Have a Little Faith by Mitch Albom
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 284 pages
Published November 2009 by Gramedia Pustaka Utama (first published September 16th 2009)
ISBN13: 9789792251142
Tidak satupun manusia yang tahu kapan waktunya di dunia fana ini akan usai. Kemisterian mengenai ada apa setelah hidup di dunia ini, mungkin sama halnya dengan misteri mengenai bagaimana rupa Sang Pemberi hidup.
Awalnya adalah sebuah pertanyaan, dan menjadi pertanyaan terakhir
"Maukah kau menyampaikan eulogi untukku?"
Pertanyaan itu disampaikan oleh seorang Rabi/Guru/Pendeta/Pastor/Pemimpin Agama kepada Mitch Albom.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eulogi berarti:
1. ucapan atau tulisan yg memuji atau menghormati seseorang, terutama yg sudah meninggal dunia;
2. penghargaan atau pujian yg tinggi.
Kadang kita merasa aneh dan seringkali dalam percakapan sehari-hari sangat menghindari topik tentang kematian. Saya pernah menyanyikan lagu dalam bahasa batak yang dulu sering diputar dalam kaset. petikannya begini, "Nasa jolma ingkon mate do, molo dung tingkina ingkon ro." Terjemahannya kira-kira seperti ini, "Setiap orang memang harus mati, jika memang waktunya tiba." Saya langsung mendapat protes dari mendiang Ompung Boru (nenek) saya. "Unang songoni" beliau langsung berucap spontan demikian.
Seperti Novel-novel yang ditulis oleh Mitch sebelumnya, novel ini merupakan kisah nyata yang ia tulis karena ia sendiri mengalami suatu pembelajaran atau pencerahan setelah ia merasakan pengalaman spiritual dengan orang lain atau sahabat dekatnya.
Dalam buku ini, Mitch menggambarkan dirinya yang sedang dilanda kebingungan ketika ia diminta untuk menyampaikan eulogi kelak ketika Rabi di sinagoga (Sinagoga adalah nama tempat ibadah bagi orang Yahudi)-nya meninggal dunia. Rabi-nya bernama Albert Lewis. Albert Lewis merintis dan memimpin sebuah sinagoga di kota New Jersey, yang juga adalah tempat kelahiran Mitch. Sewaktu kecil, Mitch sangat menghindari Reb-panggilan buat Rabi Albert Lewis- karena baginya sangat membosankan kelas-kelas agama yang dibawakan oleh Reb. Namun kenapa mesti Mitch? Setelah Mitch menanjak karirnya sebagai repoter olahraga dan pergi meninggalkan kota kelahirannya, ia tetap menjadi jemaat sinagoga di kota kelahirannya alias di tempat perantauan, ia pun tidak mencari atau tidak pernah mendaftar menjadi jemaat di gereja lain. Mungkin itulah kesamaanya, bahwa Mitch hanya memiliki satu rabi sejak dilahirkan, yaitu Reb Albert Lewis, dan Reb mempunyai jemaat.
Persiapan membuat eulogi memakan waktu yang cukup lama. Delapan tahun Mitch mengunjungi Reb Albert dari kota tempat tinggalnya di Detroit. Hari-hari ketika ia mengunjungi Reb-nya adalah hari-hari dimana ia belajar tentang hidup, menghargai sesam, mencukupkan dengan apa yang ada, membenci peperangan, menelepon seseorang dengan ramah dan bersahabat, menerima kehilangan sebagai suatu bentuk rasa syukur, dan banyak pelajaran hidup lainnya.
suatu percakapan yang menarik antara Mitch dan Reb Albert,
Jadi (Reb), sudahkah kita menyimpulkan rahasia kebahagiaan?
"menurutku begitu."
Apakah Anda akan memberitahu saya?
"Ya. Siap?"
Siap.
"Merasa cukup."
Itu saja?
"Penuh rasa syukur."
Itu saja?
"Atas apa yang kita miliki. Atas cinta yang kita terima. Dan, atas segala yang telah Tuhan berikan kepada kita."
Hanya itu?
Ia menatap mataku. Lalu menghela napas panjang.
"Hanya itu."
Di kota tempat tinggalnya, Detroit, Mitch juga menemukan sebuah gereja yang menyiapkan gedungnya bagi para tunawisma di kota itu. Dalam masalah kepercayaan dan keyakinan, Mitch sebelumnya memiliki pandangan bahwa ada "kami" dan "mereka." Namun, suatu percakapan antara mereka berdua kembali mengubahkan cara pandangnya akan hal itu
....
