis peristiwa itu sebagai berikut.
Langit di atas gunung masih menyisakan warna merah senja. Setiap benda masih jelas bentuknya di kejauhan, tetapi pemandangan gunung yang monoton, begitu-begitu saja mil demi mil, tampak menjemukan karena kehilangan warna. Tak ada yang menarik di luar sana, dan semuanya mengalir hambar. Tentulah itu karena tertimpa oleh wajah si gadis yang mengapung di atasnya. Pemandangan senja bergerak ajek di sekeliling garis wajah itu. Wajah itu juga tampak bening-tetapi, apakah ia benar-benar tembus cahaya? Shimamura melamunkan bahwa sesungguhnya pemandangan senja terus melintas wajah itu dan tidak pernah berhenti meyakinkannya bahwa memang begitulah yang terjadi.
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 188 pages
Published 2009 by gagasmedia (first published 1947)
ISBN 9789797803681
Pernahkah kau mencuri pandang lewat pantulan kaca, entah itu di pintu kaca, jendela kaca, kaca pada jendela mobil, kaca spion, kaca lemari, atau apapun yang bisa memantulkan bayangan? Apa yang kau lihat dan rasakan?
Peristiwa ini adalah kisah awal novel ini. Dalam perjalanan ke suatu tempat yang indah alamnya, Shimamura memerhatikan seorang gadis yang ada di depannya dengan melihat melalui pantulan jendela kaca kereta api. Kecantikan gadis itu sungguh memesonanya. Bisa dibayangkan ketika Shimamura melihat ke luar, seharusnya pemandangan pohon-pohon dan pegunungan yang ia lihat, tetapi hal itu masih kalah menariknya dibanding wajah sang gadis. Kawabata menulis peristiwa itu sebagai berikut.
Langit di atas gunung masih menyisakan warna merah senja. Setiap benda masih jelas bentuknya di kejauhan, tetapi pemandangan gunung yang monoton, begitu-begitu saja mil demi mil, tampak menjemukan karena kehilangan warna. Tak ada yang menarik di luar sana, dan semuanya mengalir hambar. Tentulah itu karena tertimpa oleh wajah si gadis yang mengapung di atasnya. Pemandangan senja bergerak ajek di sekeliling garis wajah itu. Wajah itu juga tampak bening-tetapi, apakah ia benar-benar tembus cahaya? Shimamura melamunkan bahwa sesungguhnya pemandangan senja terus melintas wajah itu dan tidak pernah berhenti meyakinkannya bahwa memang begitulah yang terjadi.
Batavia Kota Hantu by Alwi Shahab
My rating: 4 of 5 stars
234 pages
Published February 2010 by Penerbit Republika
ISBN 9789791102742
Ditulis oleh seorang wartawan senior pemerhati serius masalah sosial budaya kota Jakarta. Alwi Shabab lahir di Kwitang, Jakarta Pusat 31 Agustus 1936. Catatan Kwitang, konon berasal dari nama seorang Cina, Kwee Tiang Kam, yaitu penjual obat tradisional yang masyhur. Saking terkenalnya, kediaman penjual obat ini disebut Kwitang. ia telah menjalani profesi sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun. Tahun 1960 ia bekerja kantor berita Arabian Press Board di Jakarta. Sejak Agustus 1963 ia bekerja di Kantor Berita Antara. Selama sembilan tahun (1969-1978), ia menjadi wartawan Istana. setelah pensiun dari Antara tahun 1993, ia bergabung dengan Harian Umum Republika.
My rating: 4 of 5 stars
234 pages
Published February 2010 by Penerbit Republika
ISBN 9789791102742
Ditulis oleh seorang wartawan senior pemerhati serius masalah sosial budaya kota Jakarta. Alwi Shabab lahir di Kwitang, Jakarta Pusat 31 Agustus 1936. Catatan Kwitang, konon berasal dari nama seorang Cina, Kwee Tiang Kam, yaitu penjual obat tradisional yang masyhur. Saking terkenalnya, kediaman penjual obat ini disebut Kwitang. ia telah menjalani profesi sebagai wartawan selama lebih dari 40 tahun. Tahun 1960 ia bekerja kantor berita Arabian Press Board di Jakarta. Sejak Agustus 1963 ia bekerja di Kantor Berita Antara. Selama sembilan tahun (1969-1978), ia menjadi wartawan Istana. setelah pensiun dari Antara tahun 1993, ia bergabung dengan Harian Umum Republika.
Bukavu by Helvy Tiana Rosa
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 228 pages
Published April 2008 by Lingkar Pena Kreativa
ISBN 9791367337 )
Iseng-iseng jalan jalan ke Mall Kalibata, dan menemukan buku ini di toko buku JBC (baru kali ini dengar, sepertinya belum ada cabangnya dimana-mana) CMIIW.
Kumpulan Cerpen ini banyak berlatar belakang konflik. Beberapa peristiwa di tanah air yang turut memberi warna pada cerita pendeknya antara lain konflik di Ambon (1999), GAM di Aceh (1992), Timor-timur (1998), Pembantaian etnis Madura di Kalimantan (1999-2000) Tsunami (2004), dan beberapa peristiwa di luar negeri yang bertema kondisi perang, misalnya perang Serbia, Jalur Gaza.
dan Bukavu sendiri adalah suatu tempat yang sangat dipuji Ernest Hemingway. Bukavu adalah nama kota yang ada di negara Rwanda, Afrika. Di Bukavu ada sebuah danau yang indah, namanya Kivu.
Ada cerita menyedihkan dimana terjadi perang suku antara Suku Tutsi dan Suku Hutu. Hal itu menyebabkan terjadinya genoside (pemusnahan etnis secara besar-besaran). Suku yang mayoritas mendiami daerah Rwanda adalah Hutu (berkulit lebih gelap) sedang suku yang minoritas adalah suku Tutsi (berkulit lebih terang).
artikel Wikipedia mengenai genoside ini, dapat dilihat di sini cuplikannya sebagai berikut.
The assassination of Habyarimana in April 1994 was the proximate cause of the mass killings of Tutsis and pro-peace Hutus. The mass killings were carried out primarily by two Hutu militias associated with political parties: the Interahamwe and the Impuzamugambi. The genocide was directed by a Hutu power group known as the Akazu. The mass killing also marked the end of the peace agreement meant to end the war, and the Tutsi RPF restarted their offensive, eventually defeating the army and seizing control of the country.
Helvy mengangkat tema kemanusiaan yang terjadi pada konflik-konflik tersebut agar pembaca dapat merasakan "feel" at that time. Paling tidak, dengan merasakan feelnya, kita bisa memaknai lebih apa itu kemanusiaan.
