Sebuah kejutan di tengah Pandemi ini, adalah tidak berhentinya semangat berliterasi. Meski terpisah jarak, gairah manusia untuk terus terhubung dengan sesama maupun lingkungannya seolah terus berontak minta dibebaskan. Buku ini hadir pada awal 2020, tahun yang bernomor kembar, kabisat, tetapi sangat tidak terduga. Sampai kini, virus bermahkota cantik masih mengintai manusia di seluruh dunia. Baru-baru ini ada berkabar tentang vaksin yang sudah masuk fase uji coba. Kita hanya berharap, akses terhadap vaksin tersebut haruslah berkeadilan bagi rakyat Indonesia. Pergumulan saat ini bukan hanya sehat dan sembuh, tetapi keberlangsungan kehidupan yang saat ini sedang terancam kemiskinan secara masif.
Soal identitas menjadi persoalan karena banyak orang yang tidak mengerti bagaimana menempatkan identitas demi kepentingan kehidupan bersama yang harmonis. Identitas hanya sekedar menjadi pembeda, tidak diupayakan mencari persamaannya sehingga yang meruncing adalah konflik antara kami-kita, aku-kamu. Pada seri selamat mengaku ini, identitas adalah soal penting yang menerangkan siapa kita. Namun setelah itu terang, apa selanjutnya? apakah selesai atau terus menerus mencari perbedaan?
Indonesia. Suatu konsep geopolitik yang diproklamasikan menjadi negara oleh pendiri bangsa. Tidak ada yang dapat memungkiri bahwa Indonesia sama dengan plural, keberagaman, multi variasi sumber daya alam terlebih manusianya. Persoalan saat ini sangat relevan, yaitu siapakah Indonesia? Seri Selamat Mengindonesia ini memaparkan betapa beragamnya orang-orang terdahulu di bangsa ini dalam penghayatannya berbineka. Membaca buku ini, saya banyak dibukakan pintu pengetahuan tentang sejarah orang-orang atau tempat yang namanya sudah saya dengar, namun saya baru tahu kisah, karya, maupun peristiwa yang mengikutinya. Sebut saja GKI Jalan Pengadilan Bogor, ternyata dulunya adalah Gereja Metodis utusan Singapura. Amir Syarifuddin, perdana menteri Indonesia sewaktu awal kemerdekaan, ternyata seorang Kristen dan punya marga: Harahap. Universitas Krida Wacana merupakan prakarsa Clement Lee Sian Hui yang seorang campuran berayahkan Cina dan ibu Singapura. Nicolas Driyarka, lahir di Purworejo dan bersekolah di seminari Kanisius Yogyakarta (dekat Stasiun Tugu), dan masih banyak lagi. Sekelumit kisah-kisah tersebut membuat saya penasaran menggali lebih jauh tokoh-tokoh tersebut dan bagaimana karyanya dapat dirasakan generasi sekarang ini.
Sebagai seorang pembaca, adalah hal baik untuk menyerap semua jenis bacaan. Baik bacaan serius maupun bacaan ringan. Seperti halnya makanan yang harus memiliki nutrisi seimbang, bacaanpun selayaknya demikian. Makanan yang berimbang bertujuan menyehatkan. Istilah empat sehat lima sempurna sudah ditinggalkan, karena bukan semata-mata kelengkapan komponen makanan sehat, terlebih lagi porsinya harus pas, cukup, dan seimbang. Demikian juga dengan bacaan, jenis bacaan yang pas, cukup, dan seimbang menyuplai nutrisi yang sehat bagi pikiran kita. Bagi yang sudah nyaman dengan jenis bacaan tertentu, mari mengenal jenis bacaan atau genre lain, agar kita tetap berpikir sehat.
Situs time.com memberi rekomendasi judul buku yang
diklasifikasi dalam beberapa kelompok bacaan, guna memberi sedikit kejutan pada
pengalaman membaca kita.
1.
Western Classics (klasik dan modern), memberikan
dasar pengetahuan siapa saja yang termasuk
dalam periode kepenulisan barat
ü The Odyssey (Homer)
ü A Tale of Two Cities (Charles Dickens)
ü Pride & Prejudice (Jane Austen)
ü
Anna Karenina (Leo Tolstoy)
2.