"Tapi bagaimana kalau seseorang dari keyakinan lain tidak mau mengakui keyakinanmu? Atau, menginginkan dirimu mati karena keyakinanmu?
"Itu bukan keyakinan. Itu kebencian."Ia menghela napas.
"Dan, jika kau bertanya kepadaku, Tuhan ada di atas sana dan menangis ketika itu terjadi."
Mitch akhirnya berkenalan dengan pemimpin gereja yang bernama Gereja I Am My Brother's Keeper, Henry Covington. Gereja itu memiliki misi untuk menampung orang-orang yang tunawisma. Kala itu, di Detroit sedang terjadi krisis ekonomi parah. Banyak perusahaan yang bangkrut, dan banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Henry mengambil inisiatif untuk menampung orang-orang tersebut di gereja. Mitch juga mengambil peran dengan turut membantu membeli terpal plastik untuk mengantisipasi kebocoran jika hujan, dan Mitch menulis artikel di surat kabar mengenai gereja itu, dengan kegiatan sosialnya yang menampung tunawisma. Akhirnya, banyak orang yang ikut menyumbang pakaian bagi mereka, dan salah satunya adalah perusahaan gas yang memasok uap panas di kala musim dingin menyerang kota itu, akhirnya bersedia supaya tunggakan tagihannya selama ini ke gereja tersebut dibayar secara bertahap.
Apa yang dipelajari Mitch dari Henry Covington pada dasarnya adalah manusia hidup bukan karena masa lalu, tapi masa sekarang ini dan seterusnya. Henry sebelumnya adalah pengedar narkoba yang sehari-hari bergelut dengan bahaya dan kematian. Sampai suatu hari, ketika merasa nyawanya terancam karena dikejar mafia, ia berseru kepada Tuhan akankah ia masih melihat hari esok, jika iya, maka ia akan mengabdikan sisa hidupnya untuk bertobat dan berbalik dari jalan hidupnya sebelumnya. Henry akhirnya membuka suatu rumah singgah, berjalan dari suatu tempat ke tempat lain untuk membagi-bagi makanan kepada mereka yang tidak memiliki rumah tinggal, mengumpulkan mereka dan membentuk persekutuan "I Am My Brother's Keeper." Dalam penilaiannya terhadap Henry, Mitch masih sering membandingkannya dengan Reb Albert, dimana Reb dari masa dulunya adalah seorang yang memang baik dan hidupnya tidak pernah tercemar, sementara Henry sebaliknya, yang seorang bandar narkoba dan terlibat banyak kejahatan. Namun suatu permenungan yang mendalam membuatnya berpikir ulang akan apa yang dipikirkannya.
...
"Tidak." ia menggelengkan kepalanya."Kau (Mitch) tidak dapat merintis jalan ke surga. Setiap kali kau mencoba dan membenarkan diri dengan berbagai pekerjaan, kau sedang membuat dirimu tak pantas kesana. Apa yang kulakukan disini, setiap hari, sepanjang hidupku, hanyalah caraku mengatakan, 'Tuhan, apa pun yang akan kualami di alam keabadian nanti, biarkan aku mengembalikan semuanya kepada-Mu. Aku tahu semua itu bahkan tak sepadan. tetapi biarkan aku melakukan sesuatu dengan hidupku sebelum aku pergi..."
"Dan kemudian, Tuhan, aku menyerahkan diri pada belas kasihan-Mu"
Kondisi tumor ganas yang ikut menyerang paru-paru Reb Albert, menyebabkan Reb harus masuk rumah sakit. Suatu kali ia koma, tidak sadarkan diri beberapa hari. Seiring dengan usia yang menua, tumor itupun berkurang keganasannya, mungkin sama-sama letih antara menyerang dan bertahan. Di menjelang akhir hidupnya, Reb dan Mitch banyak membicarakan kehidupan setelah kematian. Firdaus, Moksha, Valhalla, Nirwana, dan dunia berikutnya adalah landasan semua keyakinan. Kesanalah tiap manusia berharap. Dan Mitch menanyakan kepada Reb,
"Apakah kau akan bertemu dengan Rinah (putrinya yang meninggal karena gangguan pernafasan pada usia 4 tahun)lagi?"
Jawabnya, "Ya. benar."
kata Mitch lagi,"tetapi ia hanyalah anak."
Ia berbisik," Di atas sana, waktu tidak berlaku."