Namun sayangnya, ataukah terlewat oleh saya, peristiwa Mei 1998 tidak ada disini. Padahal begitu banyaknya cerita yang menyedihkan saat peristiwa ini terjadi. Selain itu, ini hanya pemandangan saya selaku orang awam, kumpulan cerpen kurang plural. Mungkin ketika kita berbicara spiritualitas, cakupannya lebih universal. cerpen ini memperkenalkan. Memperkenalkan Aceh, memperkenalkan Ambon, memperkenalkan Rwanda, dan beberapa kota lain serta kosa kata bahasa setempat. Maklum, selain penulis, beliau adalah seorang dosen, tentu wawasan pengetahuannya lebih luas.
Selain itu, saya masih sulit membaca (menikmati) tulisan sastranya, dan mungkin saja ini membuka saya untuk menjelajah karya-karya beliau yang lain.
Anyway, tiga bintang dari saya.
@hws06082010
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 228 pages
Published April 2008 by Lingkar Pena Kreativa
ISBN 9791367337 )
Iseng-iseng jalan jalan ke Mall Kalibata, dan menemukan buku ini di toko buku JBC (baru kali ini dengar, sepertinya belum ada cabangnya dimana-mana) CMIIW.
Kumpulan Cerpen ini banyak berlatar belakang konflik. Beberapa peristiwa di tanah air yang turut memberi warna pada cerita pendeknya antara lain konflik di Ambon (1999), GAM di Aceh (1992), Timor-timur (1998), Pembantaian etnis Madura di Kalimantan (1999-2000) Tsunami (2004), dan beberapa peristiwa di luar negeri yang bertema kondisi perang, misalnya perang Serbia, Jalur Gaza.
dan Bukavu sendiri adalah suatu tempat yang sangat dipuji Ernest Hemingway. Bukavu adalah nama kota yang ada di negara Rwanda, Afrika. Di Bukavu ada sebuah danau yang indah, namanya Kivu.
Ada cerita menyedihkan dimana terjadi perang suku antara Suku Tutsi dan Suku Hutu. Hal itu menyebabkan terjadinya genoside (pemusnahan etnis secara besar-besaran). Suku yang mayoritas mendiami daerah Rwanda adalah Hutu (berkulit lebih gelap) sedang suku yang minoritas adalah suku Tutsi (berkulit lebih terang).
artikel Wikipedia mengenai genoside ini, dapat dilihat di sini cuplikannya sebagai berikut.
The assassination of Habyarimana in April 1994 was the proximate cause of the mass killings of Tutsis and pro-peace Hutus. The mass killings were carried out primarily by two Hutu militias associated with political parties: the Interahamwe and the Impuzamugambi. The genocide was directed by a Hutu power group known as the Akazu. The mass killing also marked the end of the peace agreement meant to end the war, and the Tutsi RPF restarted their offensive, eventually defeating the army and seizing control of the country.
Helvy mengangkat tema kemanusiaan yang terjadi pada konflik-konflik tersebut agar pembaca dapat merasakan "feel" at that time. Paling tidak, dengan merasakan feelnya, kita bisa memaknai lebih apa itu kemanusiaan.
Namun sayangnya, ataukah terlewat oleh saya, peristiwa Mei 1998 tidak ada disini. Padahal begitu banyaknya cerita yang menyedihkan saat peristiwa ini terjadi. Selain itu, ini hanya pemandangan saya selaku orang awam, kumpulan cerpen kurang plural. Mungkin ketika kita berbicara spiritualitas, cakupannya lebih universal. cerpen ini memperkenalkan. Memperkenalkan Aceh, memperkenalkan Ambon, memperkenalkan Rwanda, dan beberapa kota lain serta kosa kata bahasa setempat. Maklum, selain penulis, beliau adalah seorang dosen, tentu wawasan pengetahuannya lebih luas.
Selain itu, saya masih sulit membaca (menikmati) tulisan sastranya, dan mungkin saja ini membuka saya untuk menjelajah karya-karya beliau yang lain.
Anyway, tiga bintang dari saya.
@hws06082010
Saman by Ayu Utami
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 197 pages
Published 2001 by KPG (first published 1998)
Inilah buku Ayu Utami yang pertama kali saya baca. Tahun 2006 saya sudah membeli bukunya Larung, namun saya sendiri sampai sekarang belum membacanya. Saya termasuk terlambat membacanya, karena sudah 12 tahun berlalu dari pertama kali dicetak, barulah saya berkesempatan.
Novel ini mendapat banyak pujian. sambutan tersebut dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Dari dunia akademis juga memberikan sumbangannya lewat karya ilmiah suatu penelitian mengenai novel Saman dan Larung. Beberapa judul karya akademis yang mengupas novel ini yaitu sebagai berikut.
1. Skripsi: Perilaku Seksual dalam Novel Saman Karya Ayu Utami. Oktivita, Universitas Muhamadiyah Surakarta (2009).
2. Skripsi: Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman karya Ayu Utami. Lina Puspita Yuniati, Universitas Negeri Semarang, 2005.
3. Jurnal: Novel Saman dan Larung dalam Perspektif Feminin Radikal. Baban Banita S.S. M.Hum, Universitas Padjajaran, Bandung (tanpa tahun).
4. Jurnal: Challenging Tradition: the Indonesian novel Saman. Rochayah Machali dan Ida Nurhayati, UNSW, Sydney (tanpa tahun).
5. Jurnal: Sexuality, Morality, and the Female Role: Observation on recent Indonesian Women’s Literature. Monika Arnez and Cahyaningrum Dewoyati, Universitat Hamburg and Universitas Gajah Mada (tanpa tahun).
6. Thesis: Narrating ideas of Religion, Power, and Sexuality, in Ayu Utami's novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu. Widyasari Listyowulan, Ohio University, 2010.
7. Thesis: No Woman is an Island: Reconceptualizing Feminine Identity in the Literary Work of Ayu Utami. Micaela Campbell, University of Victoria, 2001.
8. Perlawanan perempuan terhadap hegemoni laki-laki dalam novel Saman dan Larung karya Ayu Utami (sebuah pendekatan feminisme). Agustina Fridomi, (tanpa tahun).
Keberadaan Saman, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kedua novel Ayu Utami lainnya, yakni Larung dan Bilangan Fu. Dari ketiga novel itu persoalan power, gender, dan sexuality diangkat oleh Listyowulan (2010) dalam thesisnya. Ia menyimpulkan bahwa Novel Ayu Utami 'menyuarakan' ketiga point tersebut dalam kehidupan manusia di Indonesia. Berikut petikan konklusi thesisnya.
To recapitulate the discussion in this thesis: the three points offered in Utami’s novels Saman, Larung and Bilangan Fu are the contention between traditional and orthodox religions, the clash of power that occurs between state and individual, and the freedom of expressing women’s sexuality (Page 147).
