Tempat Terbaik di Dunia by Roanne Van Voorst

Jumat, Agustus 07, 2020

Sebuah kejutan di tengah Pandemi ini, adalah tidak berhentinya semangat berliterasi. Meski terpisah jarak, gairah manusia untuk terus terhubung dengan sesama maupun lingkungannya seolah terus berontak minta dibebaskan. Buku ini hadir pada awal 2020, tahun yang bernomor kembar, kabisat, tetapi sangat tidak terduga. Sampai kini, virus bermahkota cantik masih mengintai manusia di seluruh dunia. Baru-baru ini ada berkabar tentang vaksin yang sudah masuk fase uji coba. Kita hanya berharap, akses terhadap vaksin tersebut haruslah berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Pergumulan saat ini bukan hanya sehat dan sembuh, tetapi keberlangsungan kehidupan yang saat ini sedang terancam kemiskinan secara masif. 


Buku ini hadir sebagai bentuk pertanggungjawaban Roanne terhadap komunitas dimana ia tinggal selama ia menyusun disertasi tentang bagaimana cara bertahan hidup masyarakat yang terhadap bencana banjir di Jakarta. Sebagian besar buku ini menceritakan bagaimana perjumpaannya terhadap komunitas yang mendukungnya sebagai participatory observer. Mengapa buku ini berjudul Tempat Terbaik di Dunia dijelaskan pada bab awal, ketika ia nyaris putus asa mencari lokasi penelitian, tidak semudah yang dibayangkan. Roanne mengalami benturan baik di tingkat pejabat pemerintahan daerah maupun dari masyarakat setempat. Benturan dalam hal ini termasuk penolakan dan terkesan tidak mendukung atau tidak menyukai kegiatan penelitiannya. Namun sebuah kebetulan yang mempertemukan dengan sahabat barunya - Ia memberi nama samaran: Tikus- membawanya kepada sebuah tempat yang menjadi "tempat terbaik di Dunia" selama setahun.

Cerita
Kau dapat menolak nasihat, namun kau tak dapat menolak cerita. Begitu kata Anthony de Mello dalam bukunya: Nyanyian Burung. Roanne sangat apik menuliskan kisah hidupnya dalam buku ini, saya merasakan apa yang diceritakannya sangat dekat dengan saya. Kontrakan saya dulu dekat dengan sungai, dan saya tahu di pinggir sungai memang tidak diperuntukkan untuk hunian. Cerita Roanne begitu mengalir sehingga membuat kita membayangkan bagaimana perilaku unik di seputaran tempat ia tinggal - ia menamakannya Bantaran Kali- Persahabatannya dengan Neneng, Enin, Tikus, serta tetangganya lainnya dalam menghadapi banjir tergambar begitu nyata, berbeda dengan apa yang kita saksikan di televisi. Kerap pembawa acara televisi mewawancarai korban banjir terlihat dari muatan pertanyaan yang berfokus pada sudah berapa lama hujan atau berapa tinggi air atau liputan lokasi evakuasi korban dan keluarganya. Roanne mengungkapkan bahwa persoalan menghadapi banjir di masyarakat Bantaran Kali tidak melulu soal evakuasi, tetapi soal kehidupan yang dilematis, pilihan-pilihan yang sempit, akses kesehatan dan tingkat penghasilan yang sangat terbatas, ketidaklayakan tempat tinggal, dan persoalan yang paling utama adalah kemiskinan. Namun Roanne tidak menceritakannya dengan bahasa tingkat akademis yang rumit, angka-angka statistik yang njelimet. Ia meramu kata-kata yang seharusnya dipertanggungjawabkan di depan sidang Dewan Penguji ke dalam kalimat yang mambawa pembaca berimajinasi seperti menonton drama kehidupan yang sangat manusiawi di tengah permukiman yang nyaris tiada privasi: tentang kerokan, gigitan nyamuk, makan mangga buat perempuan, bahkan dilema yang dihadapi orang miskin: ingin membeli barang keinginan atau kebutuhan. 

