Apa yang membuat suatu bangsa memiliki peradaban adalah bangsa itu memiliki warisan tulisan. Karena dari tulisan-lah suatu jejak bangsa diselidiki. Bagi suku bangsa yang sudah mengenal aksara, adalah merupakan suatu keuntungan dapat mewariskan sejarahnya pada generasi berikutnya. Namun, tradisi menulis di Indonesia hingga saat ini masih jauh dari memadai. Apresiasi terhadap tulisan-tulisan dari sejarah suku bangsa Indonesia masa lalu pun lebih banyak digeluti oleh ilmuwan asing. Sungguh kondisi yang membuat miris.
Filologi adalah ilmu yang mempelajari bahasa dalam sumber-sumber sejarah yang ditulis, yang merupakan kombinasi dari kritik sastra, sejarah, dan linguistik. Saya teringat dengan istilah filologi ketika membuat resensi buku The Profesor and The Mad Man, kurang lebih lima tahun yang lalu. Dalam pendahuluannya, Dr. Uli Kozok menyatakan bahwa buku ini merupakan pengantar filologi Batak yang mencakup dasar-dasar filologi Batak dan penerapannya. Suatu kondisi yang sangat-sangat miris, dimana para filolog yang meneliti naskah-naskah Batak kebanyakan menulis hasil penelitiannya dalam bahasa Jerman, Inggris, dan Belanda. Bahkan Dr. Liberty Manik, seorang filolog Batak asli-sekaligus pencipta lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa-, memilih menulis dalam Bahasa Jerman. Sangat disayangkan, dari tulisan-tulisan dalam bahasa asing tersebut, sependek pengetahuan saya- tidak diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia, apalagi Bahasa Batak. Tulisan hasil penelitian Dr Uli Kozok ini benar-benar mengisi kekosongan atas kekurangan bahan bacaan terkait surat batak.