Saman adalah cerita tentang suatu hubungan persahabatan dan suatu tindakan besar untuk mengatasi masalah. Persahabatan itu antara empat wanita muda, Yasmin Moningka, seorang pengacara sukses yang bekerja di Law Firm ayahnya. Laila, seorang penulis dan fotografer. Shakuntala, seorang penari yang sedang menempuh studi master di New York. Terakhir, Cok, seorang wanita pengusaha. Dengan tokoh utama: Saman atau Wisanggeni, seorang Pastor yang beralih menjadi aktivis hak asasi manusia.
Permulaan cerita ketika Laila bertemu dengan Sihar Situmorang, seorang sarjana pertambangan disuatu offshore di Prabumulih, Sumatera Selatan. Konflik dalam dunia kerja pertambangan yang didominasi oleh pria, menjadi tontonannya ketika ia ke lokasi tersebut. Ia ke sana untuk mengambil beberapa capture sebagai bahan iklan perusahaan minyak yang mengontrak agensinya. Ia kagum pada Sihar karena kekerasan hatinya untuk melawan atasannya (lebih tepat rekanan) yang memaksa Sihar agar pengeboran dilakukan. Ia menyaksikan bagaimana Sihar berargumentasi dan dengan risiko kehilangan pekerjaan. Alhasil, perhitungan yang tepat oleh insinyur tambang itu memang benar. Alat bor tidak bekerja semestinya, dan mengakibatkan gempa lokal dan salah seorang rekan Sihar terlempar ke laut dan tak berbekas raga.
Laila mengenalkan Sihar pada Saman. Siapa Saman? Nama aslinya adalah Wisanggeni. Dia tadinya adalah seorang Pastor yang bertugas di Prabumulih. Apa yang menyebabkan ia bertugas di Prabumulih, tergambar dalam novel ini. Ia terikat dengan kenangan masa kecil. Masa kecil yang cukup mistis. Ibunya mengalami kejadian mistis ketika sedang mengandung adiknya, mengalami kejadian aneh, dan bayi dalam kandungan tersebut hilang begitu saja. Misa Requeim dilakukan. demikian hal tersebut terjadi kembali. Perut ibunya yang tadinya hamil, mendadak lenyap bersama suara-suara yang didengar Wisanggeni tiap malam. Ibunya meninggal, dan ia memutuskan masuk ke Seminari. Pengalaman mistik di Prabumulih membuat Wisanggeni ingin menyusuri kembali masa kecilnya di rumahnya dulu. Ia bertugas di satu gereja katolik kecil di sana.
Dimanakah ada potret ketidakadilan? jangan lihat di lukisan atau di buku-buku filsafat, tapi lihatlah di sekeliling. Pemerintah masa lalu yang merajalela dengan mengatasnamakan demi keadilan, justru berlaku tidak adil di tanah Prabumulih. Dengan berdalih bahwa akan membangun suatu perkebunan sawit yang menyejahterakan masyarakat, aparat pemerintah daerah mendatangi tiap penduduk untuk menjual tanah miliknya. Siapa lagi yang berkepentingan kalau bukan pengusaha yang rakus dan menyuap para penguasa.
Wisanggeni bersama dengan masyarakat setempat berusaha membangun kembali lahan yang tidak mau dikompromikan dengan cara menanam kembali pohon-pohon karet muda, diharapkan berproduksi lama dan tentu meningkatkan ekonomi mereka. Namun apa yang membuat Wis bertahan adalah kesedihan hatinya melihat Upi ketika ia kembali ke rumah masa kecilnya. Upi digambarkan adalah seorang gadis remaja yang memiliki gangguan jiwa sampai pada taraf mengganggu dan meresahkan. Masyarakat disana tidak tahu bagaimana merawat atau mendampingi Upi. Yang mereka lakukan adalah memasung dan memasukkan Upi ke sebuah ruangan yang dilihat Wis seperti kandang burung.
Di bagian dunia yang lain, Shakun Tala meninggalkan Indonesia karena menerima beasiswa. Ia seorang penari. Dalam novel ini ia bercerita dari sudut pandangnya sebagai seorang anak dari ayah yang ia benci, seorang sahabat bagi tiga orang. Ia meninggalkan apa yang orang bilang itu norma. Baginya, hidup dengan pilihannya sekarang adalah hidup atas kebebasan, yang ia pertanggungjawabkan sendiri. Ia muak dengan segala kemapanan dan aturan yang mengatakan bahwa wanita harus menjaga diri sebelum menikah, dan sebagainya. Dan baginya adalah suatu hal aneh ketika menyaksikan temannya Laila begitu tergila-gilanya dengan Sihar yang telah beristri. Ia menyediakan tempat bagi ketiga sahabatnya untuk menemani Laila yang akan bertemu Sihar di New York, karena di Jakarta tidaklah bisa.
Siapa Saman? itulah nama baru Wisanggeni. Ia menggunakan nama Saman untuk menghilangkan jejak dari kejaran aparat. Apa yang dilakukan di Prabumulih membuat gerah pengusaha dan aparat. Ia dicari dan pernah disekap oleh intelijen. Hal itu tidak membuatnya trauma, malah ia meminta kepada paroki agar ia "dibela" namun sepertinya gereja juga tidak mau mengikutkan dirinya pada pilihan Wis, dan Wis menempuh jalannya sendiri. Ia keluar dari kepastoran, dan menjadi aktivis hak asasi manusia. Ia beralih nama menjadi Saman, dan ia pun berkenalan dengan Yasmin Moningka. Wis pernah menjadi pembimbing rohani mereka berempat ketika mereka masih SMP.
Apa yang terjadi diantara Saman dan Yasmin sesungguhnya adalah realita yang dibungkus dalam cerita novel. Ada banyak keraguan menenai konsep-konsep hidup. Misalnya, bagaimana persepsi Hawa ketika disalahkan karena menggoda Adam? Apa pandangan patriarki ketika melihat suatu "imajinasi" yang terlalu liar?
Agar pemahaman topik ini bisa utuh, memang lebih baik dilanjutkan dengan novel ayu utami selanjutnya. jadi, saya harus baca lagih nih kelanjutannya. :)
Sekilas tentang Penulis
Yustina Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat tahun 1968. Novel pertamanya ini merebut perhatian pembaca dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri yaitu pemenang pertama dalam sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta, 1998 serta penghargaan The Prince Claus Prize di tahun 2000 dari negeri Belanda.
Apa yang menjadi warna baru dalam dunia sastra Indonesia oleh karya Ayu Utami ini mendobrak ketabuan dalam norma penulisan, salah satunya adalah kata-kata seperti orgasme, masturbasi, organ kelamin, dan kondom disebutkan berkali-kali.