Dystopia, suatu karya yang menakutkan atau seperti
mimpi buruk yang menyeramkan
ü Nineteen-Eighty-Four
(George Orwell)
ü Brave New World
(Aldous Huxley)
ü The Handmaid's Tale
(Margaret Atwood)
3.
Science Fiction & Fantasy, cerita sains
yang dibuat fiksi, membuat pelajaran sains jadi mengasyikkan dan diliputi rasa
ingin tahu
ü The Lord of the Rings
series (J.R.R. Tolkien)
ü The Foundation series
(Issac Asimov)
ü Neuromancer (William
Gibson)
4.
Great American Novels: novel yang menggambarkan
kehidupan sosial pada periode sejarah Amerika
ü The Great Gatsby (F.
Scott Fitzgerald)
ü Bonfire of Vanities
(Tom Wolfe)
ü The Grapes of Wrath
(John Steinbeck)
5.
Literary Heavy Hitters: buku berat yang hits
ü Ulysses (James Joyce):
ü Infinite Jest (David
Foster Wallace)
ü Gravity's Rainbow
(Thomas Pynchon)
ü A Song of Ice and Fire
series (George R. R. Martin)
ü The Hunger Games (Suzanne Collins)
ü .Fifty Shades of Grey
(E.L. James)
6.
Immigrant Experience (U.S./U.K.): Sebuah
pengalaman para imigran memasuki negara baru yang berbeda jauh budaya dan
sosialnya dengan negeri asal
ü Interpreter of
Maladies (Jhumpa Lahiri):
ü Joy Luck Club (Amy
Tan):
ü How the Garcia Girls
Lost Their Accents (Julia Alvarez)
7.
Non-Western Classics (Ancient): Kalau ada
barat, tentu ada timur. Jangan salah. Asiapun punya cerita klasik
ü Ramayana (India)
ü Romance of the Three
Kingdoms (China)
8.
Non-Western Classics (Modern): mari belajar ke Amerika Latin, Tiongkok, dan
Afrika
ü One Hundred Years of
Solitude (Gabriel Garcia Marquez)
ü To Live (Yu Hua).
ü Things Fall Apart
(Chinua Achebe)
9.
Satire: karena menyindir itupun perlu kecerdasan
ü Cat's Cradle (Kurt
Vonnegut)
ü Catch-22 (Joseph
Heller)
ü The Hitchhiker's Guide
to the Galaxy (Douglas Adams)
Bacaan di atas masih jenis bacaan fiksi. Sekarang, perhatikan apa yang
sudah kita “makan” sudah bervariasi atau masih yang itu-itu saja? Jujur saya
masih sedikit banget, dalam artian belum ada variasi bacaan. Bahkan The Lord of
The Rings yang sudah tersohor buku dan filmnya pun, belum pernah saya baca. Daftar
di atas kira-kira panduan saja. Ibarat menu
makanan, barangkali perlu ditambah atau dikurangi sesuai selera dan porsinya. Namun
dengan membuat peta seperti ini, paling tidak kita mengenali apa yang sudah
kita baca dan merangkai kaitannya dengan menu-menu yang lain.
Syukur sudah dibaca apalagi dibuat reviewnya. Selamat.
Mari mengerjakan sesuatu yang kita senangi, agar hidup kita tetap waras.
Tanpa harus berlebihan, saya termasuk orang yang tidak beruntung ketika masuk suatu komunitas hobi atau ekstrakurikuler zaman sekolah atau kuliah. Penyebabnya sederhana. Saya tidak dapat mendefinisikan saya sukanya (baca bisanya) apa.
Main seni peran kagak bisa Main alat musik bisa seadanya. Daftar klub percakapan Bahasa Inggris, ditolak Ikut komunitas computer, nggak lulus seleksi Ikut baris berbaris..duh apa lagi itu….
Ini yang membuat saya dalam jangka waktu cukup lama tidak menemukan komunitas yang cocok, yang menerima saya apa adanya (tsaaaah). Demikian hingga sampai bekerja. Setelah sibuk dengan suasana pekerjaan, saya sedikit terlibat di kegiatan pemuda gereja. Selebihnya tidak ada.