Akhirnya waktunya tiba. Reb Albert pergi dengan tenang, ketika saat itu ia bersenandung dengan perawatnya ketika dimandikan, dan senandung itu berhenti selama-lamanya.
Permintaan ditunaikan, eulogi disampaikan. Dalam eulogi-nya, Mitch menyampaikan bahwa bukanlah eulogi itu sendiri yang menjadi alat untuk mengenal lebih jauh Reb Albert. Persiapan membuat eulogi itu memakan waktu delapan tahun. Delapan tahun mengenal sisi lain seorang Rabi diluar kehidupannya di sinagoga. Delapan tahun yang membuat Mitch banyak terinspirasi dengan kisah-kisah hidup Reb Albert. Delapan tahun mempelajari arsip tentang Tuhan yang sudah dikumpulkan oleh Reb. Saatnya tiba untuk mengucapkan selamat jalan kepada Reb, sampai bertemu kembali.
Dan inilah inti kebersamaan Mitch bersama Reb dan Henry: bukan kesimpulan, tetapi pencarian, pembelajaran, perjalanan menuju keyakinan (hlm 262).
Seperti buku-bukunya yang lain, yaitu banyak mengulas tentang pengalaman pribadinya dengan orang-orang yang tadinya tidak dekat, namun suatu kesempatan yang membuatnya bertemu dan berkenalan lebih dalam, serta menulis pengalaman tersebut dalam buku yang memberi inspirasi. Kala membaca buku ini, saya menjadi teringat pada apa yang dikatakan Anthony de Mello,
Seandainya Anda benar-benar mendengar seekor burung berkicau, seandainya Anda benar-benar melihat sebatang pohon
Anda akan mengerti melampaui segala kata dan konsep
Yang Anda lihat itu pohonnya atau labelnya?
Jika Anda memandang sebatang pohon dan melihat sebatang pohon, Anda benar-benar belum melihat pohonnya
Jika Anda memandang sebatang pohon dan melihat sebuah keajaiban, nah, barulah Anda, akhirnya, melihat!
Pernahkah hati Anda dipenuhi rasa takjub nan tak terkatakan tatkala mendengar seekor burung berkicau?
@HWS
11042010
My rating: 4 of 5 stars
Paperback, 284 pages
Published November 2009 by Gramedia Pustaka Utama (first published September 16th 2009)
ISBN13: 9789792251142
Tidak satupun manusia yang tahu kapan waktunya di dunia fana ini akan usai. Kemisterian mengenai ada apa setelah hidup di dunia ini, mungkin sama halnya dengan misteri mengenai bagaimana rupa Sang Pemberi hidup.
Awalnya adalah sebuah pertanyaan, dan menjadi pertanyaan terakhir
"Maukah kau menyampaikan eulogi untukku?"
Pertanyaan itu disampaikan oleh seorang Rabi/Guru/Pendeta/Pastor/Pemimpin Agama kepada Mitch Albom.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, eulogi berarti:
1. ucapan atau tulisan yg memuji atau menghormati seseorang, terutama yg sudah meninggal dunia;
2. penghargaan atau pujian yg tinggi.
Kadang kita merasa aneh dan seringkali dalam percakapan sehari-hari sangat menghindari topik tentang kematian. Saya pernah menyanyikan lagu dalam bahasa batak yang dulu sering diputar dalam kaset. petikannya begini, "Nasa jolma ingkon mate do, molo dung tingkina ingkon ro." Terjemahannya kira-kira seperti ini, "Setiap orang memang harus mati, jika memang waktunya tiba." Saya langsung mendapat protes dari mendiang Ompung Boru (nenek) saya. "Unang songoni" beliau langsung berucap spontan demikian.
Seperti Novel-novel yang ditulis oleh Mitch sebelumnya, novel ini merupakan kisah nyata yang ia tulis karena ia sendiri mengalami suatu pembelajaran atau pencerahan setelah ia merasakan pengalaman spiritual dengan orang lain atau sahabat dekatnya.