Utami menyelesaikan S1-nya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Anak bungsu dari 5 bersaudara ini memilih menjadi penulis. Ia juga sebelumnya berkarir di dunia jurnalistik (sampai sekarang?). Media tempat ia berkarir antara lain Majalah Forum Keadilan, MATRA, KALAM dan salah satu pendiri Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Mungkin karena terlibat dalam dunia jurnalistik, bobot fakta yang ia tampilkan dalam novelnya ini lebih terasa tidak fiksi, seolah mendekati keadaan sebenarnya. Dari latar belakang ini saya bisa menyimpulkan bahwa penulis yang juga sekaligus jurnalis, memasukkan fakta-fakta yang tidak tersembunyi yang mereka temukan kepada pembaca, sekaligus memberitahu ada sesuatu hal yang serius dengan fakta itu. Dan mereka punya pena untuk menuliskannya.
Akhirnya, dengan kemampuan saya yang sangat terbatas, saya mengapresiasi karya ini, karena satu hal. Ayu Utami berani. berani menuliskan, terlepas dari apakah itu suatu bentuk ketidaksopanan dalam beretika menulis, saya rasa itu relatif jika dikaitkan dengan suatu cita-cita yang tidak munafik.
@hws121010
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 197 pages
Published 2001 by KPG (first published 1998)
Inilah buku Ayu Utami yang pertama kali saya baca. Tahun 2006 saya sudah membeli bukunya Larung, namun saya sendiri sampai sekarang belum membacanya. Saya termasuk terlambat membacanya, karena sudah 12 tahun berlalu dari pertama kali dicetak, barulah saya berkesempatan.
Novel ini mendapat banyak pujian. sambutan tersebut dari berbagai kritikus dan dianggap memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Dari dunia akademis juga memberikan sumbangannya lewat karya ilmiah suatu penelitian mengenai novel Saman dan Larung. Beberapa judul karya akademis yang mengupas novel ini yaitu sebagai berikut.
1. Skripsi: Perilaku Seksual dalam Novel Saman Karya Ayu Utami. Oktivita, Universitas Muhamadiyah Surakarta (2009).
2. Skripsi: Pandangan Dunia Pengarang dalam Novel Saman karya Ayu Utami. Lina Puspita Yuniati, Universitas Negeri Semarang, 2005.
3. Jurnal: Novel Saman dan Larung dalam Perspektif Feminin Radikal. Baban Banita S.S. M.Hum, Universitas Padjajaran, Bandung (tanpa tahun).
4. Jurnal: Challenging Tradition: the Indonesian novel Saman. Rochayah Machali dan Ida Nurhayati, UNSW, Sydney (tanpa tahun).
5. Jurnal: Sexuality, Morality, and the Female Role: Observation on recent Indonesian Women’s Literature. Monika Arnez and Cahyaningrum Dewoyati, Universitat Hamburg and Universitas Gajah Mada (tanpa tahun).
6. Thesis: Narrating ideas of Religion, Power, and Sexuality, in Ayu Utami's novels: Saman, Larung, and Bilangan Fu. Widyasari Listyowulan, Ohio University, 2010.
7. Thesis: No Woman is an Island: Reconceptualizing Feminine Identity in the Literary Work of Ayu Utami. Micaela Campbell, University of Victoria, 2001.
8. Perlawanan perempuan terhadap hegemoni laki-laki dalam novel Saman dan Larung karya Ayu Utami (sebuah pendekatan feminisme). Agustina Fridomi, (tanpa tahun).
Keberadaan Saman, tentunya tidak dapat dipisahkan dari kedua novel Ayu Utami lainnya, yakni Larung dan Bilangan Fu. Dari ketiga novel itu persoalan power, gender, dan sexuality diangkat oleh Listyowulan (2010) dalam thesisnya. Ia menyimpulkan bahwa Novel Ayu Utami 'menyuarakan' ketiga point tersebut dalam kehidupan manusia di Indonesia. Berikut petikan konklusi thesisnya.
To recapitulate the discussion in this thesis: the three points offered in Utami’s novels Saman, Larung and Bilangan Fu are the contention between traditional and orthodox religions, the clash of power that occurs between state and individual, and the freedom of expressing women’s sexuality (Page 147).
Saman adalah cerita tentang suatu hubungan persahabatan dan suatu tindakan besar untuk mengatasi masalah. Persahabatan itu antara empat wanita muda, Yasmin Moningka, seorang pengacara sukses yang bekerja di Law Firm ayahnya. Laila, seorang penulis dan fotografer. Shakuntala, seorang penari yang sedang menempuh studi master di New York. Terakhir, Cok, seorang wanita pengusaha. Dengan tokoh utama: Saman atau Wisanggeni, seorang Pastor yang beralih menjadi aktivis hak asasi manusia.
Permulaan cerita ketika Laila bertemu dengan Sihar Situmorang, seorang sarjana pertambangan disuatu offshore di Prabumulih, Sumatera Selatan. Konflik dalam dunia kerja pertambangan yang didominasi oleh pria, menjadi tontonannya ketika ia ke lokasi tersebut. Ia ke sana untuk mengambil beberapa capture sebagai bahan iklan perusahaan minyak yang mengontrak agensinya. Ia kagum pada Sihar karena kekerasan hatinya untuk melawan atasannya (lebih tepat rekanan) yang memaksa Sihar agar pengeboran dilakukan. Ia menyaksikan bagaimana Sihar berargumentasi dan dengan risiko kehilangan pekerjaan. Alhasil, perhitungan yang tepat oleh insinyur tambang itu memang benar. Alat bor tidak bekerja semestinya, dan mengakibatkan gempa lokal dan salah seorang rekan Sihar terlempar ke laut dan tak berbekas raga.
Laila mengenalkan Sihar pada Saman. Siapa Saman? Nama aslinya adalah Wisanggeni. Dia tadinya adalah seorang Pastor yang bertugas di Prabumulih. Apa yang menyebabkan ia bertugas di Prabumulih, tergambar dalam novel ini. Ia terikat dengan kenangan masa kecil. Masa kecil yang cukup mistis. Ibunya mengalami kejadian mistis ketika sedang mengandung adiknya, mengalami kejadian aneh, dan bayi dalam kandungan tersebut hilang begitu saja. Misa Requeim dilakukan. demikian hal tersebut terjadi kembali. Perut ibunya yang tadinya hamil, mendadak lenyap bersama suara-suara yang didengar Wisanggeni tiap malam. Ibunya meninggal, dan ia memutuskan masuk ke Seminari. Pengalaman mistik di Prabumulih membuat Wisanggeni ingin menyusuri kembali masa kecilnya di rumahnya dulu. Ia bertugas di satu gereja katolik kecil di sana.
Dimanakah ada potret ketidakadilan? jangan lihat di lukisan atau di buku-buku filsafat, tapi lihatlah di sekeliling. Pemerintah masa lalu yang merajalela dengan mengatasnamakan demi keadilan, justru berlaku tidak adil di tanah Prabumulih. Dengan berdalih bahwa akan membangun suatu perkebunan sawit yang menyejahterakan masyarakat, aparat pemerintah daerah mendatangi tiap penduduk untuk menjual tanah miliknya. Siapa lagi yang berkepentingan kalau bukan pengusaha yang rakus dan menyuap para penguasa.