Pengakuan
Kekuatan narasi lain pada buku ini adalah adanya pengakuan yang jujur dari Roanne. ada beberapa bagian yang merupakan pengakuan Roanne sebagai bagian dari masyarakat Bantaran Kali, sekaligus sebagai seorang individu. Pertama, Ia menceritakan bahwa ia sering sekali dalam tugas mencari data atau mewawancarai masyarakat Bantaran Kali, ia sangat kelelahan. Ia butuh waktu untuk sendiri, kadang ia menginginkan tidak adanya gangguan saat membaca artikel untuk disertasinya di malam hari, namun teman tinggalnya tidak membiarkannya sendirian, karena begitulah khas Indonesia yang menekankan kebersamaan dan keluarga. Ia melihat bahwa keluarga merupakan bentuk jaring pengaman sosial. Saling membantu anggota keluarga lain meski dalam kekurangan. Kedua, ia mengakui bahwa terjadi hubungan pertemanan yang tidak setara antara ia dan sahabatnya: Enin dan Neneng, misalnya. Ia menceritakan  bahwa Roanne lebih tahu banyak tentang sahabatnya, tetapi kehidupan pribadinya sendiri tidak begitu diungkapkannya ke sahabatnya, antara lain tentang pilihan hidupnya. Namun itu juga karena ia harus fokus dengan pengumpulan data pada penelitiannya karena waktunya yang terbatas. Ketiga, ia mengaku cukup frustrasi manakala ketika izin penelitiannya tidak kunjung beres, ia sangat lelah karena begitu tidak efisiennya waktu yang dihabiskannya untuk mengurus ini-itu, begitulah potret perilaku pejabat pemerintahan daerah yang tidak menghargai waktu bahkan memang dengan maksud tertentu untuk memperoleh "pembayaran tambahan" agar urusan lekas beres. Keempat, ia mengakui daya tahan masyarakat Bantaran Kali yang tabah menghadapi banjir, dengan segala bentuk: mengusahakan portofon dengan uang pribadi, membeli perabot yang tahan air, bahkan terkesan dengan kreativitas sahabatnya, Tikus yang membuat alat-alat fitness dari bahan-bahan bekas untuk masyarakat yang mau berolah raga dengan iuran yang murah. ada uang masuk, juga masyarakat sehat. 

Lewat buku ini saya melihat kekreatifan Roanne menyajikan hasil penelitian serta kehidupan berat masyarakat miskin yang rentan dengan penggusuran, akses kesehatan yang minim serta pekerjaan berpenghasilan rendah namun menghidupi banyak orang. Cerita Roanne tidak membuat dilema baru dengan membenturkan kehidupan masyarakat di Bantaran Kali dengan kebijakan publik yang ideal, tindakan etis, peraturan perundangan dan sebagainya yang berpotensi menimbulkan masalah. Karena itu dengan menyamarkan nama-nama dalam buku ini adalah tindakan tepat. Fokus buku Roanne ini adalah manusianya serta strategi bertahannya. Persoalan sudah yang muncul sudah terlalu banyak, dan melibatkan banyak pakar dan ahli kebijakan. Narasi Roanne dalam buku ini tidak kehilangan ekspresinya  meski setiap babnya terdiri dari referensi ilmiah. Hanya saja, bagi penggemar gambar, agak kecewa, karena tidak ada satupun gambar tempat terbaik itu disajikan di buku ini. Saya tahu kenapa.

Judul: Tempat Terbaik di Dunia
De Beste Plek ter Wereld. Leven in de Sloppen van Jakarta oleh Uitgeverij Brandt, Amsterdam (2016)
Roanne Van Voorst
Penerjemah: Martha Dwi Susilowati
Editor: Pradewi Tri Chatami
Penerbit Marjin Kiri, Tangerang
Cetakan ketiga: Januari 2020


Dan di suatu ketika Tempat Terbaik di Dunia ini pun tidak ada lagi di dunia nyata.


Bandung, 07082020

 

You Might Also Like

4 komentar

  1. Pernah baca buku ini yang terbitan lama. Cukup menarik memang dan masih relevan karena banjir dan penduduk bantaran kali masih ada sampai ekarang.

    BalasHapus
  2. @Ravi: jadi penasaran, di bantaran kali sebelah manaRoanne ini tinggal? hehehe

    BalasHapus