Dalam buku ini, Mitch menggambarkan dirinya yang sedang dilanda kebingungan ketika ia diminta untuk menyampaikan eulogi kelak ketika Rabi di sinagoga (Sinagoga adalah nama tempat ibadah bagi orang Yahudi)-nya meninggal dunia. Rabi-nya bernama Albert Lewis. Albert Lewis merintis dan memimpin sebuah sinagoga di kota New Jersey, yang juga adalah tempat kelahiran Mitch. Sewaktu kecil, Mitch sangat menghindari Reb-panggilan buat Rabi Albert Lewis- karena baginya sangat membosankan kelas-kelas agama yang dibawakan oleh Reb. Namun kenapa mesti Mitch? Setelah Mitch menanjak karirnya sebagai repoter olahraga dan pergi meninggalkan kota kelahirannya, ia tetap menjadi jemaat sinagoga di kota kelahirannya alias di tempat perantauan, ia pun tidak mencari atau tidak pernah mendaftar menjadi jemaat di gereja lain. Mungkin itulah kesamaanya, bahwa Mitch hanya memiliki satu rabi sejak dilahirkan, yaitu Reb Albert Lewis, dan Reb mempunyai jemaat.
Persiapan membuat eulogi memakan waktu yang cukup lama. Delapan tahun Mitch mengunjungi Reb Albert dari kota tempat tinggalnya di Detroit. Hari-hari ketika ia mengunjungi Reb-nya adalah hari-hari dimana ia belajar tentang hidup, menghargai sesam, mencukupkan dengan apa yang ada, membenci peperangan, menelepon seseorang dengan ramah dan bersahabat, menerima kehilangan sebagai suatu bentuk rasa syukur, dan banyak pelajaran hidup lainnya.
suatu percakapan yang menarik antara Mitch dan Reb Albert,
Jadi (Reb), sudahkah kita menyimpulkan rahasia kebahagiaan?
"menurutku begitu."
Apakah Anda akan memberitahu saya?
"Ya. Siap?"
Siap.
"Merasa cukup."
Itu saja?
"Penuh rasa syukur."
Itu saja?
"Atas apa yang kita miliki. Atas cinta yang kita terima. Dan, atas segala yang telah Tuhan berikan kepada kita."
Hanya itu?
Ia menatap mataku. Lalu menghela napas panjang.
"Hanya itu."
Di kota tempat tinggalnya, Detroit, Mitch juga menemukan sebuah gereja yang menyiapkan gedungnya bagi para tunawisma di kota itu. Dalam masalah kepercayaan dan keyakinan, Mitch sebelumnya memiliki pandangan bahwa ada "kami" dan "mereka." Namun, suatu percakapan antara mereka berdua kembali mengubahkan cara pandangnya akan hal itu
....
"Tapi bagaimana kalau seseorang dari keyakinan lain tidak mau mengakui keyakinanmu? Atau, menginginkan dirimu mati karena keyakinanmu?
"Itu bukan keyakinan. Itu kebencian."Ia menghela napas.
"Dan, jika kau bertanya kepadaku, Tuhan ada di atas sana dan menangis ketika itu terjadi."
Mitch akhirnya berkenalan dengan pemimpin gereja yang bernama Gereja I Am My Brother's Keeper, Henry Covington. Gereja itu memiliki misi untuk menampung orang-orang yang tunawisma. Kala itu, di Detroit sedang terjadi krisis ekonomi parah. Banyak perusahaan yang bangkrut, dan banyak orang yang kehilangan pekerjaan dan tempat tinggal yang layak. Henry mengambil inisiatif untuk menampung orang-orang tersebut di gereja. Mitch juga mengambil peran dengan turut membantu membeli terpal plastik untuk mengantisipasi kebocoran jika hujan, dan Mitch menulis artikel di surat kabar mengenai gereja itu, dengan kegiatan sosialnya yang menampung tunawisma. Akhirnya, banyak orang yang ikut menyumbang pakaian bagi mereka, dan salah satunya adalah perusahaan gas yang memasok uap panas di kala musim dingin menyerang kota itu, akhirnya bersedia supaya tunggakan tagihannya selama ini ke gereja tersebut dibayar secara bertahap.
Apa yang dipelajari Mitch dari Henry Covington pada dasarnya adalah manusia hidup bukan karena masa lalu, tapi masa sekarang ini dan seterusnya. Henry sebelumnya adalah pengedar narkoba yang sehari-hari bergelut dengan bahaya dan kematian. Sampai suatu hari, ketika merasa nyawanya terancam karena dikejar mafia, ia berseru kepada Tuhan akankah ia masih melihat hari esok, jika iya, maka ia akan mengabdikan sisa hidupnya untuk bertobat dan berbalik dari jalan hidupnya sebelumnya. Henry akhirnya membuka suatu rumah singgah, berjalan dari suatu tempat ke tempat lain untuk membagi-bagi makanan kepada mereka yang tidak memiliki rumah tinggal, mengumpulkan mereka dan membentuk persekutuan "I Am My Brother's Keeper." Dalam penilaiannya terhadap Henry, Mitch masih sering membandingkannya dengan Reb Albert, dimana Reb dari masa dulunya adalah seorang yang memang baik dan hidupnya tidak pernah tercemar, sementara Henry sebaliknya, yang seorang bandar narkoba dan terlibat banyak kejahatan. Namun suatu permenungan yang mendalam membuatnya berpikir ulang akan apa yang dipikirkannya.