Wisanggeni bersama dengan masyarakat setempat berusaha membangun kembali lahan yang tidak mau dikompromikan dengan cara menanam kembali pohon-pohon karet muda, diharapkan berproduksi lama dan tentu meningkatkan ekonomi mereka. Namun apa yang membuat Wis bertahan adalah kesedihan hatinya melihat Upi ketika ia kembali ke rumah masa kecilnya. Upi digambarkan adalah seorang gadis remaja yang memiliki gangguan jiwa sampai pada taraf mengganggu dan meresahkan. Masyarakat disana tidak tahu bagaimana merawat atau mendampingi Upi. Yang mereka lakukan adalah memasung dan memasukkan Upi ke sebuah ruangan yang dilihat Wis seperti kandang burung.
Di bagian dunia yang lain, Shakun Tala meninggalkan Indonesia karena menerima beasiswa. Ia seorang penari. Dalam novel ini ia bercerita dari sudut pandangnya sebagai seorang anak dari ayah yang ia benci, seorang sahabat bagi tiga orang. Ia meninggalkan apa yang orang bilang itu norma. Baginya, hidup dengan pilihannya sekarang adalah hidup atas kebebasan, yang ia pertanggungjawabkan sendiri. Ia muak dengan segala kemapanan dan aturan yang mengatakan bahwa wanita harus menjaga diri sebelum menikah, dan sebagainya. Dan baginya adalah suatu hal aneh ketika menyaksikan temannya Laila begitu tergila-gilanya dengan Sihar yang telah beristri. Ia menyediakan tempat bagi ketiga sahabatnya untuk menemani Laila yang akan bertemu Sihar di New York, karena di Jakarta tidaklah bisa.
Siapa Saman? itulah nama baru Wisanggeni. Ia menggunakan nama Saman untuk menghilangkan jejak dari kejaran aparat. Apa yang dilakukan di Prabumulih membuat gerah pengusaha dan aparat. Ia dicari dan pernah disekap oleh intelijen. Hal itu tidak membuatnya trauma, malah ia meminta kepada paroki agar ia "dibela" namun sepertinya gereja juga tidak mau mengikutkan dirinya pada pilihan Wis, dan Wis menempuh jalannya sendiri. Ia keluar dari kepastoran, dan menjadi aktivis hak asasi manusia. Ia beralih nama menjadi Saman, dan ia pun berkenalan dengan Yasmin Moningka. Wis pernah menjadi pembimbing rohani mereka berempat ketika mereka masih SMP.
Apa yang terjadi diantara Saman dan Yasmin sesungguhnya adalah realita yang dibungkus dalam cerita novel. Ada banyak keraguan menenai konsep-konsep hidup. Misalnya, bagaimana persepsi Hawa ketika disalahkan karena menggoda Adam? Apa pandangan patriarki ketika melihat suatu "imajinasi" yang terlalu liar?
Agar pemahaman topik ini bisa utuh, memang lebih baik dilanjutkan dengan novel ayu utami selanjutnya. jadi, saya harus baca lagih nih kelanjutannya. :)
Sekilas tentang Penulis
Yustina Ayu Utami lahir di Bogor, Jawa Barat tahun 1968. Novel pertamanya ini merebut perhatian pembaca dari dalam dan luar negeri. Dari dalam negeri yaitu pemenang pertama dalam sayembara oleh Dewan Kesenian Jakarta, 1998 serta penghargaan The Prince Claus Prize di tahun 2000 dari negeri Belanda.
Apa yang menjadi warna baru dalam dunia sastra Indonesia oleh karya Ayu Utami ini mendobrak ketabuan dalam norma penulisan, salah satunya adalah kata-kata seperti orgasme, masturbasi, organ kelamin, dan kondom disebutkan berkali-kali.
Utami menyelesaikan S1-nya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Anak bungsu dari 5 bersaudara ini memilih menjadi penulis. Ia juga sebelumnya berkarir di dunia jurnalistik (sampai sekarang?). Media tempat ia berkarir antara lain Majalah Forum Keadilan, MATRA, KALAM dan salah satu pendiri Aliansi Jurnalistik Independen (AJI). Mungkin karena terlibat dalam dunia jurnalistik, bobot fakta yang ia tampilkan dalam novelnya ini lebih terasa tidak fiksi, seolah mendekati keadaan sebenarnya. Dari latar belakang ini saya bisa menyimpulkan bahwa penulis yang juga sekaligus jurnalis, memasukkan fakta-fakta yang tidak tersembunyi yang mereka temukan kepada pembaca, sekaligus memberitahu ada sesuatu hal yang serius dengan fakta itu. Dan mereka punya pena untuk menuliskannya.
Akhirnya, dengan kemampuan saya yang sangat terbatas, saya mengapresiasi karya ini, karena satu hal. Ayu Utami berani. berani menuliskan, terlepas dari apakah itu suatu bentuk ketidaksopanan dalam beretika menulis, saya rasa itu relatif jika dikaitkan dengan suatu cita-cita yang tidak munafik.
@hws121010
Batavia 1936 by Widya W Harun
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 380 pages
Published July 2009 by Penerbit Republika
ISBN139789791102636
Seandainya kita tahu dapat tahu masa depan, seandainya kita dapat meneropong dunia lewat bola kristal ajaib, seandainya kita tahu dengan siapa kelak kita berbagi hidup, seandainya dan seandainya, maka hidup akan kehilangan kemisteriannya. Pertanyaan selanjutnya, buat apa kita hidup?
Novel ini bercerita di suatu tempat, sesuai dengan judulnya, Batavia 1936, di Batavia. Yah..kisah batavia di Tahun 1936, sembilan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. persisnya batavia yang diceritakan dalam novel ini adalah di Menteng, Gambir, Lapangan Banteng (Wilhemina Park), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jalan Imam Bonjol), dan seputarn Jalan Medan Merdeka.
Di tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu adalah Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (lahir di Groningen, 7 Maret 1888 – meninggal di Wassenaar, 16 Agustus 1978 pada umur 90 tahun) bisa dikatakan adalah Gubernur-Jendral terakhir Hindia-Belanda.
Tjarda van Starkenborch Stachouwer adalah Gubernur-Jendral yang ke 66 dan memerintah dari tahun 1936 – 1942.
Ia adalah seorang pemimpin dan diplomat yang berasal dari keluarga bangsawan Groningen, anak dari Edzard Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada tahun 1925 ia meneruskan ayahnya menjadi Commissaris van de Koningin (gubernur) di provinsi Groningen, Belanda. Lalu ia menjadi duta besar di Brusel pada tahun 1936 dan langsung ia menjadi Gubernur-Jendral Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia tetap berada di Indonesia dan dimasukkan di kamp Jepang dan dibuang di Taiwan bersama panglima perang Hindia belanda, Jendral Hein ter Poorten. Setelah Perang Dunia II usai, ia pulang ke Belanda dan menjadi diplomat kembali, antara lain di Paris (Sumber: Wikipedia Indonesia).