Sampai suatu saat ketika saya menemukan goodreads.com dan bergabung (secara iseng-iseng) dengan goodreads Indonesia. Disitulah saya pertama kali berinteraksi dengan orang-orang “unik” yaitu sukanya buku. Saya mengenal goodreads Indonesia terlebih dahulu sebelum membuat tergabung dengan blogger buku Indonesia. Mengenai sejarahnya blogger buku Indonesia, bisalah diubek-ubek webnya BBI :)
Kembali lagi dalam rangka ulang tahun Blogger Buku Indonesia keenam, setelah menulis topik Baca Buku bentuk elektronik atau kertas, saya mendapat ide untuk mengembangkan topik tersebut dengan membagikan pengalaman saya dalam memperoleh buku atau majalah elektronik tersebut. Tujuannya adalah demi memuaskan kehausan membaca. Tsaaah.
Jelas, bahwa kepraktisan membaca buku atau majalah elektronik adalah pertimbangan utama. Selain itu, tempat penyimpanannya dapat dikelola secara efisien karena hanya membutuhkan ruang pada hardisk laptop atau layanan komputasi berbasis awan seperti google drive atau one drive.
pada postingan kali ini, saya akan membagikan sumber-sumber perolehan majalah elektronik favorit saya. Kali ini temanya buku/majalah yang bersifat non fiksi, yaitu di luar novel, cerpen, puisi, dan fiksi lain sebagainya.
Majalah Tempo edisi digital.
Oke. Sebetulnya saya tidak anti dengan berita-berita terkini yang dimuat di media online seperti kompas.com, tempo.co, atau detik.com. apalagi kadang bila saya mengamati lini masa di facebook pun sudah seperti portal berita akibat teman-teman di facebook memposting tautan berita online. Namun berita yang dimuat sering sekali tidak mengupas secara dalam seperti contohnya kasus KTP elektronik atau tentang isu Pemilihan Kepala Daerah di DKI Jakarta. Bagaimanapun kualitas media yang berbasis koran/cetak, lebih bagus dibanding media online. Karena itu, bila membaca Koran atau majalah, menurut saya kualitas yang disajikan lebih informatif dan cukup dalam.
Saya menyukai Majalah Tempo, karena ulasannya cukup dalam menggali suatu kejadian/peristiwa. Apalagi jika ada laporan khusus atau laporan investigasi, turut dilengkapi dengan penelusuran ke tempat kejadian maupun narasumber pertamanya. Saya berlangganan majalah tempo elektronik sejak 2012, cukup mahal memang. Tapi sebanding dengan kualitas yang diberikan. Di samping berita, tentu saja ada rubrik favorit saya seperti rubrik bahasa atau liputan khusus.
Majalah Internal Auditor.
Apapun profesi kita, sebetulnya sangat-sangat penting untuk terus memutakhirkan pengetahuan. Karena ada pengaruhnya dalam mendukung profesionalitas dan pembentukan diri sebagai pembelajar sepanjang hayat. Majalah ini diperoleh karena saya menjadi anggota asosiasi profesi internal auditor, salah satu keuntungan menjadi anggota adalah diberikan majalah elektronik ataupun hak untuk mengakses sumber-sumber referensi seperti panduan praktik audit, standar audit, dan berbagai sumber lainnya. Dari majalah ini diperoleh informasi terkini tentang isu-isu pada dunia bisnis, kode etik, tata kelola, kontrol, dan praktik audit. Ada juga rubrik yang berisi contoh studi kasus, meski banyak contoh praktiknya di luar negeri, namun sangat relevan untuk menambah pengetahuan dan wawasan.
Majalah International Railway Journal.
Nah. Khusus majalah ini gratis. Sekali lagi, GRATIS. Anda dapat mendaftar terlebih dahulu di http://www.railjournal.com/ , selanjutnya akan diemailkan bahwa sudah terbit edisi majalah terbaru. atau dalam web itu bisa baca-baca beritanya dalam bentuk web, artinya majalah yang dijadikan web. saya lebih suka versi majalahnya (file pdf) soalnya bisa diarsipkan. isinya tentang berita-berita tentang kereta api di berbagai belahan dunia. disamping banyak gambar/foto kereta api, rel, jembatan, banyak juga foto-foto pemandangan latar yang indah-indah. Saya sih lebih suka lihat fotonya daripada pada baca beritanya. Hehehehe
Sebetulnya masih ada lagi sumbernya, nanti akan saya tulis pada edisi berikutnya. Ini yang dapat aja dulu bahannya ya..Oiya...salah satu tips untuk memperolehnya majalah berbayar dengan harga terjangkau adalah dengan langganan secara patungan. Harga langganan satu tahun majalah tempo saat ini misalnya Rp850.000, dapat dicari barengan 10 orangan. Lumayan untuk mengefisienkan anggaran untuk membeli bacaan lainnya.