...
"Tidak." ia menggelengkan kepalanya."Kau (Mitch) tidak dapat merintis jalan ke surga. Setiap kali kau mencoba dan membenarkan diri dengan berbagai pekerjaan, kau sedang membuat dirimu tak pantas kesana. Apa yang kulakukan disini, setiap hari, sepanjang hidupku, hanyalah caraku mengatakan, 'Tuhan, apa pun yang akan kualami di alam keabadian nanti, biarkan aku mengembalikan semuanya kepada-Mu. Aku tahu semua itu bahkan tak sepadan. tetapi biarkan aku melakukan sesuatu dengan hidupku sebelum aku pergi..."
"Dan kemudian, Tuhan, aku menyerahkan diri pada belas kasihan-Mu"
Kondisi tumor ganas yang ikut menyerang paru-paru Reb Albert, menyebabkan Reb harus masuk rumah sakit. Suatu kali ia koma, tidak sadarkan diri beberapa hari. Seiring dengan usia yang menua, tumor itupun berkurang keganasannya, mungkin sama-sama letih antara menyerang dan bertahan. Di menjelang akhir hidupnya, Reb dan Mitch banyak membicarakan kehidupan setelah kematian. Firdaus, Moksha, Valhalla, Nirwana, dan dunia berikutnya adalah landasan semua keyakinan. Kesanalah tiap manusia berharap. Dan Mitch menanyakan kepada Reb,
"Apakah kau akan bertemu dengan Rinah (putrinya yang meninggal karena gangguan pernafasan pada usia 4 tahun)lagi?"
Jawabnya, "Ya. benar."
kata Mitch lagi,"tetapi ia hanyalah anak."
Ia berbisik," Di atas sana, waktu tidak berlaku."
Akhirnya waktunya tiba. Reb Albert pergi dengan tenang, ketika saat itu ia bersenandung dengan perawatnya ketika dimandikan, dan senandung itu berhenti selama-lamanya.
Permintaan ditunaikan, eulogi disampaikan. Dalam eulogi-nya, Mitch menyampaikan bahwa bukanlah eulogi itu sendiri yang menjadi alat untuk mengenal lebih jauh Reb Albert. Persiapan membuat eulogi itu memakan waktu delapan tahun. Delapan tahun mengenal sisi lain seorang Rabi diluar kehidupannya di sinagoga. Delapan tahun yang membuat Mitch banyak terinspirasi dengan kisah-kisah hidup Reb Albert. Delapan tahun mempelajari arsip tentang Tuhan yang sudah dikumpulkan oleh Reb. Saatnya tiba untuk mengucapkan selamat jalan kepada Reb, sampai bertemu kembali.
Dan inilah inti kebersamaan Mitch bersama Reb dan Henry: bukan kesimpulan, tetapi pencarian, pembelajaran, perjalanan menuju keyakinan (hlm 262).
Seperti buku-bukunya yang lain, yaitu banyak mengulas tentang pengalaman pribadinya dengan orang-orang yang tadinya tidak dekat, namun suatu kesempatan yang membuatnya bertemu dan berkenalan lebih dalam, serta menulis pengalaman tersebut dalam buku yang memberi inspirasi. Kala membaca buku ini, saya menjadi teringat pada apa yang dikatakan Anthony de Mello,
Seandainya Anda benar-benar mendengar seekor burung berkicau, seandainya Anda benar-benar melihat sebatang pohon
Anda akan mengerti melampaui segala kata dan konsep
Yang Anda lihat itu pohonnya atau labelnya?
Jika Anda memandang sebatang pohon dan melihat sebatang pohon, Anda benar-benar belum melihat pohonnya
Jika Anda memandang sebatang pohon dan melihat sebuah keajaiban, nah, barulah Anda, akhirnya, melihat!
Pernahkah hati Anda dipenuhi rasa takjub nan tak terkatakan tatkala mendengar seekor burung berkicau?
@HWS
11042010