Novel ini bercerita tentang manis pahitnya cinta di kalangan putra-putri bangsawan yang hidup di Batavia di sekitaran Tahun 1936. Seperti yang dikenal pada pemerintahan Gubernur Jenderal Starkenborch Stachouwer, ia bercita-cita untuk tetap menguasai Hindia Belanda dhi. Indonesia, selama-lamanya. Ucapannya yang terkenal adalah "kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada disini selama 300 lagi." karena itu, ia sangat menentang usaha-usaha pergerakan nasionalis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada masanya, isu ergerakan nasional sangat dilarang termasuk melarang penerbitan yang bermuatan himbauan untuk merdeka.
Pada masa itu, yang termasuk bangsawan adalah warga keturunan Eropa. Seperti salah satu tokoh cerita dalam novel ini. Sebuah keluarga, sang kepala keluarga bernama Ibrahim Rijkard. Seorang laki-laki tampan berdarah Eropa. Kakeknya, Franc Rijkaard menikah dengan perempuan Arab-Betawi yang bernama Aisyah. Ibrahim, yang kemudian dipanggil Bram berprofesi sebagai pedagang. Istrinya bernama Hilalliah binti Hasan, seorang perempuan cantik putri saudagar dan tuan tanah kaya keturunan Batavia-Arab. Dari pasangan ini, lahirlah dua putri yang juga mewarisi ketampanan dan kecantikan kedua orangtuanya. Putri pertama bernama Kirana, sedangkan putri kedua bernama Kirani. Mereka bukanlah anak kembar, walau nama mereka agak mirip. Sifat mereka berdua juga sama sekali berbeda. Sang kakak, Kirana, mewarisi sifat ibunya yang lembut dan kebaikan budi, sementara sang adik, Kirani mewarisi sifat ayah, keras dan gemar berdebat.
Pada masa itu, sangatlah lazim bila bangsawan mengadakan acara, maka ia mengundang kolega maupun sahabat untuk meramaikan acara tersebut. Disamping untuk meramaikan, hal itu penting untuk melanggengkan hubungan antarbangsawan yang satu dengan yang lainnya. Suatu ketika, putri Herman Speelman-seorang pejabat tinggi Hindia Belanda-, mengadakan acara ulang tahun. Putrinya bernama, Anastasia Speelman. Ia mengundang dalam pesta ulangtahunnya yang ke-17 pada anak muda-mudi Batavia.
Pesta ulangtahun itu menjadi biasa saja jika hanya datang, mengucapkan selamat ulangtahun, makan hidangan, dan pulang. Namun, tidak seperti itu. Semua orang yang diundang, sangat ramai membicarakannya. Pesta-pesta seperti begitu merupakan ajang untuk menampilkan mode fashion yang termutakhir. Hal itu juga dilakukan oleh Hilalliah. Demi mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kedua putrinya yang diundang, ia mengumpulkan dan berburu majalah mode terbitan Eropa untuk menginspirasinya mendandani kedua putrinya. Kirani sebenarnya tidak suka dandanan yang rumit-rumit. Baginya lebih menarik berdiskusi masalah pergerakan kemerdekaan nasional yang digagas bersama teman-temannya seperti Syam, Tomo, Husein, Poltak. Namun, demi menghormati sang Ibu, ia pun menurutinya.
Seorang dokter muda yang baru saja lulus dari universitas di belanda, turut menghadiri pesta ulangtahun itu. Namanya Hans van Deventer. Ia adalah lulusan terbaik, dan diutus bertugas di Batavia. Kedua kakak beradik Kirana dan Kirani berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Seperti biasa, meja makan tidak menjadi hambatan bagi mata untuk berkeliling-keliling. Sang dokter sangat terkesan dengan Kirani, yang dimatanya ia melihat sosok Kirani yang luwes, periang, dan cerdas. Sementara itu,Kirana terpesona dengan ketampanan sang Dokter, yang menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis Batavia.
Disinilah awal mula cerita itu. Kesan yang sudah tertanam di masing-masing hati anak muda itu mungkin terlalu dalam tertanam, sehingga sukarlah untuk mengeluarkannya kembali dengan utuh. Kirana pulang menceritakan dengan ibunya tentang pria yang dilihatnya, apakah persaan yang begitu senangnya sampai tak bisa melukiskan dengan kata-kata? Ibu mereka mengira Kirana sudahlah jatuh cinta pada sang dokter. Namun, siapakah yang tahu dalamnya hati? kecuali si pemilik hati itu sendiri.
Singkatnya, Hans suka berdiskusi denngan Kirani berkaitan dengan urusan tulis menulis yang sangat disukai Hans. Hans pintar merangkai kata-kata menjadi puisi, sementara Kirani menyukainya. Puisi yang keluar dari pena Hans merupakan kesedihannya yang terlahir sebagai anak yang separuh eropa dan separuh pribumi. Kesedihannya akan kematian ibunya terlihat dari puisinya:
Ibu
mengapa pula engkau timpakan padaku
perkara yang mengguncang jiwa
tak mampu aku memikulnya
hatiku merana jiwaku pula
serupa badan tak bernyawa
Ibu
Kematianmu menciutkan nyaliku
tak sanggup ku berdiri
menatap dunia yang kan menertawakan
Anak yang tak pernah ber-ayah
Begitulah rangkaian peristiwa selanjutnya, dimana Hans menyampaikan isi hatinya kepada ayahnya, Philip untuk melamarkan Kirani bagi dirinya. Bukanlah sesuatu yang mudah bagi Hans untuk terbuka sejauh itu pada ayahnya karena suaatu peristiwa yang membuat hidupnya muram. Apa daya, sepertinya apa yang diutarakan bukan itu yang dimaksud, Hans meminta kepada ayanya bahwa ia berkenan pada putri Rijkaard, Kirani. Philip mengutarakan kepada Rijkard, namun bukanlah nama yang disampaikan, tapi anak perempuannya Rijkard. Rijkard menyampaikan berita itu kepada istrinya, namun istrinya mengira Kirana-lah yang dimaksud.
Ah...sayangnya hanya karena komunikasi yang malu-malu dan tidak rinci, menyebabkan prahara cinta. Sebuah paragraf singkat menggambarkan:
Bukan perjodohan yang dikehendaki, tapi isi hati.
Namun, bahayanya hati jika tidak dikonfirmasi.
Urusannya sampai mati.
Tak disangka, untuk kehiupan yag cuukup modern kala itu, persoalan kehidupan sosial di Batavia tidaklah membahagiakan. Disatu sisi, ternyata dibalik gemerlapnya kehidupan bangsawan kala itu, tersimpan kisah yang memilukan. Hal tersebut sepertinya tidak akan berbeda dengan kehidupan sekarang ini. Bila dimana tidak ada komunikasi dan penyampaian maksud dengan baik, maka bersiaplah pada suatu penyesalan.