Semua majalah di atas saya arsipkan dalam laptop. Pelan-pelan akan saya unggah ke drive. soalnya laptop saya makin penuh saja. Jika ada yang berminat, silahkan saja hubungi saya secara japri ya..
Nah inilah sumber-sumber saya memperoleh majalah elektronik. Bagaimana denganmu? share donk :)
Sepertinya tema ini tidak pernah usang untuk didiskusikan. Banyak sekali pendapat dan persepsi tentang bentuk buku yang dibaca seseorang, apakah berupa elektronik atau berupa buku secara fisik (kertas). Dan sering kali persoalan yang muncul adalah bentuknya, bukan lagi isinya. Namun, suatu kegiatan membaca sedapatnya membuat pembacanya nyaman dan merasa kebutuhan membacanya terpenuhi, apapun medianya.
Bagi saya, masalah bentuk tidak masalah. Ada kalanya memang lebih suka buku fisik, ada kalanya memang suka yang bentuk elektronik (file). Hal itu semata-mata karena kepraktisan. Sedikit saya ulas dalam uraian sebagai berikut:
Buku Fisik
membaca yang saya kenal dari kecil adalah membaca gambaran huruf-huruf pada kertas, dinding, koran, atau majalah. Lebih karena pengalaman. Kalau bahasa marketingnya itu kira-kira: customer experience. Apa saja itu?
Mengamati cover/sampul buku. Bagi saya penggemar visual, gambar atau warna pada cover itu sangat berpengaruh bagi saya untuk membuka halaman selanjutnya. Bagi saya, membuat suatu cover bagus itu memang tidak mudah dan sangat dipengaruhi kemampuan seni imajinasi designer-nya menebak suasana hati si calon pembaca. Walau saya bukan sekelas juri fotografi/ desain, minimal saya dapat menilai (secara pribadi) seperti apa cover buku yang tidak menggoda.
Membalik halaman. Membalik-balik halaman dengan jari tangan kadang kala memang keasyikan tersendiri. Kenapa? Karena bentuk ketertarikan kita terhadap buku terlihat seberapa cepat kita membalik halaman buku. Dan, apakah ada faktor psikologis, bahwa membalik halaman buku, membuat kita bersemangat untuk meneruskan bacaaan hingga selesai.
Menyusun buku. Bagi para penggemar buku sekaligus penggemar media sosial, adalah hal yang lumrah memotret koleksi bukunya dan kemudian mengunggahnya ke media sosial. Pekerjaan menata ulang buku kadang kala menjadi pekerjaan yang mengasyikkan, karena ada pengalaman menata berdasarkan tinggi buku, berdasarkan jenis buku, berdasarkan warna?? Hehehe
Menyampul buku. Nah. Kegiatan ini yang sudah sangat-sangat jarang saya lakukan. Dulu, ketika masih sekolah di kota kecil sana (baca Takengon, Aceh), buku-buku saya bisa dikatakan sangat-sangat sedikit. Kebanyakan memang buku pelajaran dan koleksi milik ayah saya. Jadi, pekerjaan menyampul buku pelajaran pun menjadi kegiatan yang mengasyikkan. Memberinya nama sendiri serta melapisnya dengan sampul plastik. Sekarang, udah nggak sabaran lagi. Kalau pas rajin, ya bisa banyak yang disampul. Kalau nggak, ya tidak disampul bisa bertahun-tahun.
Dapat ditulis atau ditandatangani. Meski tidak konsisten, saya suka menulis-nulis pada halaman buku, atau mendapatkan tanda tangan penulisnya. Bagi saya itu bersejarah, ada guratan tulisan pada waktu tertentu yang mengingatkan pada momen apa buku itu dibaca atau ditulis. Kadang, malah aneh kalau buku saya minim coretan. Minimal ada garis- garis bawah. Sekarang sepertinya jarang, karena memang jarang juga membaca. Hahaha. Ketauan.
Buku elektronik
Secara tidak langsung, bentuk buku elektronik hanyalah jenis buku yang dibaca kala dalam perjalanan atau hanya mencari topik-topik tertentu. Apa saja bentuk pengalaman membaca buku elektronik?