Bagaimana kehidupan Kirani dan Kirana selanjutnya?
Apakah Hans memeroleh belahan hatinya
Apakah kebahagiaan itu hanyalah milik mereka yang berpunya?
Apakah ada persahabatan yang tulus?
Apakah percintaan yang sejati selalu ada di cerita negeri dongeng?
Saya menjadi teringat akan suatu kalimat, seperti begini:
Banyak persahabatan yang berakhir pada percintaan, namun jarang percintaan yang berakhir pada persahabatan.
Novel ini bercerita tentang kehidupan sosial para pembesar di Batavia zaman dulu (1936). Penulis novel ini sepertinya membaca cukup banyak referensi untuk menambahkan fakta-fakta ilmiah dalam novel ini, antara lain seperti keberadaan kawasan Menteng, Lapangan banteng, Pasar Gambir, Pasar Baru, Kebon sirih, dan tempat-tempat utama di pusat kota Batavia. Selain itu ditambahkan beberapa keterangan mengenai tokoh-tokoh yang memang hidup pada zaman itu beserta sumber datanya. Kebanyakan bersumber dari wikipedia Indonesia. Pada awal novel ini, cukup banyak informasi ilmiah mengenai Batavia, namun sayangnya, tidak Widya Harun tidak menerangkan suasana di sekitar Medan Merdeka, Jalan Veteran, dan Harmoni.
Awalnya saya mengira novel ini adalah fiksi sejarah murni, namun sayangnya informasi yang diperoleh dari novel ini sangat jauh dari harapan saya. Kesan yang saya tangkap, jalan cerita agak 'maksa' dengan memunculkan seolah nama kembar, Kirana dan Kirani. Apakah hal ini sudah hadil modifikasian yang terinspirasi kisah nyata, saya juga tidak tahu.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu adalah banyak salah ketik kata. Hal itu memang tidak membuat kenyamanan membaca terganggu sangat, namun spertinya Editor luput memeriksa secara seksama atas kesalahan ini.
Akhirnya, cukuplah tiga bintang untuk novel ini. Saya berharap masih ada novel sejarah (yang berbau Batavia) yang lebih lengkap lagi.
@HWS130510
My rating: 3 of 5 stars
Paperback, 380 pages
Published July 2009 by Penerbit Republika
ISBN139789791102636
Seandainya kita tahu dapat tahu masa depan, seandainya kita dapat meneropong dunia lewat bola kristal ajaib, seandainya kita tahu dengan siapa kelak kita berbagi hidup, seandainya dan seandainya, maka hidup akan kehilangan kemisteriannya. Pertanyaan selanjutnya, buat apa kita hidup?
Novel ini bercerita di suatu tempat, sesuai dengan judulnya, Batavia 1936, di Batavia. Yah..kisah batavia di Tahun 1936, sembilan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia. persisnya batavia yang diceritakan dalam novel ini adalah di Menteng, Gambir, Lapangan Banteng (Wilhemina Park), Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (Jalan Imam Bonjol), dan seputarn Jalan Medan Merdeka.
Di tahun 1936, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu adalah Jonkheer Mr. Alidius Warmoldus Lambertus Tjarda van Starkenborgh Stachouwer (lahir di Groningen, 7 Maret 1888 – meninggal di Wassenaar, 16 Agustus 1978 pada umur 90 tahun) bisa dikatakan adalah Gubernur-Jendral terakhir Hindia-Belanda.
Tjarda van Starkenborch Stachouwer adalah Gubernur-Jendral yang ke 66 dan memerintah dari tahun 1936 – 1942.
Ia adalah seorang pemimpin dan diplomat yang berasal dari keluarga bangsawan Groningen, anak dari Edzard Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Pada tahun 1925 ia meneruskan ayahnya menjadi Commissaris van de Koningin (gubernur) di provinsi Groningen, Belanda. Lalu ia menjadi duta besar di Brusel pada tahun 1936 dan langsung ia menjadi Gubernur-Jendral Hindia-Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia tetap berada di Indonesia dan dimasukkan di kamp Jepang dan dibuang di Taiwan bersama panglima perang Hindia belanda, Jendral Hein ter Poorten. Setelah Perang Dunia II usai, ia pulang ke Belanda dan menjadi diplomat kembali, antara lain di Paris (Sumber: Wikipedia Indonesia).
Novel ini bercerita tentang manis pahitnya cinta di kalangan putra-putri bangsawan yang hidup di Batavia di sekitaran Tahun 1936. Seperti yang dikenal pada pemerintahan Gubernur Jenderal Starkenborch Stachouwer, ia bercita-cita untuk tetap menguasai Hindia Belanda dhi. Indonesia, selama-lamanya. Ucapannya yang terkenal adalah "kita sudah berada di Hindia selama 300 tahun, kita pasti harus bisa berada disini selama 300 lagi." karena itu, ia sangat menentang usaha-usaha pergerakan nasionalis untuk mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Pada masanya, isu ergerakan nasional sangat dilarang termasuk melarang penerbitan yang bermuatan himbauan untuk merdeka.
Pada masa itu, yang termasuk bangsawan adalah warga keturunan Eropa. Seperti salah satu tokoh cerita dalam novel ini. Sebuah keluarga, sang kepala keluarga bernama Ibrahim Rijkard. Seorang laki-laki tampan berdarah Eropa. Kakeknya, Franc Rijkaard menikah dengan perempuan Arab-Betawi yang bernama Aisyah. Ibrahim, yang kemudian dipanggil Bram berprofesi sebagai pedagang. Istrinya bernama Hilalliah binti Hasan, seorang perempuan cantik putri saudagar dan tuan tanah kaya keturunan Batavia-Arab. Dari pasangan ini, lahirlah dua putri yang juga mewarisi ketampanan dan kecantikan kedua orangtuanya. Putri pertama bernama Kirana, sedangkan putri kedua bernama Kirani. Mereka bukanlah anak kembar, walau nama mereka agak mirip. Sifat mereka berdua juga sama sekali berbeda. Sang kakak, Kirana, mewarisi sifat ibunya yang lembut dan kebaikan budi, sementara sang adik, Kirani mewarisi sifat ayah, keras dan gemar berdebat.
Pada masa itu, sangatlah lazim bila bangsawan mengadakan acara, maka ia mengundang kolega maupun sahabat untuk meramaikan acara tersebut. Disamping untuk meramaikan, hal itu penting untuk melanggengkan hubungan antarbangsawan yang satu dengan yang lainnya. Suatu ketika, putri Herman Speelman-seorang pejabat tinggi Hindia Belanda-, mengadakan acara ulang tahun. Putrinya bernama, Anastasia Speelman. Ia mengundang dalam pesta ulangtahunnya yang ke-17 pada anak muda-mudi Batavia.