Mencari kata kunci. Umumnya, fasilitas Control F atau Find sangat-sangat dibutuhkan untuk mencari kata kunci secara cepat dan akurat. Dan ini biasanya berlaku pada buku-buku yang berkaitan dengan tugas kuliah atau tugas kerjaan. Karena itu, buku-buku misalnya MS. Excel Tips and Trick, CIA Study Material, The Evaluation and Improvement of IT Governance, Information_Technology Auditing, saya lebih suka buku elektroniknya. Karena kalau aslinya pun pasti berat dan tebal.
Dapat dibaca di handphone. Sampai saat ini saya masih belum menggunakan semacam ebook reader atau tablet untuk membaca buku elektronik. Kalau nggak di laptop, saya bacanya di HP. Setelah ada layanan aplikasi I Jak, malahan lebih sering pinjam buku elektronik. Hidup saya kebanyakan di kereta atau di bis, biasanya dalam perjalanan pulang-pergi Bandung-Jakarta, saya membaca di HP, sampai ngantuk aja, jarang sampai selesai. Hahaha.
Mengakses buku-buku lawas. Dalam hal ini saya salut dengan pihak-pihak yang rela mendokumentasikan buku-buku tua dengan membuatnya dalam bentuk elektronik dan menyediakan fasilitas unduh di internet. Saya sangat terbantu dengan buku-buku seperti itu. saya hanya sekali memindai buku lalu mengunggahnya di internet, yaitu buku Max Havelaar. Itupun karena dulu belum ada cetak ulangnya, sehingga koleksi buku di Perpustakaan kantor, saya pindai satu-satu lalu dikonversi ke file pdf. Mengingat sekarang banyak penjual buku-buku tua di internet, andainya mau menyediakan buku tuanya dipindai dulu sebelum dijual. Kasian bagi yang nggak punya uang cukup untuk beli buku tua :(
Sementara itu pengalaman saya. Bagaimana dengan teman-teman? Share pengalamannya di kolom komentar.
Selamat membaca, apapun bentuknya.
Seperti Seri Selamat lainnya, buku Selamat Bercinta ini merupakan permenungan atas suatu istilah: cinta. Istilah Cinta yang diulas dalam buku ini bukan semata-mata cinta yang biasa ditulis oleh para penyair, namun cinta yang di dalamnya ada komitmen, perbuatan nyata, berkomunikasi serta hal-hal lain. Dalam salah satu tulisannya, Andar kembali menuliskan pengalaman terburuk selama ia masih anak-anak adalah ketakutannya pada kelaparan. Baginya, lapar merupakan monster yang sangat mengerikan. Selain itu, ia mengulas juga tentang Raja Pontas Lumbantobing, seorang pemimpin suku Batak yang sangat sedikit diceritakan peran dan teladannya dalam khasanah perkembangan sosial masyarakat Batak.
Tidak sengaja saya temukan buku ini di aplikasi iJak, ketika sedang mencari-cari buku/artikel tentang sertifikat tanah. Saya yang bukan Sarjana Hukum merasa perlu sedikit mengetahui tentang apa dan bagaimana terkait pertanahan ini. Banyak kasus sengketa tanah di Indonesia, yang bermula dari administrasi pertanahan yang kacau.
Pensertipikatan Tanah Bekas Hak Eigendom
Penulis: Elza Syarief
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia
Tanggal terbit: 3 Februari 2014
Intinya, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria mengamanatkan supaya seluruh tanah Republik ini terdaftar, apalagi pada saat sebelum UUPA itu diterbitkan ada beberapa ketentuan dari Pemerintah Belanda yang masih 'hidup' mengatur hak-hak atas tanah. Eigendom sendiri merupakan warisan Belanda dan karena kemerdekaan Indonesia, ditinggalkan oleh pemiliknya (notabene orang/perusahaan Belanda).
Buku ini merupakan thesis Elza Syarief ketikan menempuh pendidikan magister di Univeristas Padjadjaran, Bandung. Hal yang patut ditiru oleh para pembuat thesis yaitu membukukan karya tulisnya pada sebuah buku, sehingga ilmu itu bukan hanya dinikmati/dikonsumsi di kampus saja, tetapi pada masyarakat luas.
Jakarta, 4 Nov 2016
Kurang lebih setahun setelah terbitnya novel ini, sudah cukup banyak review atau resensinya. Sekilas dari review yang saya baca, banyak pembaca yang mengaitkan atau berharap novel ini berisi kalimat puitis indah seperti halnya puisi Hujan Bulan Juni yang termasyhur itu. Inti ceritanya bisa dikatakan cukup biasa ditemukan dalam novel lainnya. Namun, proses dan kisah ceritanya tentu berbeda. Justru disitu letak kepiawaian pengarang mengolah serta meramu kisah menjadi suatu cerita.Saya hanya membatasi poin-poin terkait dengan puisi dan situasi sosial tokoh-tokoh utama novel ini yaitu Aarwono, Pingkan Pelenkahu, abangnya Pingkan,Toar Pelenkahu, dan Hartini, ibu Pelenkahu bersaudara.
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.
sumber: kompas.com |
Novel Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono
Editor: Mirna Yulistianti
Desainer Cover: Iwan Gunawan
Gramedia, 2015
ISBN 978-602-03-1843-1
Identitas daerah
Ada suatu kebiasan umum ketika kita menanyakan kepada seseorang (maupun sebaliknya), dari daerah mana ia berasal. Kebanyakan orang (dengan wawasan terbatas) mengira bahwa asal daerah adalah otomatis bersuku sama dari daerah tersebut. Ada pergolakan atau apakah juga suatu kebingungan bagaimana menjelaskan kepada si penanya dari mana asal sesungguhnya. Hal ini tersirat dalam pernyataan ibu Hartini, bahwa ia orang Jawa yang sejak lahir menjadi orang Makassar dibawa ke Manado, bahwa ia Jawa 'palsu' atau tidak orang Jawa sepenuhnya, karena tinggal di lahir besar di Makassar serta tinggal di Manado cukup lama. Bahwa ia malu menggunakan bahasa Jawa, tidak menguasai unggah-ungguh yang rumit. Demikian juga Pingkan. Bahwa ia campuran dari Manado dan Jawa. Bahwa ia Manado, benar. Tapi tidak Manado sepenuhnya. Bahwa ia Jawa, benar. Namun bukan Jawa seutuhnya.
Cerita rakyat daerah Minahasa turut mengisi kisah ini., yaitu legenda Pingkan dan Matindas dari Minahasa, diperkirakan terjadi di daerah Tonsea. Dari hasil penelusuran, ada dua versi cerita. Versi pertama, pada waktu usia 12 tahun, Pingkan sakit keras dan tidak ada yang bisa menyembuhkan. Lalu datanglah pemuda rupawan dan berhasil menyembuhkan Pingkan, pemuda itu bernama Matindas. Versi kedua, ketika terjadi banjir besar akibat hujan besar, dan Pingkan dan Matindas harus menyeberang sungai, namun Pingkan terjatuh dan terseret arus. Tanpa memikirkan keselamatan dirinya, Matindas menyelamatkan Pingkan. Ada temuan menarik bahwa cerita Pingkan dan Matindas ini diceritakan dalam buku novel yang berjudul “Bintang Minahasa”, yang diterbikan Balai Pustaka pada dekade thn. 1920an karya Hervesien. M. Taulu. Dan, Pingkan Pelenkahu maupun Hartini lebih mengidentikkan identitas mereka sebagai orang Minahasa. Terlihat dari ucapan Hartini kepada Sarwono, "Kamu menantuku, Matindas" (hlm 86) maupun Pingkan Pelenkahu sendiri yang telah mendengar dongeng tersebut dari Sang Ayah dan bahkan ingin menjadikan kisah Pingkan dan Matindas tersebut dalam suatu pertunjukan seperti wayang orang.
Demikian juga Sarwono kesulitan menggambar Hartini, ibu Pingkan dan Toar , dan ia sendiri sebagai orang Jawa dalam perspektif ilmu akademis berdasarkan buku akademis "Agama Jawa" yang menempatkan orang Jawa dalam tiga kategori: priayi, abangan, santri. Ia menganggap pengkotakan penulis buku tersebut yang melihat Jawa dalam bentuk kota, bukan dalam bentuk bangsa, adalah tidak tepat. Jawa adalah suatu lebih luas dan lebih rumit daripada suatu kota (hlm 24). Penjelasan mengapa orang Jawa menyebut Gusti Yesus, Gusti Allah, Muhammad adalah Kanjeng, Kanjeng Nabi, menurut Sarwono tidak membuktikan bahwa orang Jawa itu kisruh. Menurut Sarwono, pertanyaan itu dapat dijawab melalui puisi. Meski jawaban tersebut berupa pertanyaan.