Pesta ulangtahun itu menjadi biasa saja jika hanya datang, mengucapkan selamat ulangtahun, makan hidangan, dan pulang. Namun, tidak seperti itu. Semua orang yang diundang, sangat ramai membicarakannya. Pesta-pesta seperti begitu merupakan ajang untuk menampilkan mode fashion yang termutakhir. Hal itu juga dilakukan oleh Hilalliah. Demi mempersiapkan pakaian yang pantas untuk kedua putrinya yang diundang, ia mengumpulkan dan berburu majalah mode terbitan Eropa untuk menginspirasinya mendandani kedua putrinya. Kirani sebenarnya tidak suka dandanan yang rumit-rumit. Baginya lebih menarik berdiskusi masalah pergerakan kemerdekaan nasional yang digagas bersama teman-temannya seperti Syam, Tomo, Husein, Poltak. Namun, demi menghormati sang Ibu, ia pun menurutinya.
Seorang dokter muda yang baru saja lulus dari universitas di belanda, turut menghadiri pesta ulangtahun itu. Namanya Hans van Deventer. Ia adalah lulusan terbaik, dan diutus bertugas di Batavia. Kedua kakak beradik Kirana dan Kirani berkumpul dengan kelompoknya masing-masing. Seperti biasa, meja makan tidak menjadi hambatan bagi mata untuk berkeliling-keliling. Sang dokter sangat terkesan dengan Kirani, yang dimatanya ia melihat sosok Kirani yang luwes, periang, dan cerdas. Sementara itu,Kirana terpesona dengan ketampanan sang Dokter, yang menjadi bahan pembicaraan gadis-gadis Batavia.
Disinilah awal mula cerita itu. Kesan yang sudah tertanam di masing-masing hati anak muda itu mungkin terlalu dalam tertanam, sehingga sukarlah untuk mengeluarkannya kembali dengan utuh. Kirana pulang menceritakan dengan ibunya tentang pria yang dilihatnya, apakah persaan yang begitu senangnya sampai tak bisa melukiskan dengan kata-kata? Ibu mereka mengira Kirana sudahlah jatuh cinta pada sang dokter. Namun, siapakah yang tahu dalamnya hati? kecuali si pemilik hati itu sendiri.
Singkatnya, Hans suka berdiskusi denngan Kirani berkaitan dengan urusan tulis menulis yang sangat disukai Hans. Hans pintar merangkai kata-kata menjadi puisi, sementara Kirani menyukainya. Puisi yang keluar dari pena Hans merupakan kesedihannya yang terlahir sebagai anak yang separuh eropa dan separuh pribumi. Kesedihannya akan kematian ibunya terlihat dari puisinya:
Ibu
mengapa pula engkau timpakan padaku
perkara yang mengguncang jiwa
tak mampu aku memikulnya
hatiku merana jiwaku pula
serupa badan tak bernyawa
Ibu
Kematianmu menciutkan nyaliku
tak sanggup ku berdiri
menatap dunia yang kan menertawakan
Anak yang tak pernah ber-ayah
Begitulah rangkaian peristiwa selanjutnya, dimana Hans menyampaikan isi hatinya kepada ayahnya, Philip untuk melamarkan Kirani bagi dirinya. Bukanlah sesuatu yang mudah bagi Hans untuk terbuka sejauh itu pada ayahnya karena suaatu peristiwa yang membuat hidupnya muram. Apa daya, sepertinya apa yang diutarakan bukan itu yang dimaksud, Hans meminta kepada ayanya bahwa ia berkenan pada putri Rijkaard, Kirani. Philip mengutarakan kepada Rijkard, namun bukanlah nama yang disampaikan, tapi anak perempuannya Rijkard. Rijkard menyampaikan berita itu kepada istrinya, namun istrinya mengira Kirana-lah yang dimaksud.
Ah...sayangnya hanya karena komunikasi yang malu-malu dan tidak rinci, menyebabkan prahara cinta. Sebuah paragraf singkat menggambarkan:
Bukan perjodohan yang dikehendaki, tapi isi hati.
Namun, bahayanya hati jika tidak dikonfirmasi.
Urusannya sampai mati.
Tak disangka, untuk kehiupan yag cuukup modern kala itu, persoalan kehidupan sosial di Batavia tidaklah membahagiakan. Disatu sisi, ternyata dibalik gemerlapnya kehidupan bangsawan kala itu, tersimpan kisah yang memilukan. Hal tersebut sepertinya tidak akan berbeda dengan kehidupan sekarang ini. Bila dimana tidak ada komunikasi dan penyampaian maksud dengan baik, maka bersiaplah pada suatu penyesalan.
Bagaimana kehidupan Kirani dan Kirana selanjutnya?
Apakah Hans memeroleh belahan hatinya
Apakah kebahagiaan itu hanyalah milik mereka yang berpunya?
Apakah ada persahabatan yang tulus?
Apakah percintaan yang sejati selalu ada di cerita negeri dongeng?
Saya menjadi teringat akan suatu kalimat, seperti begini:
Banyak persahabatan yang berakhir pada percintaan, namun jarang percintaan yang berakhir pada persahabatan.
Novel ini bercerita tentang kehidupan sosial para pembesar di Batavia zaman dulu (1936). Penulis novel ini sepertinya membaca cukup banyak referensi untuk menambahkan fakta-fakta ilmiah dalam novel ini, antara lain seperti keberadaan kawasan Menteng, Lapangan banteng, Pasar Gambir, Pasar Baru, Kebon sirih, dan tempat-tempat utama di pusat kota Batavia. Selain itu ditambahkan beberapa keterangan mengenai tokoh-tokoh yang memang hidup pada zaman itu beserta sumber datanya. Kebanyakan bersumber dari wikipedia Indonesia. Pada awal novel ini, cukup banyak informasi ilmiah mengenai Batavia, namun sayangnya, tidak Widya Harun tidak menerangkan suasana di sekitar Medan Merdeka, Jalan Veteran, dan Harmoni.
Awalnya saya mengira novel ini adalah fiksi sejarah murni, namun sayangnya informasi yang diperoleh dari novel ini sangat jauh dari harapan saya. Kesan yang saya tangkap, jalan cerita agak 'maksa' dengan memunculkan seolah nama kembar, Kirana dan Kirani. Apakah hal ini sudah hadil modifikasian yang terinspirasi kisah nyata, saya juga tidak tahu.
Selain itu, hal yang sangat mengganggu adalah banyak salah ketik kata. Hal itu memang tidak membuat kenyamanan membaca terganggu sangat, namun spertinya Editor luput memeriksa secara seksama atas kesalahan ini.
Akhirnya, cukuplah tiga bintang untuk novel ini. Saya berharap masih ada novel sejarah (yang berbau Batavia) yang lebih lengkap lagi.
@HWS130510