Puisi sebagai medium
Sarwono, tokoh utama novel ini percaya pada teori bahwa inti kehidupan itu komunikasi dan komunikasi itu inti kehidupan. Dan bahwa shaman itu medium. Dan oleh karenanya puisi itu medium (hlm 3). Bagi Sarwono, puisi yang dimuat di koran itu sebagai penghubung antara dirinya dengan perempuan nun jauh di sana. Bagi saya, hal ini sangat menarik, dimana puisi sebagai medium komunikasi, bahkan bukan hanya karena terpisah jarak, tetapi karena terpisah waktu. Seperti pengalaman Joko Pinurbo sewaktu masih duduk di kelas 2 SMA yang mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada puisi karena membaca puisinya Sapardi: : ”Masih terdengar sampai di sini dukamu abadi”. Luar biasa. kata-kata itu menggema dalam kepalanya dan membuat Joko Pinurbo suka bersendiri bersama berpuisi, dan barangkali (menurut saya) itulah medium ia berkomunikasi dengan entah apa dan siapa saja di luar dirinya. Anda dapat merasakannya?
Misal
Misalkan Aku datang ke rumahmu
dan kau sedang khusyuk berdoa,
akankah kau keluar dari doamu
dan membukakan pintu untukKu?
(Jokpin, 2016)
Menurut Sapardi, puisi Hujan Bulan Juni hanya dibuat sekitar 15 menit. Ia pernah membuat sajak yang selama tiga tahun yang berjudul Dongeng Marsinah, namun tidak jadi. Menurut ia, justru sajak yang dibuat sekali jadi itu yang bagus. Menenangkan emosi dan mengambil jarak, adalah cara efektif menghasilkan puisi. Hal serupa diaminkan Jokpin, untuk sajak berkesan hanya ditulis dalam belasan menit.
Ketika puisi menjadi medium, maka ketika sampai di pembaca, pembaca berhak memaknai puisi tersebut dengan caranya. Dapat melalui puisi itu sendiri, lewat gambar, lewat suara. Puisi menjadi berubah bentuk menemui pembacanya dalam ruang tafsir yang berbeda. Sapardi ketika hadir dalam pertunjukan tafsiran musisi Ari, Reda, Christopher Abimanyu, dan Maya Hasan. senang bila puisinya ditafsirkan sebebas-bebasnya. Ia menyatakan bahwa begitu sebuah karya lahir, itu menjadi milik publik. Nyanyian adalah salah satu cara menafsirkannya.
Demikian juga ketika Sarwono tidak dapat lagi menentukan apakah bersama Pingkan sebuah takdir atau nasib, ia memutuskan memberi jawaban dalam tiga puisi pendeknya.
/1/
Bayang-bayang hanya berhak setia
Menyusur partitur ginjal
Suaranya angin tumbang
Agar bisa perpisah
Tubuh ke tanah
Jiwa ke angkasa
Bayang-bayang ke sebermula
Suaramu lorong kosong
Sepanjang kenanganku
Sepi itu, air mata itu
Diammu ruang lapang
Seluas angan-anganku
Luka itu, muara itu
/2/
Di jantungku
Sayup terdengar
Debarmu hening
Di langit-langit
Tempurung kepalaku
Terbit silau
Cahayamu
Dalam intiku
Kau terbenam
/3/
Kita tak akan pernah bertemu:
Aku alam dirimu
Tiadakah pilihan lain
Kecuali di situ?
Kau terpencil dalam diriku
Tampaknya kalimat tersebut sederhana. Tak sulit. Namun kata-kata tersebut sangat bermetafora. Sapardi mengaku bahwa puisi itu seni kata. Seni kata paling tinggi adalah metafora. Ketekunan menulis puisi berarti kesanggupan menciptakan metafora baru (Kompas, 28 Mei 2016). Lihat kata-kata Kita tak akan pernah bertemu: Aku alam dirimu/Tiadakah pilihan lain/Kecuali di situ?/ Kau terpencil dalam diriku. Terlihat paradoks tak terjadi perpisahan, karena "aku" dan "kamu" manunggal. Seni kata yang luar biasa.
Seperti kata Bandung Mawardi: bahwa puisi lebih panjang umur dari pujangga. Demikian puisi tak sekedar jadi medium, ia medium yang panjang umur.